Panas
panas membara jagad raya,
membakar pikiran dalam heningnya sukma,
menyalakan api yang tidak pasti
mendidihkan darah hingga tubuhpun goyah,
menyemburkan kesunyian,
menghindari segala murka angkara.
panas pun terasa di pelupuk mataku,
membuat resah sekujur tubuhku,
resah bila sampai hilang kesadaranku,
padahal masih banyak yang aku tunggu
tunggu, tunggu dan hanya menunggu,
sampai terasa panas hati tak menentu,
menguap berjalan bersama debu-debu pengganggu,
diterbangkan angin yang menderu
panas membara bumi tercinta,
semakin panas karena dusta,
dusta para manusia.
semakin panas karena ratap tangis,
mengisyaratkan duka nestapa yang teramat miris
panas, panas dan semakin panas.
udara yang berhembus pun juga panas.
dinding itu, genteng itu
daun-daun itu pun juga ikut panas.
entah bagaimana pula dengan mereka
orang yang senantiasa dikhianati penguasa
(Trenggalek, 26 Agustus 2014)
Lingkaran Setan
kupegang jantungku dengan tangan kananku
kurasakan degupannya, lemah tanpa arti
seolah-olah aku akan mati
kuterbangkan pikiranku menembus kehinaan dunia
mencoba menempatkan diri dalam sempurnanya jiwa...
sendiri, sepi dan sunyi.
tampak seluruh manusia bercengkerama
bersuka cita dalam hampa
berdendang dalam duka
berjaya dalam lara
terlupa...
materi telah meluluhkan budi
menenggelamkan pekerti
kejujuran tiada lagi berarti
sukma hanyalah harta
yang berujung pada lingkaran arus derita.
lingkaran setan.
semuanya ingin berkuasa
menguasai tiap-tiap jiwa yang lena
mempersembahkan indah pada pandangan pertama
menghancurkan diri pada akhirnya.
(Trenggalek, Agustus 2014)
Bidadari Surga
dunia ini semerbak mewangi
menyajikan sejuta kenikmatan yang tak pasti
indah merona memanjakan diri
tapi sayang semua yang fana itu pasti.
pasti mati.
begitu singkat kau di sini menjadi penyejuk hati
hati mereka yang menanti
pengisi sepi dan sunyi dan kini tiada lagi
begitu singkat kau di sini
sangatlah sekejap untuk dapat memahami
kegersangan fatamorgana dunia ini.
jiwamu telah terbang, tiada lagi engkau ditimang
ditimang dengan berjuta kasih sayang
sungguh tiada cacat pada jiwamu
dan tak pantas dunia busuk ini menjadi tempatmu
kerusakan telah nyata di sana-sini
tak layak bagimu yang suci
disanalah tempatmu
tempat bagi jiwa yang murni
menjadi bidadari di taman surgawi
merasai kenikmatan yang hakiki
(Trenggalek, 3 September 2014)
Pejalan Kaki Terhina
aku adalah pejalan kaki terhina
lelah karena perjalanan dunia
dunia fatamorgana
terlunta-lunta, terdesak oleh pemikiran
yang berorientasi harta
tersesatkah aku kini
terang sekali aku merasa sendiri
tak ada satupun yang berarti
tiada ambisi
pengembaraan panjang ini, berguna
ataukah sekedar sensasi
bisu, tiada jawaban
terlebih dari moncong suara
berbalut harta
emosilah yang melanda
busuk, picik, tiada kentara.
aku telah melihatnya
mendengarnya
merasakannya
tiadakah engkau seperti aku
ataukah ini hanya egoku
jangan-jangan engkau telah tertipu
gemerlap itu
tiadakah tercium olehmu
bau bacin yang begitu menyengat
mengotori sucinya jiwa
anyir!
cobalah kau ke sana
mengembara
berjalan kaki menikmati semesta
agar tersingkap segala prahara
(Trenggalek, September 2014)
Tangan Kanan Birokrat
kau,
tangan kanan birokrat, calon manusia keparat
kejam bak lintah darat, tak peduli orang melarat
yang penting habis penat.
kau,
tangan kanan birokrat
kerjamu patuh pada aturan yang ketat
tak peduli itu baik ataupun bejat
yang penting selamat.
kau,
tangan kanan birokrat
lemah lembut lambat-lambat
lalu berbalik dengan cepat
menyerang mangsa yang sekarat
takut kena pecat atau takut tak dapat
nikmat sesaat.
kau,
yang benar-benar birokrat, sudahkah kau tersesat
kau makin kaya tapi terus mengumpat
bang**t!
(Trenggalek, September 2014)
Penyair Malang
tinta telah kutorehkan
mengungkap berjuta keindahan
terlukiskan lewat tulisan
kata-kata seorang penyair malang.
dia hampir pingsan
karena selalu memusingkan
cita-cita dan pengharapan.
dia kelelahan
dia kesetanan
mengamuk melihat badai keserakahan
tapi dia hanya memikirkan
ia hanya diam
ia tidak mengikuti pergerakan
katanya itu merusak kebebasan.
persetan dengan pergerakan
mereka telah disusupi ketamakan
keinginan merebut kekuasaan
lalu apa yang hendak dilakukan
diam katanya
sabar ungkapnya
sungguh aku tidak mengerti
jalan pikirannya.
mungkinkah ia hanya seorang penyair gila
lihatlah!
anak-anak pun ketakutan melihat wajahnya
wajah brewok dengan mata kelam
seolah sedang menerawang
melewati batas kehidupan
menembus pedalaman jiwa yang usang.
lihatlah dan sekali lagi lihatlah!
mungkinkah ia seorang gelandangan
rambutnya gondrong tak karuan
dia tak berkendaraan
kebiasaannya jalan-jalan
katanya kesederhanaan
dia tidak suka kemewahan
kemewahan hanya akan menciptakan
keangkuhan dan penindasan.
(Trenggalek, 20 Oktober 2014)
Eka Mardiana
eka mardiana,
wajahmu itu mempesona
keindahan yang untukku terpana
kecantikan yang untukku sengsara.
senyum itu,
senyum itu sungguh menggoda kalbu
memaksa diriku untuk berpacu
berpacu menahan nafsu
nafsu asmara yang merindu.
eka mardiana,
hidungmu bak paruh elang
meski tak seberapa panjang
seperti milik orang arab di seberang
kau sungguh membuatku melayang.
kau mencengkeram sukmaku
yang telah lama menahan,
mengombang-ambingkan jiwaku
dalam ketidakpastian.
kau hancurkan ketatnya pertahanan
pertahanan yang tak terkalahkan
walau kini tanpa harapan
sungguh,
aku tak tahu bagaimana cara mengatakan
mengatakan perasaan jiwa yang kasmaran.
emosiku telah tercerahkan
kendati pikiranku tidak mengizinkan
untuk membujuk cinta
seorang gadis pujaan.
jadi,
hanya lewat tulisan ini aku ungkapkan
ungkapan kebisuan perasaan cinta yang dalam
kan kusimpan rindu untuk sebuah pelukan
kan kubuang rasa nikmatnya kecupan.
(Trenggalek, 28 Oktober 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H