Manusia berbondong-bondong menuju TPS untuk berpartisipasi atas hak suaranya. Juga sejoli ini yang baru di akui oleh negara.sekitar 3 bulan mereka berdua bikin KTP, sebut aja namanya Mus dan Monang.
''Ngapa lo senyum-senyum, mau partisipasi aja kaya mau rebut saweran.'' ucap monang yang melihat mus meseum-meseum sedari tadi.
''Siapa sih yang gak seneng mau milih pasangan?'' dengan bangga monang menjawab.
''Gue tahu lo jomblo tapi plis jangan gila kaya gini sumpah kasian gue.''
"Kaya yang sendirinya punya cewe aja. Eh lu dapet apaan tuh dari pasangan calon gubernur ?''
Mendengar ucapan mus barusan, mulut monang gatal rasanya ingin menceramahi. Al hasil monang mengeluarkan kalimat yang panjang. Jiwa berfikir krisisnya mulai aktif.
''Gak penting dapet apa-apanya pemberi embel-embel paling banyak belum tentu menjadi pemimpin yang baik kelak. Berlomba-lomba mendatangi manusia bawahan, untuk menarik hasrat masyarakat memberikan sebuah hak yang seharusnya tidak dengan cara seperti itu. Hak ditukarkan dengan cuan, bagimana bias majunya Negeri ini. Tak apa jika suatu masyarakat itu dapat berfikir dengan pintar, memikirkan kedepannya bukan malah memikirkan dirinya.''
''Jangan jauh-jauh deh, di Sekolah lo aja Gimana tuh cara lo dalam berpartisipasi? Apa lo terhasut dengan sogokan geli itu? Hak suara lo itu harus digunakan dengan yang bener. Jangan sampai lo memilih pemimpin yang lacut hanya karena ia kasih lo sejumlah cuan dengan rupiah yang besar.'' Monang melanjutkan perkataannya.
Sembari menyusuri gang kecil menuju tps, mus dan Monang berbincang mengenai pemilihan umum yang akan terselenggara hari ini. Mus bungkam mendengar ocehan Monang yang memang bijak itu. Ngapain juga gue sibuk-sibuknya mikirin siapa calonpasangan yang paling banyak bantu warga saat ini. Yang harus difikirkan bagaimana kelak mereka yang akan menjadi pemimpin dapat mengayomi masyarakat.
Saya mau pilih no.1 karena dia banyak banget kasih saya kebutuhan pokok.
Saya mau golput aja deh, lagian kan belum tentu yang saya pilih bakalan menang.