Dalam konteks penerbitan, terdapat dua jenis tipe terbitan yang umumnya akan dipublikasikan, yaitu terbitan cetak dan terbitan digital. Terbitan cetak memiliki banyak jenisnya, seperti koran, majalah, jurnal penelitian, buku non fiksi dan buku fiksi. Proses penerbitan pada terbitan cetak hampir sama dengan terbitan digital, yang membedakan keduanya hanyalah cara publikasinya. Terbitan cetak diharuskan untuk dicetak, sedangkan terbitan digital hanya perlu diupload ke website, mobile app, ataupun di server lokal.
Pernah ada gagasan bahwa terbitan cetak akan digantikan oleh terbitan digital. Namun, hal tersebut mungkin masih menjadi angan-angan saja karena banyak dari kita yang masih menikmati terbitan cetak lantaran adanya kelebihan yang tidak dimiliki oleh terbitan digital. Dengan membeli terbitan cetak, kita merasa memiliki sesuatu dibandingkan dengan membeli terbitan digital. Tak hanya itu, membaca terbitan cetak tidak membutuhkan daya seperti halnya pada terbitan digital yang mengharuskan pengguna untuk menggunakan device tertentu. Terbitan cetak juga memungkinkan kita untuk membawanya kemana saja termasuk saat traveling tanpa takut daya habis karena tidak ada colokan listrik. Maka dari itu, terbitan cetak masih disukai hingga saat ini karena beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh terbitan digital.
Apapun jenisnya, terbitan cetak setidaknya melalui beberapa proses hingga terbitan tersebut sampai pada target pembacanya. Tahapan terbitan cetak dapat dirangkum menjadi tiga tahap, yaitu proses pracetak, cetak, hingga proses pascacetak. Masing-masing dari proses tersebut melibatkan banyak pihak sehingga proses dari penerbitan tidak dapat dilakukan seorang diri. Perlu adanya kerjasama dari beberapa pihak sehingga naskah yang direncanakan dapat diolah sehingga sampai pada target pembacanya.
Proses pracetak dimulai sejak naskah tersedia untuk diterbitkan. Menurut Irvaniara (2022), terdapat tiga metode yang dapat dilakukan oleh pengelola penerbitan guna memperoleh naskah, diantaranya adalah secara aktif berkirim pesan dengan orang yang dipandang memiliki kapasitas untuk membuat naskah, secara pasif menunggu datangnya naskah, dan penulisan naskah oleh pengelola terbitan/ tim yang ditunjuk untuk membuat naskah. Bila kita pernah menuliskan naskah fiksi untuk diterbitkan, penerbit yang memiliki cara pasif akan menunggu naskah datang untuk diseleksi. Sementara, penerbit yang aktif berkirim pesan dapat dilakukan oleh pengelola penerbitan di bidang keilmuan atau editor yang sudah mengenal betul naskah apa yang dikehendaki oleh pengelola penerbitan dan mengenal siapa yang berkapasitas untuk membuatkan naskah yang sesuai. Tentunya, cara aktif ini mengharuskan penulis naskah memiliki reputasi di bidangnya sehingga seseorang dari penerbitan dapat mengenali hasil tulisannya dan target pembacanya. Di sisi lain, tidak ada salahnya bila pengelola penerbitan menerbitkan dengan sumber daya manusia internal. Selama pembuat naskah memiliki kapasitas dan target pembaca jelas, maka metode apapun yang digunakan sah-sah saja.
Naskah yang sudah diterima akan diperiksa oleh tim redaksi untuk melihat kelayakan naskah untuk diterbitkan. Tim redaksi akan menentukan apakah naskah tersebut akan langsung diserahkan pada penyunting naskah atau dikembalikan kepada pembuat naskah untuk diperbaiki. Perbaikan naskah umumnya hanya bersifat minor dan tidak membutuhkan waktu yang sangat lama. Hal ini karena, waktu yang disediakan untuk perbaikan umumnya berpedoman pada bobot perbaikan. Perlu diingat bahwa penerbit yang memiliki waktu terbit yang ketat, umumnya lebih menyukai naskah yang tidak memiliki perbaikan mayor.
Kemampuan editing tulisan menjadi hal yang wajib dimiliki oleh pembuat naskah. Dengan mengedit tulisan, tim redaksi akan lebih mudah membaca hasil tulisan kita dan menghindarkan  Cara lain yang dapat dilakukan oleh pembuat naskah yang mengirimkan hasil tulisannya ke penerbit adalah memanfaatkan jasa pihak ketiga sebagai editor. Naskah yang sudah diperbaiki, diperiksa untuk menentukan apakah tulisan tersebut sudah layak terbit. Bila sudah layak terbit, naskah akan diproses ke tahap berikutnya.
Tahap berikutnya memerlukan penyuntingan dan pengaturan tata letak, serta penambahan desain sampul pada terbitan. Pada tahap ini ketiga tugas dapat dikerjakan oleh dua orang hingga beberapa orang. Umumnya, ilustrasi pada sampul buku (khususnya pada buku fiksi) dikerjakan oleh satu orang, pengaturan tata letak oleh satu orang, dan penyuntingan dapat lebih dari satu orang. Pembagian tugas bertujuan agar pengerjaan menjadi fokus pada bidang tugas masing-masing.
Irvaniara (2022) berpendapat bahwa penyuntingan dilakukan karena adanya kebijakan kebahasaan atau selingkung yang ditetapkan penerbit menjadi salah satu karakter kebahasaan penerbitnya. Di titik ini, penetapan karakter kebahasaan dapat membuat citra pada suatu penerbit. Misalnya, karakter kebahasaan yang baku umumnya diterapkan oleh penerbit yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan, sementara karakter kebahasaan yang luwes disyaratkan oleh penerbit yang membuat konten remaja atau anak-anak.
Dalam penyuntingan memerlukan pengetahuan dan pemahaman terhadap kebahasaan. Saat ini pedoman kebahasaan khususnya bahasa Indonesia mengacu pada EYD V. PUEBI tidak lagi dijadikan dasar pedoman dalam berbahasa Indonesia. Oleh sebab itu, baik pengelola penerbitan hingga penyunting naskah perlu menyadari perkembangan kebahasaan khususnya Bahasa Indonesia. Penyuntingan pada naskah juga bertujuan untuk mengatasi kesalahan-kesalahan dalam berbahasa, seperti kesalahan kata, kesalahan frasa, kesalahan pola kalimat, kesalahan gaya bahasa, dan kebahasaan dalam teks.
Menurut Trim dalam Irvaniara (2022), kegiatan dasar dari penyuntingan meliputi:
- Perbaikan naskah sesuai dengan gaya selingkung,
- Pemahaman terhadap ketepatan isi naskah sehingga tidak mengubah konteks naskah setelah disunting,
- Pengubahan pada naskah di tingkat struktur kalimat, paragraf, ataupun outline sehingga mudah dibaca dan runtut,
- Pengurangan bagian naskah yang tidak diperlukan atau tidak relevan,
- Penambahan pada bagian-bagian naskah yang diperlukan dan relevan.
Desain sebagai bagian dari terbitan menjadikan desain penting untuk mendukung aspek visual dari terbitan. Desain saat ini bukan hanya berupa penambahan gambar pada sampul terbitan. Proses penciptaan desain melibatkan banyak proses kreatif dari mulai perencanaan desain, pemanfaatan prinsip-prinsip desain, hingga penerapan desain pada bidang terapan.. Saat pertama kali melihat suatu terbitan, kita akan memperhatikan sampul terbitan (bagian terluar). Meskipun ada pepatah "don't judge book by its cover", nyatanya terbitan-terbitan cetak yang baru seperti buku fiksi atau buku non fiksi yang dipajang di rak toko buku akan melalui proses penghakiman mulai dari bagian yang nampak oleh mata kita. Hal ini karena buku yang dipajang di rak toko buku umumnya masih dibungkus dengan plastik dan tidak boleh dibuka sebelum membelinya. Satu-satunya cara menilai sebuah buku adalah dengan memperhatikan bagian terluar buku yang terdiri atas desain sampul, tata letak tulisan, tebal tipisnya buku berdasarkan banyaknya halaman, warna ilustrasi dan sampul, kualitas sampul (hardcover atau softcover), hingga blurb atau rangkuman kecil tentang konten buku di bagian belakang sampulnya. Hal tersebut menjadikan desain adalah aspek penting dalam buku.
Berkat adanya pengakuan terhadap hak cipta, desain mendapatkan apresiasi dari dunia. Pihak-pihak yang memanfaatkan desain yang dibuat oleh pihak lain perlu memahami batas-batas pemanfaatan desain yang digunakannya, serta mengharuskan pihak yang memanfaatkan desain dari pihak lain bertanggungjawab secara ekonomi terhadap hasil ciptaan tersebut. Dalam konteks ini, pihak pengelola penerbitan yang menghendaki desain dalam terbitan mereka perlu bertanggungjawab penuh bilamana memanfaatkan desain dari pihak lain. Pemanfaatan desain harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan harus berdasarkan undang-undang hak cipta yang berlaku, terutama bila untuk tujuan bisnis.
Pengelola penerbitan dapat memanfaatkan sumber daya manusia yang memang memiliki keahlian di bidang desain grafis untuk mengatasi masalah desain terbitan. Namun, pengelola penerbitan juga dapat menyewa jasa dari pihak lain untuk menyelesaikan masalah grafis desain pada terbitan mereka. Melalui penyewaan jasa desain dari pihak lain, desainer umumnya akan menggunakan dua cara untuk menjual desain mereka, yaitu dengan jual putus atau dengan jual bertahap.
Jual putus dapat diartikan dengan pembuat desain menjual desain mereka dengan harga tertentu dan tidak adanya pembayaran lanjutan setelah desain diberikan. Sementara itu, jual bertahap umumnya desain akan dijual dengan harga yang bergantung pada nilai jual setiap terbitan. Selama terbitan memanfaatkan desain yang dibuatnya, pengelola penerbitan harus tetap bertanggungjawab secara ekonomi kepada desainer dengan membayar desain yang digunakannya. Sistem ini terjadi karena desainer masih memiliki hak cipta terhadap desain yang dimanfaatkan.
Di sisi lain, praktek jual putus akan menyerahkan hak cipta desain kepada pengelola penerbitan. Kelebihan dari jual putus adalah harga yang diberikan cenderung sekali bayar dan tidak adanya pembayaran ulang. Sayangnya, jual putus umumnya menghabiskan banyak dana lantaran desainer akan menentukan harga pas dari desain yang dibuatnya. Hal ini wajar lantaran desain yang dibuatnya digunakan untuk beberapa kali terbitan dalam rentang yang tidak diketahui.
Dalam memperoleh desain yang terbaik, pengelola penerbitan dapat meminta jasa beberapa desainer grafis untuk mengatasi masalah desain terbitan. Namun, perlu diketahui bahwa penting bagi pengelola penerbitan untuk mengapresiasi desainer dengan tidak melanggar hak cipta desain. Tak hanya itu, pengelola penerbitan juga perlu bertanggungjawab secara moral dengan memberitahukan bilamana kerjasama batal dilanjutkan karena telah menemukan desain yang lebih cocok sehingga adanya kepastian dari projek yang sedang dikerjakan.
Apabila terbitan sudah melalui semua tahapan di atas, terbitan akan dibuat dalam bentuk cetak untuk dicoba kualitasnya. Cetak coba ini ditujukan untuk memeriksa kembali kesalahan tulisan, penomoran halaman, penampilan tata letak sesungguhnya, hingga evaluasi terhadap ilustrasi. Di sinilah proofreader mengerjakan tugasnya. Menurut UPT Bahasa Universitas Tanjungpura, proofreading merupakan proses peninjauan kembali sebuah teks dalam aspek kebahasaan dan penulisannya untuk mengecek teks atau esai yang telah diserahkan sudah bebas dari kesalahan pengetikan, kesalahan ejaan, kesalahan pola kalimat, atau kesalahan-kesalahan mendasar lainnya. Orang yang mengerjakan penyuntingan naskah dalam konteks kebahasaan, dikenal sebagai proofreader. Proofreader umumnya bekerja sebelum naskah dicetak dan setelah cetak coba dilakukan.
Tahap cetak, secara umum dapat dikerjakan oleh pihak pengelola terbitan ataupun pihak lain. Terbitan dengan jenis yang berbeda memiliki proses pencetakan yang berbeda pula. Pencetakan pada terbitan koran akan berbeda dengan pencetakan pada terbitan buku. Koran tidak membutuhkan penjilidan, sementara buku dijilid untuk dijadikan satu kesatuan. Pencetakan dan penjilidan biasanya sudah tersedia dalam satu tempat, sangat jarang percetakan yang tidak menyediakan penjilidan.
Tahap pascacetak meliputi distribusi dan pemasaran. Tujuan akhir dari terbitan adalah menjangkau target pembacanya. Maka dari itu, pengelola terbitan perlu melakukan riset terlebih dahulu mengenai target pembacanya sebelum memulai menerima naskah atau membuat naskah sendiri. Irvaniara (2022) mengemukakan bahwa perlu adanya pemanfaatan saluran-saluran komunikasi yang ada agar dapat ditindaklanjuti dengan distribusi terbitan.
Dari awal naskah tersedia hingga berbentuk terbitan cetak yang rapi dan tersusun dengan baik memerlukan proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak. Selain itu, proses penerbitan juga berkaitan erat dengan hak cipta. Oleh sebab itu, penting bagi pihak pengelola penerbitan hingga pihak yang terlibat dalam prosesnya bertanggungjawab penuh terhadap hak cipta, baik hak cipta desain ilustrasi ataupun hak cipta karya cetak pada pembuat naskah terbitan. Dengan melakukan pengawasan dari hulu hingga hilir, diharapkan kualitas terbitan dapat terjaga karena tujuan akhir dari terbitan adalah sampai pada khalayak pembacanya.
Demikian, artikel kali ini. Bila ada pertanyaan atau saran dapat disampaikan pada kolom komentar dibawah. Bila artikel ini membantu dan Anda ingin membaca artikel serupa. Anda dapat menekan tombol follow. Terimakasih. Sampai jumpa di artikel lainnya.
Daftar Pustaka
Irvaniara, Yosal. (2022). "Manajemen Penerbitan". Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
https://uptbahasa.untan.ac.id/proofreading-editing/#:~:text=Proofreading%20adalah%20proses%20peninjauan%20kembali,atau%20kesalaha%2Dkesalahan%20mendasar%20lainnya. Diakses pada tanggal 30 Maret 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H