Sebuah  Komentar Untuk Teman Saya 3 Bulan Yang Lalu
Sekitar 3 bulan yang lalu saya pernah berbincang singkat dengan seorang teman yang tiba-tiba meminta sepotong sajak yang saya tulis ketika SMA.Â
Saya kaget ketika ia mengirimkan sebuah sajak yang berisi kekagumannya pada salah satu tulisan saya waktu itu.Â
Saya lebih bingung lagi karena dalam tulisannya ia menulis kalau ia tidak sepenuhnya memahami maksud dan diksi yang saya tulis.
Memang terdengar simpel namun baru-baru ini saya kembali memikirkan esensi dari membaca sebuah sajak akibat percakapan saya 3 bulan yang lalu
"Bagaimana bisa seseorang mampu menikmati sesuatu yang ia sendiri tak bisa memahaminya ?"
Akhirnya saya bisa mengambil opini bahwa bagi saya,  sajak adalah suatu  "musik" yang dibahasakan.Â
Bahkan lebih dalam pemaknaannya daripada musik.Â
Tiap kata adalah notasi, tiap kalimat adalah melodi, tiap baris adalah harmoni.
Seorang sastrawan tak jauh beda dengan seorang komposer yang mencoba menyusun tiap bagian dengan sistematis, ia mencoba untuk menciptakan variasi aransemen-nya dengan kalbu, bahkan seringkali secara impulsif dan "ngawur".Â
Namun meski demikian dari sekian banyak susunan notasi acak itu,terkadang sang komposer merasa kagum sendiri atas aransemen-nya walaupun terlihat agak berantakan. Itulah keindahan sajak yang sampai sekarang jarang kita pahami.
Seseorang pernah berkata :
"tidak ada sajak yang buruk bagi seorang penyair sejati"
Ritme dalam sajak hanya dapat ditafsirkan secara penuh oleh sang komposer dam kita merasa hanyut dalam kumpulan diksi-diksi itu, sama halnya ketika sang komposer terbawa perasaan ketika menghayati sebuah musik yang ia ciptakan sendiri.
Namun menurut saya unsur subjektivitas merupakan suatu "kecacatan" yang tak bisa kita hindari dalam menulis sajak.Â
Ketika orang lain membaca 'aransemen' diksi kita maka tafsiran kata-kata atau tersebut terkadang menimbulkan multitafsir atau bahkan tak bisa dimengerti sama sekali.Â
Disinilah kehebatan sastra itu muncul,meskipun diksi-nya kadang tak bisa dipahami namun isinya tak pernah mengkhianati intuisiÂ
Barangkali kita sering melihat orang merasa sedih, marah, ataupun terkesan setelah membaca karya orang lain meskipun tafsir yang dihasilkan di pikiran mereka berbeda-beda.Â
Berbeda dengan musik, ia tidak menjadikan kecacatan itu sebagai 'ke-tidaksempurnaan" melainkan sesuatu yang menjadikannya "sempurna".Â
Maka seorang sastrawan harus mampu menerima dan mencintai kecacatan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H