Selain itu, perlu ada reformasi dalam sistem peradilan, terutama dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku korupsi. Sistem peradilan yang selama ini sering dikritik karena lemahnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi harus diperkuat. Reformasi ini bisa meliputi peningkatan kualitas hakim, pembenahan sistem persidangan yang lebih transparan, serta pengawasan yang ketat terhadap proses hukum yang berlangsung. Tidak hanya itu, sistem perlindungan bagi whistleblowers dan saksi yang melaporkan kasus korupsi juga harus diperkuat agar mereka tidak merasa takut untuk mengungkapkan praktek korupsi yang terjadi.
- Pembenahan Hukum dan Perlindungan terhadap Whistleblowers
Dalam rangka memperkuat sistem hukum Indonesia, penting juga untuk mendorong pengembangan undang-undang yang melindungi whistleblowers. Banyak individu yang mengetahui adanya praktik korupsi namun takut melaporkannya karena adanya ancaman balas dendam atau intimidasi. Oleh karena itu, negara harus memastikan bahwa sistem perlindungan hukum bagi whistleblowers diterapkan dengan baik dan efektif. Selain itu, memberikan insentif kepada mereka yang berani melaporkan kasus-kasus korupsi dapat menjadi motivasi tambahan untuk membuka praktik-praktik koruptif yang selama ini terpendam.
- Pendidikan dan Kesadaran Publik
Selain memperkuat aspek hukum dan pengawasan, pendidikan publik juga memiliki peran yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Masyarakat yang sadar akan dampak buruk dari korupsi dan memahami cara melaporkan tindakan korupsi dapat berperan sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban public dalam mengawasi jalannya pemerintahan, serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak negatif korupsi terhadap pembangunan nasional. Program pendidikan anti-korupsi yang menyasar berbagai lapisan masyarakat, baik di sekolah maupun di lingkungan kerja, akan memperkuat budaya integritas dan transparansi dalam masyarakat.
- Mengintegrasikan Pendekatan Sistemik dan Perilaku Individu
Secara keseluruhan, penguatan sistem hukum Indonesia untuk mengatasi kelemahan struktural yang ditemukan dalam formula korupsi Klitgaard harus dilakukan secara holistik, dengan memperhatikan faktor-faktor sistemik maupun perilaku individu. Tidak hanya perlu ada perubahan dalam struktur pemerintahan dan tata kelola anggaran, tetapi juga perlu ada pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengubah perilaku pejabat publik dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kebijakan pemberantasan korupsi yang efektif harus mengintegrasikan perubahan pada level makro (sistemik) maupun mikro (perilaku individu), menciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat memperkuat sistem hukumnya dan mengurangi kelemahan struktural yang memungkinkan terjadinya korupsi, sekaligus menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan dipercaya oleh rakyat. Reformasi ini harus dilakukan dengan melibatkan semua pihak, baik pemerintah, lembaga hukum, masyarakat, dan sektor swasta, untuk membentuk lingkungan yang bebas dari korupsi dan mendorong kemajuan bangsa secara berkelanjutan.
CONTOH KASUS
Kasus Korusi Bank Century
Kasus korupsi Bank Century adalah salah satu skandal besar dalam sejarah perbankan di Indonesia yang melibatkan penyalahgunaan dana talangan (bailout) yang diberikan oleh pemerintah pada tahun 2008. Bank Century, yang merupakan bank swasta nasional, mengalami kesulitan finansial yang sangat berat akibat krisis keuangan global dan pengelolaan internal yang buruk. Keadaan ini mendorong Bank Indonesia (BI) untuk mengucurkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) guna mencegah kebangkrutan bank tersebut dan menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia. Namun, keputusan untuk menyelamatkan Bank Century dengan dana yang sangat besar ini menimbulkan kontroversi, terutama karena prosedur yang digunakan untuk memutuskan pemberian dana talangan tersebut sangat tidak transparan dan banyak menimbulkan kejanggalan. Salah satu isu utama adalah ketidakjelasan apakah Bank Century benar-benar memenuhi kriteria untuk mendapatkan dana talangan tersebut, mengingat banyak pihak yang berpendapat bahwa bank tersebut sudah berada dalam kondisi yang sangat buruk sebelum krisis global terjadi.
Dalam konteks analisis menggunakan pendekatan Robert Klitgaard mengenai penyebab korupsi, terdapat tiga faktor utama yang dapat menjelaskan mengapa korupsi terjadi dalam kasus ini, yaitu monopoli, keleluasaan, dan kurangnya akuntabilitas. Pertama, monopoli muncul karena keputusan pemberian dana talangan kepada Bank Century melibatkan pihak-pihak tertentu yang memiliki kontrol penuh dalam pengambilan keputusan tanpa adanya transparansi atau pengawasan eksternal yang memadai. Keputusan ini didominasi oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dalam BI dan LPS, yang pada saat itu memiliki kewenangan besar dalam menentukan bank mana yang perlu diselamatkan. Proses tersebut menutup peluang bagi pihak luar atau masyarakat untuk mengetahui alasan di balik keputusan tersebut, yang dapat menciptakan ruang untuk penyalahgunaan kewenangan. Kedua, keleluasaan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai pemberian dana talangan juga menjadi faktor penting dalam terjadinya korupsi. Tanpa adanya sistem pengawasan yang ketat, pejabat yang memiliki kewenangan besar dalam menentukan siapa yang mendapat bantuan dana dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Ketiga, kurangnya akuntabilitas sangat jelas terlihat dalam kasus ini, terutama dalam hal pertanggungjawaban penggunaan dana talangan yang sangat besar. Meskipun dana tersebut disalurkan dengan tujuan menyelamatkan Bank Century dan mencegah keruntuhan ekonomi yang lebih luas, tidak ada pengawasan yang jelas mengenai bagaimana dana tersebut digunakan dan apakah penggunaannya benar-benar sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Pendekatan fraud triangle yang dikembangkan oleh Jack Bologna juga memberikan wawasan yang mendalam mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi dalam kasus ini. Dalam fraud triangle, terdapat tiga elemen penting yang dapat menjelaskan terjadinya tindakan penipuan atau korupsi: Tekanan, Peluang, dan Rasionalisasi. Pertama, Tekanan yang dihadapi oleh pemerintah dan pejabat Bank Indonesia serta LPS untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia di tengah krisis global menjadi faktor utama yang mendorong pengambilan keputusan untuk memberikan dana talangan kepada Bank Century. Tekanan ini membuat pengambil keputusan merasa terpaksa untuk menyelamatkan bank tersebut, meskipun ada indikasi bahwa bank tersebut sudah dalam kondisi yang sangat buruk sebelum krisis global. Dalam situasi seperti ini, keputusan untuk memberikan dana talangan kepada bank bermasalah bisa dilihat sebagai upaya untuk mencegah dampak negatif yang lebih besar terhadap perekonomian Indonesia. Kedua, peluang untuk melakukan penyalahgunaan dana talangan muncul karena adanya keleluasaan dalam proses pengambilan keputusan. Sistem pengawasan yang lemah dan tidak adanya transparansi dalam proses tersebut memberi peluang bagi pihak yang terlibat untuk memanfaatkan situasi ini demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Ketiga, rasionalisasi digunakan oleh pelaku untuk membenarkan keputusan yang diambil. Dalam hal ini, pejabat yang terlibat dalam pemberian dana talangan kepada Bank Century mungkin merasa bahwa tindakan mereka adalah langkah yang sah dan perlu untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Rasionalisasi ini memungkinkan mereka untuk mengabaikan prosedur yang benar dan mengambil keputusan yang seharusnya tidak dilakukan.
Kasus Bank Century menarik perhatian publik karena meskipun sejumlah pejabat yang terlibat diperiksa, termasuk pejabat tinggi di Bank Indonesia dan LPS, hingga saat ini tidak ada keputusan hukum yang jelas mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas penyalahgunaan dana talangan tersebut. Proses penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga-lembaga lainnya berjalan lambat dan tidak menunjukkan hasil yang signifikan, sehingga membuat masyarakat merasa kecewa. Kasus ini menunjukkan adanya kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana publik yang besar, dan juga mengungkapkan bagaimana sistem pengawasan yang ada pada saat itu tidak mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan dana talangan.