Mohon tunggu...
Ghofiruddin
Ghofiruddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis/Blogger

Seorang pecinta sastra, menulis puisi dan juga fiksi, sesakali menulis esai nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan Seorang Mbambung (Edisi 2014 - Part II)

21 Oktober 2021   09:03 Diperbarui: 21 Oktober 2021   09:03 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Лечение наркомании dari Pixabay 

Panas

panas membara jagad raya,

membakar pikiran dalam heningnya sukma,

menyalakan api yang tidak pasti

mendidihkan darah hingga tubuhpun goyah,

menyemburkan kesunyian,

menghindari segala murka angkara.


panas pun terasa di pelupuk mataku,

membuat resah sekujur tubuhku,

resah bila sampai hilang kesadaranku,

padahal masih banyak yang aku tunggu


tunggu, tunggu dan hanya menunggu,

sampai terasa panas hati tak menentu,

menguap berjalan bersama debu-debu pengganggu,

diterbangkan angin yang menderu


panas membara bumi tercinta,

semakin panas karena dusta,

dusta para manusia.


semakin panas karena ratap tangis,

mengisyaratkan duka nestapa yang teramat miris


panas, panas dan semakin panas.

udara yang berhembus pun juga panas.

dinding itu, genteng itu

daun-daun itu pun juga ikut panas.


entah bagaimana pula dengan mereka

orang yang senantiasa dikhianati penguasa

(Trenggalek, 26 Agustus 2014)

Lingkaran Setan

kupegang jantungku dengan tangan kananku

kurasakan degupannya, lemah tanpa arti

seolah-olah aku akan mati


kuterbangkan pikiranku menembus kehinaan dunia

mencoba menempatkan diri dalam sempurnanya jiwa...

sendiri, sepi dan sunyi.


tampak seluruh manusia bercengkerama

bersuka cita dalam hampa

berdendang dalam duka

berjaya dalam lara

terlupa...


materi telah meluluhkan budi

menenggelamkan pekerti

kejujuran tiada lagi berarti

sukma hanyalah harta

yang berujung pada lingkaran arus derita.

lingkaran setan.


semuanya ingin berkuasa

menguasai tiap-tiap jiwa yang lena

mempersembahkan indah pada pandangan pertama

menghancurkan diri pada akhirnya.

(Trenggalek, Agustus 2014)

Bidadari Surga

dunia ini semerbak mewangi

menyajikan sejuta kenikmatan yang tak pasti

indah merona memanjakan diri

tapi sayang semua yang fana itu pasti.

pasti mati.


begitu singkat kau di sini menjadi penyejuk hati

hati mereka yang menanti

pengisi sepi dan sunyi dan kini tiada lagi


begitu singkat kau di sini

sangatlah sekejap untuk dapat memahami

kegersangan fatamorgana dunia ini.

jiwamu telah terbang, tiada lagi engkau ditimang

ditimang dengan berjuta kasih sayang


sungguh tiada cacat pada jiwamu

dan tak pantas dunia busuk ini menjadi tempatmu

kerusakan telah nyata di sana-sini

tak layak bagimu yang suci


disanalah tempatmu

tempat bagi jiwa yang murni

menjadi bidadari di taman surgawi

merasai kenikmatan yang hakiki

(Trenggalek, 3 September 2014)

Pejalan Kaki Terhina

aku adalah pejalan kaki terhina

lelah karena perjalanan dunia

dunia fatamorgana

terlunta-lunta, terdesak oleh pemikiran

yang berorientasi harta


tersesatkah aku kini

terang sekali aku merasa sendiri

tak ada satupun yang berarti

tiada ambisi


pengembaraan panjang ini, berguna

ataukah sekedar sensasi

bisu, tiada jawaban

terlebih dari moncong suara

berbalut harta

emosilah yang melanda

busuk, picik, tiada kentara.


aku telah melihatnya

mendengarnya

merasakannya

tiadakah engkau seperti aku

ataukah ini hanya egoku


jangan-jangan engkau telah tertipu

gemerlap itu

tiadakah tercium olehmu

bau bacin yang begitu menyengat

mengotori sucinya jiwa

anyir!


cobalah kau ke sana

mengembara

berjalan kaki menikmati semesta

agar tersingkap segala prahara

(Trenggalek, September 2014)

Tangan Kanan Birokrat

kau,

tangan kanan birokrat, calon manusia keparat

kejam bak lintah darat, tak peduli orang melarat

yang penting habis penat.


kau,

tangan kanan birokrat

kerjamu patuh pada aturan yang ketat

tak peduli itu baik ataupun bejat

yang penting selamat.


kau,

tangan kanan birokrat

lemah lembut lambat-lambat

lalu berbalik dengan cepat

menyerang mangsa yang sekarat

takut kena pecat atau takut tak dapat

nikmat sesaat.


kau,

yang benar-benar birokrat, sudahkah kau tersesat

kau makin kaya tapi terus mengumpat


bang**t!

(Trenggalek, September 2014)

Penyair Malang

tinta telah kutorehkan

mengungkap berjuta keindahan

terlukiskan lewat tulisan

kata-kata seorang penyair malang.

dia hampir pingsan

karena selalu memusingkan

cita-cita dan pengharapan.


dia kelelahan

dia kesetanan

mengamuk melihat badai keserakahan

tapi dia hanya memikirkan

ia hanya diam

ia tidak mengikuti pergerakan

katanya itu merusak kebebasan.


persetan dengan pergerakan

mereka telah disusupi ketamakan

keinginan merebut kekuasaan

lalu apa yang hendak dilakukan

diam katanya

sabar ungkapnya

sungguh aku tidak mengerti

jalan pikirannya.


mungkinkah ia hanya seorang penyair gila

lihatlah!

anak-anak pun ketakutan melihat wajahnya

wajah brewok dengan mata kelam

seolah sedang menerawang

melewati batas kehidupan

menembus pedalaman jiwa yang usang.


lihatlah dan sekali lagi lihatlah!

mungkinkah ia seorang gelandangan

rambutnya gondrong tak karuan

dia tak berkendaraan

kebiasaannya jalan-jalan

katanya kesederhanaan

dia tidak suka kemewahan

kemewahan hanya akan menciptakan

keangkuhan dan penindasan.

(Trenggalek, 20 Oktober 2014)

Eka Mardiana

eka mardiana,

wajahmu itu mempesona

keindahan yang untukku terpana

kecantikan yang untukku sengsara.


senyum itu,

senyum itu sungguh menggoda kalbu

memaksa diriku untuk berpacu

berpacu menahan nafsu

nafsu asmara yang merindu.


eka mardiana,

hidungmu bak paruh elang

meski tak seberapa panjang

seperti milik orang arab di seberang

kau sungguh membuatku melayang.


kau mencengkeram sukmaku

yang telah lama menahan,

mengombang-ambingkan jiwaku

dalam ketidakpastian.

kau hancurkan ketatnya pertahanan

pertahanan yang tak terkalahkan

walau kini tanpa harapan

sungguh,

aku tak tahu bagaimana cara mengatakan

mengatakan perasaan jiwa yang kasmaran.


emosiku telah tercerahkan

kendati pikiranku tidak mengizinkan

untuk membujuk cinta

seorang gadis pujaan.


jadi,

hanya lewat tulisan ini aku ungkapkan

ungkapan kebisuan perasaan cinta yang dalam

kan kusimpan rindu untuk sebuah pelukan

kan kubuang rasa nikmatnya kecupan.

(Trenggalek, 28 Oktober 2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun