Batara Hutagalung dan Jeffry Pondaag pada tahun 2005 mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), sebuah yayasan yang mewakilkan suara korban-korban kolonialisme Belanda.
Pada tahun 2008, Pengacara Liesbeth Zegveld ditunjuk untuk mewakili satu korban selamat dan sembilan janda Tragedi Rawagede dalam proses hukum menuntut negara Belanda atas tindakannya pada tahun 1947. Pada tahun 2011, pengacara negara Belanda telah menolak tuntutan reparasi atas dasar argumen bahwa kejahatan tersebut terlalu tua untuk dituntut.
Seharusnya kejahatan itu dituntut dalam waktu 30 tahun setelah kejadian: yaitu sebelum tahun 1977. Pembelaan ini menyiratkan bahwa pada bulan Desember 2011, negara Belanda juga tidak mengakui pembantaian Rawagede sebagai kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dikecualikan dari undang-undang pembatasan (statute of limitations).
Lalu, apakah pembantaian Rawagede bukan kejahatan terhadap kemanusiaan? Mengenai itu, pengadilan Belanda tidak memberikan jawaban dan pada dasarnya tetap ambigu. Di satu pihak, pengadilan menyetujui argumen negara Belanda bahwa undang-undang pembatasan normal berlaku untuk pembantaian Rawagede dan dengan demikian tetap pada argumen bahwa pembantaian ini bukan pelanggaran hak asasi manusia.
Namun, di sisi lain, pengadilan menilai bahwa pembantaian Rawagede adalah pengecualian karena tidak adanya preseden. Oleh karena itu, menurut pengadilan, statute of limitation yang normal tidak berlaku untuk kasus ini, seakan-akan pembantaian tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Perang Kemerdekaan yang belangsung di Indonesia sekitar tahun 1945-1950, menurut pandangan Belanda bukanlah perang.
Mengapa demikian? Pemerintah Belanda tidak menganggap ini sebagai perang yang nyata karena, dalam pandangannya, tidak ada musuh “asing” di sini. Pemerintah Belanda masih menganggap Republik Indonesia sebagai koloninya, bahkan setelah deklarasi kemerdekaan tahun 1945.
Akhirnya, setelah melalui proses hukum yang panjang, pada tanggal 10 Desember 2011, 64 tahun setelah Tragedi Pembantaian Rawagede, pemerintah Belanda menyetujui tuntutan sembilan janda yang masih hidup. Negara Belanda setuju untuk memberikan kompensasi kepada setiap janda sejumlah 20.000 Euro. Saih bin Sakam, satu-satunya laki-laki dan juga korban yang selamat dari pembantaian, telah meninggal pada bulan Mei 2011, sehingga ia tidak menerima kompensasi tersebut.
Negara Belanda juga setuju untuk menyampaikan permintaan maaf resmi atas tragedi tersebut melalui duta besarnya di Indonesia. Duta besar Belanda di Indonesia pada tahun 2011, Tjeerd de Zwaan, meminta maaf atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Rawagede pada tahun 1947.
Sembilan kerabat korban, berpakaian hitam, menghadiri upacara peringatan tersebut. Ini adalah pertama kalinya Pemerintah Belanda meminta maaf atas Tragedi Pembantaian Rawagede, tragedi kelam yang menghilangkan kurang lebih 431 nyawa penduduk Rawagede.
Lalu, bagaimana dengan keluarga korban yang lainnya? Pada upacara peringatan, ada beberapa argumen ketika diumumkan bahwa hanya sembilan janda korban pembantaian yang akan menerima uang kompensasi dan tidak semua kerabat korban yang masih hidup.
Penduduk desa lainnya mencap hal tersebut diskriminatif dan tidak adil. Salah satu janda penerima kompensasi, Lasmi, harus kehilangan uang 20.000 Euronya. Kakak iparnya merasa bahwa ia juga berhak atas kompensasi tersebut karena mendiang suami Lasmi adalah adiknya. Begitu juga penduduk desa yang lainnya.
Keributan baru terselesaikan setelah kepala desa meminta Lasmi untuk membagi uang kompensasi tersebut kepada kerabat korban yang lainnya sehingga pada akhirnya tinggal tersisa 400 Euro untuk dirinya.
Menurut Sukarman dari Yayasan Rawagede, bukan hanya 9 janda yang masih hidup ini yang kehilangan orang yang mereka cintai. Ada 117 korban lain yang kehilangan ayah, kakek, saudara laki-laki mereka, dan mereka juga sama menderitanya. Walaupun demikian, Belanda bersikeras bahwa hanya janda-janda yang masih hidup dari orang-orang yang dieksekusi yang berhak mendapatkan kompensasi.
Daftar Pustaka:
Tamm, M., & Lorenz, C. (2015). Can a criminal event in the past disappear in a garbage bin in the present? Dutch colonial memory and human rights: the case of Rawagede. In Afterlife of events: Perspectives on mnemohistory (pp. 219–241). essay, Palgrave Macmillan.
Provinciale Zeeuwse Courant. (2011, December 10). Krantenbank Zeeland. Retrieved May 31, 2022, from https://krantenbankzeeland.nl/issue/pzc/2011-12-10/edition/null/page/8?query=rawagede
Provinciale Zeeuwse Courant. (2013, October 26). Krantenbank Zeeland. Retrieved May 31, 2022, from https://krantenbankzeeland.nl/issue/pzc/2013-10-26/edition/null/page/68?query=rawagede
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H