Mohon tunggu...
Ghilman Hizbul Islam
Ghilman Hizbul Islam Mohon Tunggu... -

Student of Internasional Islamic University of Islamabad Teacher of Mahad Tahfidz Ibn Al Qayyim Malaysia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bismillah, Aku Melangkah

1 Maret 2018   09:46 Diperbarui: 23 Maret 2018   11:25 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul 05.00, masih sangat pagi untuk sebuah terminal keberangkatan bandara Soekarno Hatta, Tangerang. Tapi sepagi ini, bandara yang menghubungkan Indonesia dengan dunia ini sudah ramai oleh pengunjung dengan berbagai tujuan.

Mehmed- nama lengkapnya Mehmed Abdullah, pria 27 tahun itu baru saja keluar bersama ayahnya dari bis yang mengantarnya dari Bandung, bergegas berjalan di antara rombongan pelancong. Mehmed merapatkan jasket tebalnya menembus dinginya pagi itu.

" Kaifa Haluka Ya[1] Mehmed." Alif, pemilik kios makanan dalam bandara menyapa  yang juga teman Mehmed dulu di pesantren.

" Alhamdulillah bil Khoir [2], Saya akan terbang ke London Lif, melanjutkan master di Oxford University"

 " Alhamdulillah, makin sukses aja ente. Mari mampir dulu di kios ane, kali ini ane kasih majjanan [3]  khusus buat ente" Ujar Alif sebari menyiapkan tempat duduk untuk Mehmed dan ayahnya.

 " Mehmed melihat arloji di pergelangan tangan, masih ada waktu beberapa jam untuk persiapan dan penerbangan menuju London, memutuskan untuk berhenti sejenak duduk di kios Alif, demi mencicipi daging panggang buatan sahabat karibnya.

*****

Maghrib di Masjid Pusaka tahun 1997

" Subhanallah"  "Alhamdulillah" "Allahu Akbar" Kalimat kalimat agung itu terdengar nyaring dan lembut. Kalimat kalimat itu keluar dari lisan para santri tanpa paksaan sedikit pun. Sebuah catatan hati yang sangat mengagumkan.

Tanpa terasa waktu shalat maghrib pun sudah berlalu. Hari itu tahun pertamaku menjadi santri Pondok Madani. Pondok yang jauh dari kampung halamanku, " Di kampung atau di pondok sama saja, aku jarang bersama orangtuaku" gumamku dalam hati.   Sejatinya aku selalu maklum dengan keadaan itu, ayah dan ibuku adalah dai internasional, mereka sibuk diundang ke berbagai negara untuk melakukan ceramah internasional, ribuan bahkan jutaan penonton rela berdesak desakan untuk menyimak ceramah ayahku.

" Mehmed, Alhamdulillah ente ditugasin oleh guru pembimbing bahwasanya ente dipilih untuk mewakili angkatan dalam lomba pidato nanti" suara Alif menepuk bahuku menghentikan lamunanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun