Sejarah Singkat Pondok Buntet Pesantren
Pondok Buntet Pesantren Cirebon merupakan salah satu pondok tertua yang ada di Pulau Jawa yang didirikan sejak abad ke-18 tepatnya pada tahun 1770 M. Mbah Muqoyyim atau pemilik nama asli dari Muqoyyim bin Abdul Hadi, merupakan pendiri Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Sebelum mendirikan sebuah Pesantren di daerah Buntet, Cirebon, Mbah Muqoyyim terlebih dahulu berpuasa selama duabelas tahun. Tiga tahun pertama beliau berpuasa untuk dirinya sendiri, tiga thaun kedua beliau berpuasa untuk anak cucunya, tiga tahun ketiga beliau berpuasa untuk tanah yang akan beliau jadikan sebagai daerah pesantren, dan tiga tahun terakhir belia berpuasa untuk santri-santri nya kelak.
Pondok Buntet Pesantren menunjukkan sikap konsisten dalam menyebarkan syi’ar-syi’ar Islam. Sikap tersebut diwujudkan dalam berbagai nilai-nilai kehidupan, seperti keagamaan, pendidikan, kebangsaan dll. Seiring dengan terus berkembangnya zaman, Pondok Buntet Pesantren memadukan antara sistem salafi dengan sistem khalafi. Sistem Salafi merupakan salah satu ajaran yang berpedoman kepada literasi-literasi para cendikiawan muslim di masa yang lalu. Dan Sistem Khalafi merupakan sistem belajar yang mengacu kepada suatu pendidikan yang bersifat modern dengan diterapkannya kurikulum maupun sistem pendidikan yang berlaku.
Disamping itu, keberadaan seorang Kyai, Pesantren dan Tarikat, merupakan tiga unsur keberagamaan yang saling keterkaitan dan tidak dapat dihilangkan salah satunya. Seringkali kita temukan bahwa seorang Kyai atau Ulama memiliki pesantren dan juga tarikat. Di Pondok Buntet Pesantren sendiri memang sejak awal sudah terdapat dua tarikat. Yang pertama ialah Tarikat Syatariyah, dan Tarikat Tijaniyah.
Asal-usul Tarikat Tijaniyah
Tarikat Tijaniyah dibawa oleh KH. Anas atau Muhammad Anas, dengan nama Ibunya bernama Nya’I Qori’ah dan Ayahnya bernama KH. Abdul Jamil. Mbah Muqoyuim merupakan putra kedua yang dibesarkan dari total empat bersaudara, dilahirkan pada tahun 1883 M di Desa Pekalangan, Cirebon. Kakak beliau bernama KH. Abbas yang dulu juga pernah memimpin Pondok Buntet Pesantren, dan kedua adiknya yang bernama KH. Ilyas dan KH. Akyas.
Tarikat Tijaniyah berkembang pesat di kalangan Buntet Pesantren. Ajaran Tarikat Tijaniyah terbilang mudah bagi siapa saja yang ingin mempelajrinya, dan tidak memaksa untuk menarik perhatian bagi sebagian masyarakat khususnya di Pulau Jawa. Dalam ajaran Tarikat Tijaniyah dikenal dengan istilah muqaddam min muqaddam. Muqaddam min Muqaddam artinya seorang ikhwan Tijaniyah bisa melakukan bai’at lebih dari satu kali kepada muqaddam lainnya dengan alasan ketakwaan, senioritas usia, ataupun disiplin ilmu yang dimiliki muqaddam senior tersebut. Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa KH. Anas melakukan bai’at tarikatnya dua kali, yang pertama dari Syekh Alfa Hasyim di Madinah dan kedua dari Syekh Ali al-Thayyib, murid dari Syekh Alfa Hasyim ketika beliau datang ke Indonesia tahun 1937.
Pada umumnya, nama tarikat ditunjukkan sebagai suatu penisbatan kepada nama pendirinya. Seperti halnya Tarikat Qadariyah, pendirinya ialah Syekh Abdul al-Qadir Al-Jailani, Tarikat Naqsyabandiyah didirikan oleh Bahauddin Naqsyaband, Tarikat Syatariyyah didirkan oleh Abdullah al-Syattar, maka Tarikat Tijaniyah berasal dari nama pendirinya yaitu Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al Tijani.
Tijani merupakan nama suku asli yang berada di daerah Algeria atau Aljazair di bagian selatan. Berdasarkan nasab, orang asli dari suku Tijani ialah Ibu Abu al-Abbas Ahmad, yang bernama Sayyidah Aisyah binti Abdullah al-Sanusi al-Tijani. Secara lengkap silsilah Abu al-Abbas Ahmad adalah sebagai berikut: Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad bin Salim bin Ahmad (bergelar al-Alwaany) bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abd al-Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Ali Zain al-Abidin, bin Ahmad bin Muhammad an-Nafsu az-Zakiyah bin Abdullah bin Hasan al-Mutsannna bin al-Hasan al-Sibthi, bin Ali bin Abi Thalib dari Sayyidah Fatimahaz Zahro binti Muhammad SAW.
Ajaran Tarikat Tijaniyah
Wirid Lazim
Wirid Lazim merupakan pengamalan bacaan yang berupa istighfar, shalawat dan lafaz Laa Ilaaha Illallah Muhammadur-Rasulullah. Masing-masing dibaca sebanyak 100 kali dan diakhiri dengan Shalawat Fatih. Waktu yang digunakan ketika membaca wirid lazim ialah sebanyak dua kali dalam sehari semalam, yaitu ketika ba’da subuh sampai menjelang waktu dhuha, dan ba’da ashar sampai menjelang sholat isya. Pengamalan wirid lazim tersebut atas waktu-waktu yang sudah diajarkan terdapat keutamaan yang tertulis di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Ahzab ayat 41-42 dan Hadits-hadits Nabi dalam an-Nasa’i. “Apabila pagi setelahshalat Shubuh sampai waktu Dhuha tidak bisa dilakukan, maka waktu wirid lazim sampai waktu Maghrib. Untuk mendapatkan keutamaan yang besar, wirid lazim ini diamalkan sebelum waktu Shubuh dengan syarat harus selesai sebelum waktu Shubuh. Dan apabila sore setelah shalat Ashar sampai shalat Isya tidak dilaksanakan, maka waktunya sampai Shubuh”.
1. Istighfar
Tujuan membaca istighfar ialah untuk membersihkan hati, mensucikan diri dari dosa, dimudahkan dalam segala urusan, dan dapat menenangkan hati. Istighfar dilakukan sebagai langkah awal sebelum melakukan aktiftas ber tawajjuh dan wushul kepada Allah SWT.
2. Shalawat
Shalawat secara harfiah merupakan do’a kita kepada Allah SWT agar menambahkan belas kasih, keagungan kepadanya, dan sebagai bentuk ucapan rasa syukur kita, sebagaimana tercantum dalam Hadits Qudsi yang artinya :
“…Karena mengamalkan hadits qudsi, yaitu firman Allah SWT, ‘Hamba-Ku, kau belum bersyukur kepada-Ku bila kau belum berterima kasih kepada orang (Nabi Muhammad SAW) yang Kulimpahkan nikmat padanya.’ Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah perantara agung bagi kita dalam segala nikmat Allah, bahkan Nabi Muhammad SAW adalah asal penciptaan segenap makhluk, Nabi Adam AS dan lainnya,”
3. Lafaz Laa Ilaaha Illallah Muhammadur-Rasulullah
Setelah melantukan lafaz istighfar dan ber shalawat, maka terakhir kita lantunkan lafaz Laa Ilaaha Illallah Muhammadur-Rasulullah. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya : "Barang siapa yang awal perkaanya laa ilaha illallah dan akhir perkaannya laa ilaha illallah dan melakukan seribu kesalahan (dosa kecil) dan jika dia hidup seribu tahun, maka Allah tidak akan menanyakan satu dosapun".
Dalam hadits lain juga berbunyi : "Laa Ilaaha Illallah adalah benteng-Ku, maka dia selamat dari siksa-ku".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H