Setelah mendapat amanat dari guru pembimbing untuk lomba pidato, aku mulai mempersiapkan semua dari naskah, mental dan gaya bahasa. Aku selalu bersemangat ketika pidato tiba, aku ingin meneruskan estafet perjuangan kedua orangtuaku menjadi mundzirul qoum. Prinsip itu selalu diiringi dengan pertanyaan besar dalam hidupku
*****
" Enak juga daging panggang masakan kau ya Lif, gratis pula" Ujar Mehmed sambil melahap daging yang tersisa.
Alif tertawa. " Itu khusus untukmu, My Friend, ini keahlianku, sama seperti keahlianmu saat pidato dulu, bahkan sekarang sudah kemana mana nih dakwahmu sama seperti ayahmu"
Sementara ayahku duduk di sampingku, lebih banyak terdiam. Minggu ini adalah minggu yang membahagiakan sekaligus menyedihkan bagi keluarga Mehmed, ibu nya baru saja wafat kemarin lusa sesuai menyampaikan ceramahnya. Tapi momen yang membahagiakan karena Mehmed akan berangkat ke London, dia akan mempelajari ilmu sejarah dan peradaban dunia di Universitas terbaik dunia itu.
*****
Kenapa aku harus melewati semuanya sendirian?
Pertanyaan besar yang menghantui ku setiap saat. Sejak umur 5 tahun aku jarang ditemui oleh orangtua ku, bahkan untuk menjengukku di pondok Madani. Aku tidak mengerti mengapa mereka begitu tega padaku, apakah mereka tidak menyayangiku seperti anak anak kebanyakan. Di Pondok ini, teman temanku biasa dijenguk orangtua mereka. Namun ayah dan ibuku tidak pernah menjengukku. Sejak kecil, aku sudah dititipkan di Pondok Pesantren di Bandung. Aku tidak pernah bertanya. Aku mengerti jika mereka sedang menjalankan amanat dalam dakwah di jalan Allah. Namun, pertanyaan itu tetap saja selalu ada di benakku.
" Niatku, Taat kepada perintah Allah. Semangatku, berupaya dalam kesungguhan dalam melayani agamaku. Jihadku, dengan jiwa dan harta yang tersisa di dunia untuk ketaatan pada Allah. Harapanku, pertolongan dan kemenangan dari Allah atas musuh musuh Nya" syair yang kubacakan saat lomba pidato itu diiringi tepuk tangan para hadirin.
*****
Persis ketika Mehmed menyelesaikan santapanya, lelaki 63 tahun di sampingnya yang juga ayah Mehmed mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya. Hari itu, Ayah nya mengantar Mehmed untuk pertama kalinya ke bandara di ibu kota ini. Kebersamaan pertama mereka.