"Oh ya, suruh masuk," kataku enggan.Â
"Suruh masuk bagaimana? Dia tidak ada di ambang pintu rumah kita," dua kalimat langsung kau celotehkan yang mengantarkan pikiranku kepada citra tentang pintu rumah berpolitur cokelat yang terbuka, namun tidak ada siapapun di sana.Â
Yang ada hanya angin yang lewat, yang menerbangkan debu-debu untuk menuju kepada batas langit cakrawala yang baru atau memenuhi lantai-lantai, juga perabotan-perabotan kayu (meja, kursi, rak buku), juga celah-celah jendela yang selalu setengah terbuka; juga di atas karpet merah kusam yang lebih dari setahun belum dicuci; juga mungkin telinga dan mataku.Â
"Dia ada di mana?" tanyaku enggan, dan aku masih membelakangi tubuhnya yang berada di ambang pintu kamar.Â
"Dia ada di sini," katamu penuh kebosanan, sambil menyodorkan sebuah kotak hitam gepeng di genggamanmu yang memerangkap cahaya dan gelombang makna di dalam medan jagad maya.Â
"Apa katanya?" tanyaku enggan.Â
"Dia ingin bicara denganmu!"Â
"Hmm, bukankah itu katamu?" ku angkat tanganku hingga punggung-punggung jemariku memelototi hidung dan matanya. "Maksudmu bagaimana? Maksudmu itu apa?" aku menaksir sebuah kejengkelan dari nada suara yang kau lontarkan.Â
"Dia ingin bicara denganmu!" tuturku dengan penuh penekanan pada setiap kata-kata itu. "Itu kata-katamu kan? Bukan katanya." "Sampean, terlalu rumit!," kau mengumpat lirih tepat dilubang telingaku yang menyerobong ke udara langit-langit kamar. "Dasar Asu!"Â
"Ya, besok aku akan dikorbankan, seperti anjing-anjing yang baru dimandikan sesaat tadi. Walaupun aku tidak akan menggonggong sekeras mereka."Â
"Terserah katamu," ucapmu sambil ngeloyor keluar kamar.Â