Mohon tunggu...
GHINA KHAIRUNNAJAH
GHINA KHAIRUNNAJAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA| PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010167

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG Universitas Mercu Buana Meruya Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna

20 November 2024   18:38 Diperbarui: 20 November 2024   18:38 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Pendahuluan

Korupsi telah menjadi salah satu isu yang terus membayangi perjalanan pembangunan di Indonesia. Sebagai salah satu permasalahan yang paling kompleks, korupsi tidak hanya mencakup penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, tetapi juga memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari ekonomi, politik, hingga sosial budaya. Fenomena ini merusak tata kelola pemerintahan yang baik, melemahkan sistem hukum, dan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin dalam. Dalam konteks global, Transparency International kerap menempatkan Indonesia dalam peringkat yang rendah dalam indeks persepsi korupsi, sebuah indikasi bahwa korupsi masih menjadi hambatan besar bagi kemajuan bangsa. Oleh karena itu, memahami akar penyebab korupsi dan mengidentifikasi langkah-langkah pencegahan yang tepat menjadi sangat penting. 

Korupsi bukanlah sekadar tindakan individu, melainkan sebuah masalah sistemik yang melibatkan banyak elemen, seperti kelemahan institusi, budaya birokrasi, dan faktor-faktor pribadi. Dalam kajian akademis, berbagai pendekatan telah dikembangkan untuk menganalisis korupsi. Salah satu pendekatan yang paling dikenal adalah model yang dikembangkan oleh Robert Klitgaard, seorang ahli ekonomi yang dikenal atas kontribusinya dalam studi tata kelola pemerintahan. Klitgaard menawarkan formula sederhana untuk memahami korupsi: C = M + D - A. Dalam rumus ini, korupsi (corruption) muncul dari kombinasi monopoli kekuasaan (monopoly), keleluasaan dalam pengambilan keputusan (discretion), dan minimnya akuntabilitas (accountability). Dengan kata lain, ketika individu atau kelompok memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, keleluasaan tanpa pengawasan, dan tidak dimintai pertanggungjawaban, maka korupsi memiliki peluang besar untuk berkembang. Model ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah moral, tetapi juga cerminan dari kelemahan struktural dan kelembagaan. 

Di sisi lain, pendekatan yang lebih psikologis dan perilaku ditawarkan oleh Jack Bologna melalui konsep fraud triangle. Pendekatan ini menjelaskan bahwa tindakan korupsi atau kecurangan terjadi ketika tiga elemen utama saling mendukung, yaitu tekanan (pressure), peluang (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization). Tekanan dapat berasal dari berbagai sumber, seperti kebutuhan ekonomi, tuntutan keluarga, atau tekanan dari atasan. Peluang muncul karena kelemahan dalam sistem pengawasan dan kontrol, misalnya kurangnya audit atau pengawasan yang tidak efektif. Sementara itu, rasionalisasi adalah proses di mana pelaku korupsi membenarkan tindakannya, misalnya dengan alasan "semua orang melakukannya" atau "ini hanya bagian kecil dari apa yang saya layak dapatkan." Pendekatan ini memberikan wawasan penting bahwa korupsi tidak hanya terjadi karena adanya kesempatan, tetapi juga karena adanya tekanan dan pembenaran pribadi. 

Dalam konteks Indonesia, kedua pendekatan ini sangat relevan untuk menganalisis berbagai kasus korupsi yang telah terjadi. Misalnya, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah sering kali mencerminkan monopoli kekuasaan oleh pejabat tertentu, keleluasaan dalam mengambil keputusan tanpa pengawasan, dan lemahnya mekanisme pertanggungjawaban. Selain itu, tekanan ekonomi yang dihadapi oleh individu, serta kemampuan untuk merasionalisasi tindakan tersebut, memperkuat pola ini. Sebagai contoh, banyak kasus korupsi di Indonesia melibatkan pejabat yang merasa memiliki "hak istimewa" atas sumber daya negara atau berusaha memenuhi tekanan politik untuk membiayai kampanye atau kelompok tertentu. 

Lebih jauh lagi, pemahaman tentang korupsi di Indonesia juga perlu mempertimbangkan faktor budaya dan struktur birokrasi. Budaya "asal bapak senang" (ABS) atau praktik kolusi dan nepotisme sering kali menjadi latar belakang yang mendorong tindakan koruptif. Dalam lingkungan birokrasi yang hierarkis, pejabat di tingkat bawah sering kali merasa tertekan untuk mematuhi perintah atasan meskipun tindakan tersebut melanggar hukum. Pada saat yang sama, lemahnya pengawasan eksternal, seperti pengawasan oleh lembaga audit atau masyarakat, menciptakan peluang bagi tindak korupsi untuk terus berkembang. 

Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam bagaimana pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna dapat digunakan untuk menganalisis akar penyebab korupsi di Indonesia. Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang dinamika korupsi di Indonesia, baik dari sisi kelemahan struktural maupun faktor individu. Lebih dari itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menawarkan rekomendasi kebijakan yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi. Dengan memahami akar permasalahan secara menyeluruh, diharapkan Indonesia dapat membangun sistem pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan publik. 

Kajian ini tidak hanya relevan bagi pembuat kebijakan, tetapi juga bagi masyarakat umum yang memiliki peran penting dalam mengawasi kinerja pemerintah. Melalui kombinasi teori dan analisis empiris, penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam mendukung agenda reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi yang berkelanjutan di Indonesia. Dengan pendekatan yang sistematis dan terintegrasi, diharapkan korupsi tidak lagi menjadi hambatan utama bagi pembangunan bangsa, melainkan menjadi momentum untuk membangun tata kelola yang lebih baik di masa depan.

Apa tekanan, peluang, dan rasionalisasi yang umum ditemukan dalam kasus korupsi besar di Indonesia berdasarkan fraud triangle Bologna?

Dalam teori fraud triangle yang dikembangkan oleh Jack Bologna, korupsi besar di Indonesia dapat dijelaskan melalui tiga elemen utama: tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Tekanan mengacu pada faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Di Indonesia, tekanan sering kali berasal dari kebutuhan finansial yang tinggi, tuntutan politik untuk mengumpulkan dana kampanye, atau harapan sosial dari keluarga dan komunitas. Peluang muncul karena kelemahan dalam pengawasan, seperti lemahnya mekanisme audit, monopoli kekuasaan oleh pejabat tertentu, atau kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran. Rasionalisasi adalah proses di mana pelaku membenarkan tindakannya, misalnya dengan alasan "semua orang melakukannya," atau "saya berhak mendapat kompensasi." Ketiga elemen ini sering berinteraksi, menciptakan kondisi yang memungkinkan korupsi tumbuh subur.

Mengapa tekanan politik dan sosial sering menjadi pendorong utama korupsi dalam kasus besar di Indonesia?

Menggabungkan pendekatan Klitgaard dan Bologna dalam merumuskan kebijakan antikorupsi di Indonesia sangat penting karena kedua teori ini memberikan pemahaman yang lebih lengkap dan menyeluruh mengenai penyebab korupsi. Pendekatan Klitgaard menekankan pada faktor-faktor struktural dalam sistem pemerintahan, seperti adanya monopoli kekuasaan, keleluasaan dalam pengambilan keputusan tanpa pengawasan yang memadai, serta lemahnya akuntabilitas. Hal ini menggambarkan bagaimana sistem yang tidak transparan dan kurangnya kontrol memberikan ruang bagi praktik korupsi. Sementara itu, fraud triangle yang dikembangkan oleh Bologna memberikan penjelasan tentang motivasi individu yang terlibat dalam korupsi, dengan menyoroti tiga elemen penting: tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Tekanan bisa datang dari faktor ekonomi atau sosial, sementara peluang muncul karena lemahnya sistem pengawasan, dan rasionalisasi terjadi ketika pelaku membenarkan tindakan korupsi mereka.

Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, kebijakan antikorupsi dapat dirancang dengan lebih efektif karena mampu mengatasi masalah korupsi dari dua sisi---baik dari aspek sistemik maupun perilaku individu. Pendekatan ini tidak hanya fokus pada perubahan struktural dalam sistem pemerintahan, tetapi juga mengakui pentingnya pemahaman terhadap motivasi pribadi yang dapat mendorong seseorang melakukan korupsi. Oleh karena itu, kebijakan yang dihasilkan akan lebih komprehensif, mencakup perbaikan sistem pemerintahan serta upaya untuk mengubah perilaku individu agar lebih akuntabel dan transparan. Dengan demikian, penggabungan kedua pendekatan ini dapat menciptakan kerangka kerja yang lebih holistik dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia.

Bagaimana sistem hukum Indonesia dapat diperkuat untuk mengatasi kelemahan struktural yang ditemukan dalam formula korupsi Klitgaard?

Untuk memperkuat sistem hukum Indonesia dan mengatasi kelemahan struktural yang ditemukan dalam formula korupsi Klitgaard, sejumlah langkah strategis perlu dilakukan yang mencakup perbaikan tata kelola pemerintahan, penguatan mekanisme pengawasan, serta peningkatan akuntabilitas. Dalam teori Klitgaard, korupsi sering terjadi karena tiga faktor utama, yaitu monopoli (kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu pihak), keleluasaan (kemampuan untuk membuat keputusan tanpa pengawasan yang ketat), dan kurangnya akuntabilitas (tidak adanya pertanggungjawaban atas tindakan atau keputusan). Oleh karena itu, penguatan sistem hukum harus mampu mengatasi ketiga faktor ini secara komprehensif untuk menciptakan lingkungan yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi.

  • Mengurangi Monopoli Kekuasaan

Salah satu kelemahan struktural utama yang sering kali mengarah pada korupsi adalah adanya monopoli kekuasaan. Di Indonesia, banyak posisi atau jabatan publik yang memiliki otoritas besar tanpa adanya pembagian wewenang yang jelas, yang berpotensi menciptakan peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan. Untuk mengatasi masalah ini, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperkuat prinsip checks and balances di dalam sistem pemerintahan. Salah satu cara yang efektif adalah dengan memastikan bahwa tidak ada satu lembaga atau individu yang memegang terlalu banyak kekuasaan tanpa ada pengawasan dari lembaga lain. Pembagian kewenangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus diperjelas dan diberdayakan sesuai dengan prinsip demokrasi.

Penerapan prinsip desentralisasi juga penting untuk mengurangi kekuasaan yang terpusat pada satu pihak. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dapat menciptakan sistem pemerintahan yang lebih transparan dan partisipatif, sekaligus mengurangi peluang untuk terjadinya korupsi di tingkat pusat. Pembagian kewenangan ini juga dapat meningkatkan efisiensi birokrasi dan mendekatkan pengambilan keputusan dengan masyarakat yang lebih membutuhkan, sehingga mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan terpusat.

  • Mengurangi Keleluasaan Pengambilan Keputusan

Faktor berikutnya yang memengaruhi terjadinya korupsi adalah keleluasaan dalam pengambilan keputusan. Keleluasaan yang dimaksud di sini adalah kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan tanpa pengawasan yang ketat, yang sering kali membuka celah bagi tindakan korupsi. Di Indonesia, masih banyak kasus di mana pejabat publik memiliki otoritas yang sangat besar dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan tanpa adanya pengawasan yang efektif. Oleh karena itu, langkah penting yang harus diambil adalah menerapkan sistem transparansi yang lebih ketat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan anggaran negara.

Salah satu solusinya adalah dengan memperkenalkan sistem audit yang lebih ketat dan rutin oleh lembaga-lembaga independen, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga pengawasan lainnya. Selain itu, penerapan e-government dan digitalisasi data juga dapat meningkatkan transparansi dan mempermudah pengawasan, sehingga keputusan-keputusan penting dapat dipantau oleh publik dan lembaga terkait. Semua data anggaran dan laporan keuangan pemerintah harus dipublikasikan secara terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat, sehingga meminimalkan ruang untuk penyalahgunaan wewenang.

  • Meningkatkan Akuntabilitas Pemerintah

Peningkatan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan Indonesia juga merupakan kunci untuk mengurangi korupsi. Akuntabilitas yang dimaksud adalah kemampuan pemerintah dan pejabat publik untuk memberikan pertanggungjawaban yang jelas atas keputusan yang mereka ambil dan tindakan yang mereka lakukan. Dalam hal ini, penting untuk memperkenalkan mekanisme pelaporan yang lebih transparan dan mengikat, serta memperkuat kewenangan lembaga-lembaga pengawas untuk memeriksa dan mengevaluasi kinerja pemerintahan.

Selain itu, perlu ada reformasi dalam sistem peradilan, terutama dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku korupsi. Sistem peradilan yang selama ini sering dikritik karena lemahnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi harus diperkuat. Reformasi ini bisa meliputi peningkatan kualitas hakim, pembenahan sistem persidangan yang lebih transparan, serta pengawasan yang ketat terhadap proses hukum yang berlangsung. Tidak hanya itu, sistem perlindungan bagi whistleblowers dan saksi yang melaporkan kasus korupsi juga harus diperkuat agar mereka tidak merasa takut untuk mengungkapkan praktek korupsi yang terjadi.

  • Pembenahan Hukum dan Perlindungan terhadap Whistleblowers

Dalam rangka memperkuat sistem hukum Indonesia, penting juga untuk mendorong pengembangan undang-undang yang melindungi whistleblowers. Banyak individu yang mengetahui adanya praktik korupsi namun takut melaporkannya karena adanya ancaman balas dendam atau intimidasi. Oleh karena itu, negara harus memastikan bahwa sistem perlindungan hukum bagi whistleblowers diterapkan dengan baik dan efektif. Selain itu, memberikan insentif kepada mereka yang berani melaporkan kasus-kasus korupsi dapat menjadi motivasi tambahan untuk membuka praktik-praktik koruptif yang selama ini terpendam.

  • Pendidikan dan Kesadaran Publik

Selain memperkuat aspek hukum dan pengawasan, pendidikan publik juga memiliki peran yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Masyarakat yang sadar akan dampak buruk dari korupsi dan memahami cara melaporkan tindakan korupsi dapat berperan sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban public dalam mengawasi jalannya pemerintahan, serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak negatif korupsi terhadap pembangunan nasional. Program pendidikan anti-korupsi yang menyasar berbagai lapisan masyarakat, baik di sekolah maupun di lingkungan kerja, akan memperkuat budaya integritas dan transparansi dalam masyarakat.

  • Mengintegrasikan Pendekatan Sistemik dan Perilaku Individu

Secara keseluruhan, penguatan sistem hukum Indonesia untuk mengatasi kelemahan struktural yang ditemukan dalam formula korupsi Klitgaard harus dilakukan secara holistik, dengan memperhatikan faktor-faktor sistemik maupun perilaku individu. Tidak hanya perlu ada perubahan dalam struktur pemerintahan dan tata kelola anggaran, tetapi juga perlu ada pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengubah perilaku pejabat publik dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kebijakan pemberantasan korupsi yang efektif harus mengintegrasikan perubahan pada level makro (sistemik) maupun mikro (perilaku individu), menciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat memperkuat sistem hukumnya dan mengurangi kelemahan struktural yang memungkinkan terjadinya korupsi, sekaligus menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan dipercaya oleh rakyat. Reformasi ini harus dilakukan dengan melibatkan semua pihak, baik pemerintah, lembaga hukum, masyarakat, dan sektor swasta, untuk membentuk lingkungan yang bebas dari korupsi dan mendorong kemajuan bangsa secara berkelanjutan.

CONTOH KASUS

Kasus Korusi Bank Century

Kasus korupsi Bank Century adalah salah satu skandal besar dalam sejarah perbankan di Indonesia yang melibatkan penyalahgunaan dana talangan (bailout) yang diberikan oleh pemerintah pada tahun 2008. Bank Century, yang merupakan bank swasta nasional, mengalami kesulitan finansial yang sangat berat akibat krisis keuangan global dan pengelolaan internal yang buruk. Keadaan ini mendorong Bank Indonesia (BI) untuk mengucurkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) guna mencegah kebangkrutan bank tersebut dan menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia. Namun, keputusan untuk menyelamatkan Bank Century dengan dana yang sangat besar ini menimbulkan kontroversi, terutama karena prosedur yang digunakan untuk memutuskan pemberian dana talangan tersebut sangat tidak transparan dan banyak menimbulkan kejanggalan. Salah satu isu utama adalah ketidakjelasan apakah Bank Century benar-benar memenuhi kriteria untuk mendapatkan dana talangan tersebut, mengingat banyak pihak yang berpendapat bahwa bank tersebut sudah berada dalam kondisi yang sangat buruk sebelum krisis global terjadi.

Dalam konteks analisis menggunakan pendekatan Robert Klitgaard mengenai penyebab korupsi, terdapat tiga faktor utama yang dapat menjelaskan mengapa korupsi terjadi dalam kasus ini, yaitu monopoli, keleluasaan, dan kurangnya akuntabilitas. Pertama, monopoli muncul karena keputusan pemberian dana talangan kepada Bank Century melibatkan pihak-pihak tertentu yang memiliki kontrol penuh dalam pengambilan keputusan tanpa adanya transparansi atau pengawasan eksternal yang memadai. Keputusan ini didominasi oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dalam BI dan LPS, yang pada saat itu memiliki kewenangan besar dalam menentukan bank mana yang perlu diselamatkan. Proses tersebut menutup peluang bagi pihak luar atau masyarakat untuk mengetahui alasan di balik keputusan tersebut, yang dapat menciptakan ruang untuk penyalahgunaan kewenangan. Kedua, keleluasaan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai pemberian dana talangan juga menjadi faktor penting dalam terjadinya korupsi. Tanpa adanya sistem pengawasan yang ketat, pejabat yang memiliki kewenangan besar dalam menentukan siapa yang mendapat bantuan dana dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Ketiga, kurangnya akuntabilitas sangat jelas terlihat dalam kasus ini, terutama dalam hal pertanggungjawaban penggunaan dana talangan yang sangat besar. Meskipun dana tersebut disalurkan dengan tujuan menyelamatkan Bank Century dan mencegah keruntuhan ekonomi yang lebih luas, tidak ada pengawasan yang jelas mengenai bagaimana dana tersebut digunakan dan apakah penggunaannya benar-benar sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

Pendekatan fraud triangle yang dikembangkan oleh Jack Bologna juga memberikan wawasan yang mendalam mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi dalam kasus ini. Dalam fraud triangle, terdapat tiga elemen penting yang dapat menjelaskan terjadinya tindakan penipuan atau korupsi: Tekanan, Peluang, dan Rasionalisasi. Pertama, Tekanan yang dihadapi oleh pemerintah dan pejabat Bank Indonesia serta LPS untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia di tengah krisis global menjadi faktor utama yang mendorong pengambilan keputusan untuk memberikan dana talangan kepada Bank Century. Tekanan ini membuat pengambil keputusan merasa terpaksa untuk menyelamatkan bank tersebut, meskipun ada indikasi bahwa bank tersebut sudah dalam kondisi yang sangat buruk sebelum krisis global. Dalam situasi seperti ini, keputusan untuk memberikan dana talangan kepada bank bermasalah bisa dilihat sebagai upaya untuk mencegah dampak negatif yang lebih besar terhadap perekonomian Indonesia. Kedua, peluang untuk melakukan penyalahgunaan dana talangan muncul karena adanya keleluasaan dalam proses pengambilan keputusan. Sistem pengawasan yang lemah dan tidak adanya transparansi dalam proses tersebut memberi peluang bagi pihak yang terlibat untuk memanfaatkan situasi ini demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Ketiga, rasionalisasi digunakan oleh pelaku untuk membenarkan keputusan yang diambil. Dalam hal ini, pejabat yang terlibat dalam pemberian dana talangan kepada Bank Century mungkin merasa bahwa tindakan mereka adalah langkah yang sah dan perlu untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Rasionalisasi ini memungkinkan mereka untuk mengabaikan prosedur yang benar dan mengambil keputusan yang seharusnya tidak dilakukan.

Kasus Bank Century menarik perhatian publik karena meskipun sejumlah pejabat yang terlibat diperiksa, termasuk pejabat tinggi di Bank Indonesia dan LPS, hingga saat ini tidak ada keputusan hukum yang jelas mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas penyalahgunaan dana talangan tersebut. Proses penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga-lembaga lainnya berjalan lambat dan tidak menunjukkan hasil yang signifikan, sehingga membuat masyarakat merasa kecewa. Kasus ini menunjukkan adanya kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana publik yang besar, dan juga mengungkapkan bagaimana sistem pengawasan yang ada pada saat itu tidak mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan dana talangan.

Selain itu, dampak dari kasus ini sangat besar. Secara ekonomi, kasus ini menyebabkan kerugian yang signifikan bagi negara, karena dana yang seharusnya digunakan untuk menyelamatkan bank yang sedang kesulitan justru disalurkan tanpa prosedur yang jelas dan berisiko menambah beban keuangan negara. Secara sosial-politik, kasus ini menurunkan kepercayaan public terhadap sistem perbankan dan pemerintahan, karena banyak yang merasa bahwa dana yang sangat besar tersebut digunakan secara tidak sah dan tidak transparan. Masyarakat juga menjadi skeptis terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani krisis dan pengelolaan dana publik. Oleh karena itu, kasus Bank Century menggarisbawahi pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat dalam pengelolaan dana talangan dan kebijakan ekonomi negara lainnya. Jika tidak ada sistem pengawasan yang memadai, akan selalu ada peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan situasi dan melakukan penyalahgunaan kewenangan demi kepentingan pribadi.

Secara keseluruhan, kasus Bank Century menggambarkan bagaimana pendekatan Klitgaard dan Bologna dapat diterapkan untuk memahami penyebab korupsi dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Monopoli, keleluasaan, dan kurangnya akuntabilitas dalam proses pemberian dana talangan, serta tekanan, peluang, dan rasionalisasi yang ada, menjadi faktor-faktor yang membuka peluang terjadinya korupsi. Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, perlu dilakukan perbaikan besar dalam sistem pengawasan dan akuntabilitas di setiap aspek pengelolaan dana publik, sehingga keputusan-keputusan yang diambil dapat benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara, serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Kesimpulan

Korupsi merupakan permasalahan sistemik yang tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga kelemahan struktural dan kelembagaan dalam pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, korupsi sering kali terjadi karena kombinasi dari monopoli kekuasaan, keleluasaan pengambilan keputusan tanpa pengawasan yang ketat, dan kurangnya akuntabilitas. Pendekatan yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard dan Jack Bologna memberikan wawasan penting dalam menganalisis penyebab dan dinamika korupsi.

Formula Klitgaard (C = M + D - A) menunjukkan bahwa korupsi berkembang ketika terdapat konsentrasi kekuasaan, pengambilan keputusan tanpa batasan yang jelas, serta ketidakhadiran mekanisme pertanggungjawaban. Di sisi lain, teori fraud triangle oleh Bologna menekankan pada tiga faktor individu---tekanan, peluang, dan rasionalisasi---yang mendasari tindakan korupsi. Analisis terhadap kasus-kasus besar seperti korupsi dalam Bank Century memperlihatkan bagaimana kedua pendekatan ini dapat diterapkan untuk mengidentifikasi akar permasalahan korupsi di Indonesia.

Penyalahgunaan dana talangan pada Bank Century menggambarkan adanya monopoli kekuasaan dalam pengambilan keputusan tanpa pengawasan yang memadai, serta kesempatan bagi individu untuk melakukan korupsi karena lemahnya sistem pengawasan. Selain itu, rasionalisasi oleh pelaku korupsi memperkuat praktik ini, dengan dalih untuk menyelamatkan perekonomian negara. Kasus ini menunjukkan perlunya reformasi dalam tata kelola pemerintahan, pengawasan yang lebih ketat, serta peningkatan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana publik.

Secara keseluruhan, untuk memberantas korupsi secara efektif, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang menyeluruh, baik dari sisi struktur pemerintahan maupun perilaku individu. Membangun sistem pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel, diiringi dengan pendidikan publik yang mendalam tentang integritas, akan memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

 Daftar Pustaka

Bologna, Jack. Fraud Triangle.  

Klitgaard, Robert. Controlling Corruption.  

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2020). Laporan Tahunan KPK 2020.  

Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index 2023.  

Bank Century: Analisis Korupsi dan Proses Penyalahgunaan Dana Talangan. (2015). Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia.  

Rhenald Kasali. (2018). Mengelola Korupsi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun