Menurutnya, salam adalah penghormatan bagi sesama muslim, dan jaminan keamanan bagi non-muslim yang hidup berdampingan. (Bahjat al-Majaalis, Ibn Abd al-Barr, 160).
Ibn al-Qayyim (w. 751 H), ulama yang dikenal konservatif dalam hal hubungan dengan non-muslim, menyebut sejumlah nama yang membolehkan salam untuk non-muslim, antara lain Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abu Umamah, al-Nakha'i dan lainnya.
Dalam pandangannya, boleh mulai berucap salam kepada mereka bila ada kemaslahatan bersama yang mendesak (mashlahah raajihah) karena faktor kekerabatan, bertetangga, atau lainnya. "Anda bersalam berarti mengikuti ulama salaf-salih. Tak bersalam juga mengikuti ulama salaf salih," demikian pungkasnya, sambal mengutip ucapan Imam al-Awza'iy. (Zaad al-Ma'aad, 2/388)
Walhasil, bagi yang merasa imannya akan terganggu bila ia mengucap salam lintas agama. Demikian pula bagi masyarakat umum yang tidak ada kepentingannya dengan salam tersebut. Â Sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan mengucapkannya. Namun jangan larang atau ragukan iman orang yang karena tuntutan hubungan pergaulan harus berucap.
Dalam situasi seperti ini, kita harus berupaya menemukan virtus in medio, kebajikan, keutamaan yang terletak di antara dua sifat berlebihan. Seperti kata Aristoteles, keutaman, kebajikan (al-fadhiilah) terletak di tengah-tengah; tidak terlalu ketat sampai berlebihan (tafriith) dan tidak terlalu kendor (ifraath). Itulah wasathiyyah yang perlu ditegakkan melalui konsep moderasi beragama. Intinya, dalam beragama diperlukan sikap luwes dan bijaksana sehingga antara berislam dan bernegara bisa saling sinergi. (https://kemenag.go.id).
Dilansir dari laman MUI, Ketua Steering Comitte (SC) Ijtima Ulama Komisi VIII, Asrorun Niam Sholeh menyampaikan, hasil Ijtima Ulama VIII tidak memperbolehkan adanya salam lintas agama. Pasalnya, penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.
Ingat, dalam Islam, mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ubaidiah. "Karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampur adukkan dengan ucapan salam dari agama lain," kata Niam saat membacakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII.
Ihwal pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Sebab, pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan atau moderasi beragama yang dibenarkan.
"Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu'alaikum dan atau salam nasional yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi," tegasnya.
Untuk prinsip hubungan antar umat beragama, Islam menghormati pemeluk agama lain dengan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Tentunya, harus dengan prinsip-prinsip seperti toleransi (al-tasamuh), sesuai dengan tuntunan Al Qur'an "lakum dinukum wa liyadin" yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Juga tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme).
"Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (al-ta'awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara harmonis, rukun dan damai," tegasnya.