Di tengah hiruk-pikuk Malioboro yang tak pernah sepi, ada seorang tukang becak yang membawa lebih dari sekadar penumpang. Namanya Pak Aryo, seorang pria paruh baya yang telah menjalani profesinya selama lebih dari dua dekade. Dengan senyumnya yang tulus dan kayuhan penuh semangat, Pak Aryo adalah sosok yang mencerminkan kehangatan dan jiwa Malioboro.
"Saya mulai narik becak di sini sejak tahun 90-an," ujar Pak Aryo sambil merapikan jok becaknya. Mengenakan rompinya yang bertuliskan "EKB Yogyakarta," ia tampak sangat bangga pada pekerjaannya.
Becaknya, yang telah menemaninya selama bertahun-tahun, bukan sekadar alat transportasi, tetapi juga simbol budaya yang terus ia rawat.
"Becak saya ini sudah seperti teman lama," katanya dengan senyum penuh arti. Ia menyadari bahwa menjadi tukang becak bukan sekadar pekerjaan, tetapi sebuah cara untuk menjaga tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Becak Pak Aryo bukan sekadar sarana untuk mencapai tujuan. Setiap penumpang yang naik becaknya diajak merasakan pengalaman otentik Malioboro, lengkap dengan cerita-cerita sejarah dan sudut-sudut tersembunyi yang tak banyak diketahui orang.
"Kalau ada turis, saya ajak mereka ke tempat-tempat yang bagus untuk foto, sambil saya ceritakan sejarahnya," ucapnya penuh antusiasme.
Pak Aryo bukan hanya tukang becak; ia juga pemandu wisata lokal yang selalu siap berbagi cerita. Ia memiliki kemampuan untuk membaca keinginan penumpangnya, apakah mereka mencari perjalanan yang santai, berburu kuliner lokal, atau sekadar menikmati suasana Malioboro.
Namun, zaman telah berubah. Kehadiran transportasi online seperti Gojek dan Grab membuat becak tidak lagi menjadi moda transportasi utama.
Kini, banyak wisatawan memilih becak untuk pengalaman budaya, bukan sekadar kepraktisan. Bagi Pak Aryo, perubahan ini adalah tantangan sekaligus peluang.
"Rezeki itu sudah ada yang mengatur. Yang penting kita tetap berusaha," katanya dengan keyakinan yang kokoh. Ia percaya bahwa selama ia bekerja dengan hati, selalu ada cara untuk bertahan. Meskipun penghasilannya tidak sebesar dulu, semangat Pak Aryo tetap membara. Ia bahkan mulai memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan becaknya, memanfaatkan kesempatan dari wisatawan yang suka berbagi pengalaman mereka secara online.
Yang membuat Pak Aryo berbeda adalah sikapnya yang tulus dan ramah. Ia selalu siap membantu, bahkan saat cuaca tidak bersahabat. Ketika hujan tiba-tiba turun, ia sering menawarkan becaknya sebagai tempat berteduh bagi wisatawan, ini membuatnya disukai banyak orang.
Ia percaya bahwa setiap interaksi kecil yang ia lakukan, entah memberikan tumpangan atau sekadar menyapa, adalah bentuk kebaikan yang bisa membawa kebahagiaan.
Pak Aryo juga teliti akan kebersihan dan kerapian becaknya. Ia menghias becaknya dengan pita warna-warni dan bendera kecil untuk memberikan kesan ceria.
"Becak itu harus bersih dan menarik, biar penumpang nyaman," jelasnya.
Dedikasi ini menunjukkan betapa ia mencintai profesinya dan ingin memberikan yang terbaik bagi para penumpangnya. Ia bahkan menghabiskan waktu luangnya untuk memperbaiki dan mempercantik becaknya agar tetap nyaman dan aman bagi penumpang, menunjukkan betapa ia menghormati pekerjaannya.
Di sela-sela kesibukannya, Pak Aryo menikmati momen istirahat di bangku yang ada di pinggiran jalan Malioboro, bercengkerama dengan sesama tukang becak, atau sekadar mengamati suasana jalan.
Wajahnya yang selalu ramah menjadi magnet bagi siapa saja yang ingin berbicara dengannya. Banyak wisatawan asing maupun lokal yang merasa nyaman berbagi cerita dengannya.
Ia sering mendengar cerita menarik dari para penumpangnya, dari kisah cinta hingga perjalanan hidup yang menginspirasi, dan semua itu menambah warna dalam hari-harinya.
Salah satu kenangan terbaik Pak Aryo adalah ketika seorang turis Jepang memberinya sebuah buku foto perjalanan mereka di Yogyakarta. Di dalam buku itu, ada halaman khusus yang memuat foto Pak Aryo bersama becaknya, lengkap dengan tulisan tangan: "Terima kasih telah menunjukkan keindahan Yogya."
Kisah ini menjadi salah satu momen yang paling ia banggakan selama menjadi tukang becak. Ia sering menunjukkan buku itu kepada teman-temannya sebagai bentuk apresiasi dan motivasi untuk terus bekerja dengan penuh semangat.
Pak Aryo percaya bahwa becaknya adalah jembatan antara tradisi dan modernisasi. "Becak saya memang tidak secepat kendaraan lain, tapi hati yang saya berikan untuk setiap penumpang, itu yang paling penting," katanya.
Ia bukan hanya seorang tukang becak, tetapi juga penjaga nilai-nilai budaya lokal. Melalui setiap percakapan dan perjalanannya, Pak Aryo terus membawa kisah-kisah Malioboro kepada penumpangnya, menjembatani masa lalu dan masa kini. Baginya, setiap kayuhan pedal adalah cara untuk merayakan kearifan lokal yang tidak boleh hilang ditelan zaman.
Pak Aryo adalah simbol ketulusan, keramahan, dan semangat yang menghidupkan Malioboro. Dalam setiap kayuhan pedalnya, ia menyampaikan pesan tentang keindahan dan kearifan lokal Yogyakarta.
Dengan penuh dedikasi, ia mengajak siapa saja yang naik becaknya untuk melihat Malioboro dari sudut pandang yang lebih hangat dan manusiawi. Ia berharap bahwa kehadirannya dapat memberikan pengalaman yang berkesan, mengingatkan setiap orang bahwa Malioboro adalah tempat di mana tradisi dan keramahan tetap hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H