Saat asyik membaca buku, tiba-tiba kawan lama berkirim pesan, "Kang tidak menulis tentang fatwa salam lintas agama?" Sambil melampirkan liputan berita MUI.
Kujawab singkat, "Hente! (Tidak!)"
"Kenapa?"
"Abdi nuju resep nyerat aktivitas di Cibiru, praktik sae di Bandung (Saya sedang asyik menulis segala aktivitas di Cibiru, praktik baik keagamaan di Bandung"
Bila kita menyimak, mendengarkan sambutan, pidato pemerintah dalam acara resmi, seorang pejabat muslim selalu mengawali ucapan salam.
Assalamuaalaikum warahmatullahi wabarakatuh (Islam),
Salam sejahtera bagi kita semua (Kristen),
Shalom (Katolik),
Om Swastiastu (Hindu),
Namo Buddhaya (Buddha),
Salam Kebajikan (Konghucu),
Rupanya salam model ini tengah jadi sorotan dan Forum Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa haram untuk mengucapkan salam lintas agama.
Padahal, jauh sebelum keluar fatwa haram ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur sudah mengeluarkan taushiyah, imbauan dan seruan dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 agar tidak melakukan salam lintas agama, karena dinilai syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya.
Beda Pendapat
Muchlis M Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Kementerian Agama menuliskan "Salam Lintas Agama Syubhat, Benarkah?" yang dimuat pada laman resmi Kemenag edisi Selasa, 12 November 2019 * 22:44 WIB.
Dalam pandangan Islam, salam adalah penghormatan sekaligus doa keselamatan dan kebaikan. Islam agama kedamaian, dan menganjurkan umatnya untuk menebar kedamaian (ifsyaa'u al-salaam) kepada siapa pun, muslim dan non-muslim.
Hubungan dengan non-muslim dibangun di atas prinsip kebaikan dan keadilan. Tidak ada larangan berlaku baik dan adil terhadap mereka yang tidak memerangi dan memusuhi (QS. Al-Mumtahanah: 8). Bahkan QS. Al-Zukhruf: 89 memerintahkan untuk berlapang dada terhadap mereka dan mengucapkan salam.
Nabi Ibrahim yang menjadi teladan bagi kita (QS. Al-Mumtahanah: 4) juga pernah berucap salam kepada ayahnya yang kafir (QS. Maryam: 47). Sejumlah pernyataan Al-Quran tersebut menjadi petunjuk kuat bagi ulama kenamaan, Sufyan bin Uyaynah, untuk mengatakan boleh hukumnya bersalam kepada orang kafir.
Bersalam kepada non-muslim masalah khilafiah. Sebagian kalangan melarangnya dengan dalil hadis Nabi yang menyatakan, "Jangan mulai bersalam kepada Yahudi dan Nasrani. Bila bertemu di jalan persempit ruang geraknya" (HR. Muslim).
Dilihat konteksnya (sabab al-wuruud), hadis tersebut dinyatakan dalam situasi perang. Saat Nabi dan kaum muslim hendak mengepung Yahudi Bani Quraizhah karena melanggar perjanjian damai. Dalam situasi damai para ulama al-salaf al-shalih, mulai dari generasi sahabat sampai seterusnya membolehkan bersalam kepada non-muslim. Rasulullah sendiri pernah berucap salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan non-muslim (Yahudi dan orang musyrik). (HR. Al-Bukhari)
Ketika ada yang mengingatkan terlarang hukumnya mengucapkan salam kepada non-muslim, sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas'ud, mengatakan, "Mereka berhak karena telah menemaniku dalam perjalanan". Sahabat lain, Abu Umamah al-Bahiliy, setiap kali berjumpa orang, muslim atau non-muslim, selalu berucap salam. Dia bilang, agama mengajarkan kita untuk selalu menebar salam kedamaian. (Tafsir al-Qurthubi, 11/111)
Menurutnya, salam adalah penghormatan bagi sesama muslim, dan jaminan keamanan bagi non-muslim yang hidup berdampingan. (Bahjat al-Majaalis, Ibn Abd al-Barr, 160).
Ibn al-Qayyim (w. 751 H), ulama yang dikenal konservatif dalam hal hubungan dengan non-muslim, menyebut sejumlah nama yang membolehkan salam untuk non-muslim, antara lain Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abu Umamah, al-Nakha'i dan lainnya.
Dalam pandangannya, boleh mulai berucap salam kepada mereka bila ada kemaslahatan bersama yang mendesak (mashlahah raajihah) karena faktor kekerabatan, bertetangga, atau lainnya. "Anda bersalam berarti mengikuti ulama salaf-salih. Tak bersalam juga mengikuti ulama salaf salih," demikian pungkasnya, sambal mengutip ucapan Imam al-Awza'iy. (Zaad al-Ma'aad, 2/388)
Walhasil, bagi yang merasa imannya akan terganggu bila ia mengucap salam lintas agama. Demikian pula bagi masyarakat umum yang tidak ada kepentingannya dengan salam tersebut. Â Sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan mengucapkannya. Namun jangan larang atau ragukan iman orang yang karena tuntutan hubungan pergaulan harus berucap.
Dalam situasi seperti ini, kita harus berupaya menemukan virtus in medio, kebajikan, keutamaan yang terletak di antara dua sifat berlebihan. Seperti kata Aristoteles, keutaman, kebajikan (al-fadhiilah) terletak di tengah-tengah; tidak terlalu ketat sampai berlebihan (tafriith) dan tidak terlalu kendor (ifraath). Itulah wasathiyyah yang perlu ditegakkan melalui konsep moderasi beragama. Intinya, dalam beragama diperlukan sikap luwes dan bijaksana sehingga antara berislam dan bernegara bisa saling sinergi. (https://kemenag.go.id).
Dilansir dari laman MUI, Ketua Steering Comitte (SC) Ijtima Ulama Komisi VIII, Asrorun Niam Sholeh menyampaikan, hasil Ijtima Ulama VIII tidak memperbolehkan adanya salam lintas agama. Pasalnya, penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.
Ingat, dalam Islam, mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ubaidiah. "Karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampur adukkan dengan ucapan salam dari agama lain," kata Niam saat membacakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII.
Ihwal pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Sebab, pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan atau moderasi beragama yang dibenarkan.
"Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu'alaikum dan atau salam nasional yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi," tegasnya.
Untuk prinsip hubungan antar umat beragama, Islam menghormati pemeluk agama lain dengan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Tentunya, harus dengan prinsip-prinsip seperti toleransi (al-tasamuh), sesuai dengan tuntunan Al Qur'an "lakum dinukum wa liyadin" yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Juga tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme).
"Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (al-ta'awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara harmonis, rukun dan damai," tegasnya.
Meski begitu, umat Islam tidak boleh mengolok-olok, mencela dan atau merendahkan agama lain (al-istihza'). Â "Antar umat beragama tidak boleh mencampuri dan atau mencampuradukkan ajaran agama lain," tandasnya. (https://mui.or.id)
Praktik Baik
Memang fatwa ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Salah satu dai milenial Habib Husein Jafar Al-Hadar memberikan respon lewat konten yang diunggah di akun Instagram pribadinya @husein_hadar.
Dalam konten video tanya-jawab singkat, Habib Jafar ditanya soal larangan mengucapkan salam lintas agama. dijawab, "Yaudah, kita salim aja." Sambil menayangkan momen berharga salim dengan Romo Franz Magnis-Suseno, non-muslim yang disebut sebagai guru filsafatnya.
"Toleransi adalah rasa dalam hati yang dianugerahkan Tuhan pada kita, semua manusia (terlebih Muslim). Asal hati-hati, ia akan sampai ke hati mereka yang berbeda dengan kita melalui berbagai ekspresi. Yang setuju pakai salam, oke. Yang tak setuju, bisa dengan salim. Yang tak setuju salam maupun salim, bisa dengan senyum. Sesungguhnya Islam itu mudah. || With. Romo Magnis Suseno, Guru Filsafat Saya."
Dalam konteks Sunda, salim, ya salaman. Walaupun untuk di Bandung Salim melekat dengan Sahabat Lintas Iman Bandung, komunitas orang muda lintas iman yang giat melakukan promosi toleransi dan perdamaian.
Dalam liputan Menyemai Toleransi di Kemah Lintas Iman yang dimuat pada Pikiran Rakyat, edisi Kamis 14 November 2019, 16:09 WIB diceritakan...
Pada awalnya rasa penasaranlah yang mendorong Asifa Khoirunnisa (22) mengikuti kemah pemuda lintasiman (youth interfaith camp atau YIC) tiga tahun lalu. Menghabiskan tiga hari bersama 30-an anak muda lain, dia mengaku memperoleh perspektif baru dalam memandang keberagaman.
Lahir di Cigadung, Kota Bandung, Sifa tumbuh dalam keluarga besar dengan latar belakang pesantren yang kuat. Seusai menuntaskan pendidikan dasar dan menengah di madrasah. Hingga remaja, Sifa meninggali dunia yang relatif seragam. Kenginannya berkuliah di Jurusan Perbandingan Agama, sekarang Studi Agama-agama, di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, membuat semua orang kaget.Â
"Orangtua bertanya-tanya untuk apa saya kuliah di jurusan seperti itu. Mereka khawatir nantinya tidak akan ada pekerjaan yang cocok bagi saya. Butuh perjuangan untuk meyakinkan mereka dan alhamdulilah saya berhasil," ucapnya.Â
Di kampus di kawasan Cibiru inilah, karena ajakan teman, Sifa berkenalan dengan kegiatan-kegiatan lintasiman yang tidak biasa. Dia bergabung dalam sekelompok anak muda yang mengunjungi gereja. Lain waktu, dia datang ke vihara. Bagi Sifa, semua itu merupakan pengalaman pertama kali seumur hidup.
Puncaknya, pada pertengahan 2016, Sifa mengikuti kemah pemuda lintas iman yang diselenggarakan Jakatarub (Jaringan Kerja Sama Antar Umat Beragama) di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Itulah pengalaman tiga hari yang membukakan mata
"Kemah itu memberikan saya perspektif baru dalam memandang keberagaman. Dengan berdialog langsung dengan teman-teman beda agama, bahkan ada yang tidak beragama, saya bisa sedikit demi sedikit memahami mereka. Bukan lagi prasangka yang didahulukan," ujarnya.
Pulang dari kemah, Sifa dan beberapa temannya mendirikan Salim (Sahabat Lintas Iman). Sebagian besar anggotanya merupakan mahasiswa di kampus UIN SGD Bandung dan para anak muda lain yang tinggal di kawasan timur Bandung. Beragam kegiatan yang pernah dilakukan Salim di antaranya kunjungan ke gereja dan pondok pesantren. Ada juga acara bedah buku dan pasar murah.
Salim juga tercatat pernah mengadakan kunjungan dan diskusi dengan para pemeluk Ahmadiyah di kawasan Cikutra, Kota Bandung. Ahmadiyah merupakan salah satu kelompok minoritas yang rentan menjadi korban persekusi. Awal 2019 ini, misalnya, puluhan orang membubarkan acara mereka. Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 2011 bahkan mengeluarkan Peraturan Gubernur yang melarang aktivitas penyebaran ajaran.
"Dengan mendengarkan langsung kisah mereka, kami memiliki pemahaman yang cukup untuk bersikap adil. Saya meyakini dialog merupakan kunci toleransi," tegasnya. (https://pikiran-rakyat.com)
Budaya S3
Nyatanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kita perlu membiasakan budaya S3 (salam, salim dan senyum). Kepala MTsN 1 Pati Ali Musyafak membuktikan bahwa program S3 sangat bermanfaat dan dapat meningkatan kasih sayang guru kepada siswa.
Salam, mengucapkan salam, sapa. Setiap anak yang bertemu dengan Bapak, Ibu guru dan pegawai wajib menyapa dengan mengucapkan salam islami (Assalamu'alaikum) minimal, terutama di saat anak-anak masuk pintu gerbang Madrasah.
Hikmah yang dapat diambil dengan mengucapkan salam adalah menjalankan perintah Allah dan Rasulullah. Nabi memerintah kepada kaum muslim untuk menebarkan salam, tebarkanlah salam. Dengan salam kita saling mendoakan dalam keselamatan. Orang hidup yang dicari adalah keselamatan dan kebahagiaan. Dengan kita saling mendoakan Allah pasti mengabulkan. Melalui salam diharapkan tidak ada dendam diantara kita, karena salam diucapkan pasti dengan hati yang tulus.
Ada sebuah amalan yang diberikan salah satu ulama besar, "Jika ingin hidupmu barokah, maka setiap hari berikanlah salam kepada sesama muslim minimal 25 orang," ujarnya.
Salim, berjabat tangan. Betapa hebatnya manfaat berjabat tangan (dengan sesama jenis seiman) karena Allah akan menghapus dosa-dosa kedua orang yang berjabat tangan sebelum tangannya di lepaskan. Tentunya ada syaratnya, yaitu berjabat tangan dengan selobang hati yang sama, yaitu sama-sama tulus, sama-sama ikhlas, dan sama-sama senang hatinya.
Ada seorang guru yang bertanya kepada ustadz, kyai, kenapa anak-anak di sekolah, Madrasah kami nakal-nakal? jawab kyai singkat. Karena anak-anak tidak pernah bersalaman, terdapat energi positif yang muncul yang tidak pernah muncul kecuali dengan bersalaman.
Senyum, Rasulullah SAW adalah pemimpin dunia orang yang terpilih yang paling hebat. Tetapi Nabi tidak pernah marah, bahkan Rasulullah sering tersenyum kepada siapa pun. Senyum adalah sehat, senyum adalah ibadah, senyum membawa berkah. Tidak ada orang yang sakit hati bisa tersenyum dengan tulus. Untuk itu senyum dapat membawa aura positif bagi kedua belah pihak. (https://jateng.kemenag.go.id)
Sambil tersenyum, selesai sudah membaca soal salam lintas agama yang ditulis oleh Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Rosihon Anwar menegaskan "....sebagai simbol komitmen terhadap nilai-nilai inklusivitas dan persatuan. Meskipun ada tantangan dan perdebatan, tujuan utamanya adalah untuk menciptakan ruang di mana semua individu merasa dihormati dan diterima, mencerminkan komitmen bersama untuk hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beragam."
Tiba-tiba anak ketiga, Kakang Faqih, umur 3 tahun, memanggil, "Babah baca Nabi Ibrahim ya!" Cah ah. (Ibn Ghifarie)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H