Duka di Balik Pusara
                      Oleh:
              Ghian Septa Ardianti
Air mata yang tak terbendung
Seketika melihat wanita itu terbujur
di tengah keramaian orang yang menunduk
Tubuh yang terasa kaku dan raga yangÂ
terasa dingin sudah mulai tampak pucat
Ingin sekali tangan ini menyentuh
dan meraba tubuh kaku itu
Namun hati tidak sanggup
air bening itu selalu menetes
membasahi permukaan muka lesu ku
Tangis pun mulai memuncak
di saat kereta hijau itu mulai berjalanÂ
menitih di atas pelupuk mata ku
Tubuh terasa bergetar
bibir pun terasa dibungkamÂ
ketika menyaksikan
penumpang kereta itu di lantunkan nyanyian
syahduÂ
Nyanyian yang begitu menyayat sebahagian
hati dan jiwa ku.
Aku hanya dapat melihat langit langitÂ
kereta itu
Langkah kaki yang semakin surutÂ
nada suara yang mulai memelan
Hanya nyanyian kecil yang dapat di mainkan
oleh bibir ku
Tiba lah saat nya kereta hijau itu berhenti
di tempat pemberhentian terakhirnya
Ku pandangi tubuh pucat yang di baluti
gaun putih itu di paksa turun dari keteraÂ
hijaunya
Langkah demi langkahÂ
dia mulai dibawa jauh dari kereta nya itu
menuju sebuah lubang kecil yang begituÂ
amat gelap
Tubuh itu mulai tidak tampak di permukaan
tanah merah yang bertumpuk
Tubuh hangat yang selalu mendekap akan
tubuh mungil ku di kubur di depan mata ku
Seketika aku tersimpuh di atas pusara itu
Tangan ku mulai menggenggam tanah merah
yang bertumpuk  dan berhias kan akanÂ
kembang kembang yang begitu amat indah
Tertanam sebuah plang putih yang bertuliskanÂ
atas namanya
Para pengemudi kereta itu mulai menjauh
Meninggalkan penumpangnya di tengah
tengah ribuan pusara yang sudah mulai tampak
menua dan di tumbuhi rumput rumput liar
Dari kejauhan ku pandang pusara muda itu
begitu indah dengan taburan kembang nya
Namun tetap saja ada duka di balik pusara itu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H