Nafas Bergidik
berisik!
mereka sedang asyik.
tenangku jadi tercabik.
asap rokok kian teracik,
nafasku bergidik.
makanan.
minuman.
wajah-wajah ancik terekam.
suara-suara menghitam.
senja kian meremang.
gemericik,
tapi bukan hujan.
aku diam dengan kejam,
tertunduk.
(Trenggalek, 16 Januari 2015)
Huza dan Wafa
dua orang pemuda desa,
huza dan wafa.
yang satu potongan bagai tentara,
yang lain kurus tinggi
menjulang kelihatan iganya.
mereka berlari mengikuti seorang pria.
menikmati pagi yang berkabut manja.
sepuluh kilo pun tiada berasa.
lelah disemayamkan oleh indahnya suasana,
pemandangan hijau sawah sungguh mempesona,
baru ditanam oleh petani yang perkasa.
luar biasa.
penat tak terlihat di wajah mereka.
jalanan sungguh ramai,
berseliweran manusia dengan deru motornya.
banyak gadis cantik jelita,
sedap dipandang mata yang membara.
entah kalau untuk dicinta.
keindahannya mungkin berdusta
lagi menyiksa.
(Trenggalek, 21 Januari 2015)
Ingin Mengembara
Â
di sini-sini saja
dan tidak ada asyiknya.
aku ingin mengembara,
menjelajahi wilayah asing
di seberang samudra,
menapaki kota-kota
paling bersejarah di dunia,
menggali ilmu pengetahuan
yang berharga.
tak pernah 'ku beranjak dari pulau jawa,
pulau sejuta kenangan dan pesona.
tapi aku bosan,
karena hidupku begitu itu saja.
paling jauh hanyalah cirebon kota,
belum merangsek sampai ke ibukota,
ibukota negara yang penuh suka,
tapi berlapis derita tiada tara.
sungguh,
aku ingin menikmati madura,
menjejakkan kakiku di pulau sumatra,
mengikuti jejak kawanku di papua,
mengajar seperti temanku di pulau sumba.
aku rindu bumi nusantara,
walaupun aku belum pernah menjamahnya.
ingin dan sangat amat hasratku
menghirup udara di pulau yang berbeda.
alangkah luar biasanya
cerita yang pernah kubaca,
bertemu dengan manusia manca,
beda bahasa dan beda pula tabiatnya.
mencoba menyibak
mengapa kita begitu sengsara
hingga bangsa asing merajalela.
(Trenggalek, 21 Januari 2015)
Kontemplasi Rindu
Â
eka,
aku rindu kamu.
bayanganmu membawaku ke dalam nirwana.
wajahmu beremanasi dalam nafsu yang gulita.
aku siap menyambut derita.
lewat sebuah ungkapan yang menyesakkan dada,
aku bertanya
apakah engkau 'kan menjawabnya?
aku membeku,
tapi dingin tak kau rasa.
aku mendidih,
walau panas tiada bernyawa.
jiwaku tersiksa.
mengapa mendadak engkau begitu berharga.
engkau ada
di dalam kehampaan yang meronta,
berderai disergap heningnya sukma,
digerayangi tangan-tangan yang nelangsa.
untuk apa aku bertanya?
aku rasa untuk tiada.
(Trenggalek, 21 Januari 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H