Salam Kebajikan (Konghucu),
Rupanya salam model ini tengah jadi sorotan dan Forum Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa haram untuk mengucapkan salam lintas agama.
Padahal, jauh sebelum keluar fatwa haram ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur sudah mengeluarkan taushiyah, imbauan dan seruan dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 agar tidak melakukan salam lintas agama, karena dinilai syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya.
Beda Pendapat
Muchlis M Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Kementerian Agama menuliskan "Salam Lintas Agama Syubhat, Benarkah?" yang dimuat pada laman resmi Kemenag edisi Selasa, 12 November 2019 * 22:44 WIB.
Dalam pandangan Islam, salam adalah penghormatan sekaligus doa keselamatan dan kebaikan. Islam agama kedamaian, dan menganjurkan umatnya untuk menebar kedamaian (ifsyaa'u al-salaam) kepada siapa pun, muslim dan non-muslim.
Hubungan dengan non-muslim dibangun di atas prinsip kebaikan dan keadilan. Tidak ada larangan berlaku baik dan adil terhadap mereka yang tidak memerangi dan memusuhi (QS. Al-Mumtahanah: 8). Bahkan QS. Al-Zukhruf: 89 memerintahkan untuk berlapang dada terhadap mereka dan mengucapkan salam.
Nabi Ibrahim yang menjadi teladan bagi kita (QS. Al-Mumtahanah: 4) juga pernah berucap salam kepada ayahnya yang kafir (QS. Maryam: 47). Sejumlah pernyataan Al-Quran tersebut menjadi petunjuk kuat bagi ulama kenamaan, Sufyan bin Uyaynah, untuk mengatakan boleh hukumnya bersalam kepada orang kafir.
Bersalam kepada non-muslim masalah khilafiah. Sebagian kalangan melarangnya dengan dalil hadis Nabi yang menyatakan, "Jangan mulai bersalam kepada Yahudi dan Nasrani. Bila bertemu di jalan persempit ruang geraknya" (HR. Muslim).
Dilihat konteksnya (sabab al-wuruud), hadis tersebut dinyatakan dalam situasi perang. Saat Nabi dan kaum muslim hendak mengepung Yahudi Bani Quraizhah karena melanggar perjanjian damai. Dalam situasi damai para ulama al-salaf al-shalih, mulai dari generasi sahabat sampai seterusnya membolehkan bersalam kepada non-muslim. Rasulullah sendiri pernah berucap salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan non-muslim (Yahudi dan orang musyrik). (HR. Al-Bukhari)
Ketika ada yang mengingatkan terlarang hukumnya mengucapkan salam kepada non-muslim, sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas'ud, mengatakan, "Mereka berhak karena telah menemaniku dalam perjalanan". Sahabat lain, Abu Umamah al-Bahiliy, setiap kali berjumpa orang, muslim atau non-muslim, selalu berucap salam. Dia bilang, agama mengajarkan kita untuk selalu menebar salam kedamaian. (Tafsir al-Qurthubi, 11/111)