Ahir-ahir ini aku sering sakit. Dengan jenis yang berbeda-beda, kadang kepala terasa berat, kadang hanya gigil di tubuh yang dahsyat, kadang perih perut yang seperti diganjal dengan paku berkarat dan sakit lain yang initnya membuatku seakan sekarat. Namun ada waktu yang seperti menjadi obat, kala azan isya dikumandangkan olehmu, semua sakit di tubuh seperti permisi sebentar meninggalkan tubuh yang mereka sayangi ini. Maka Saat itu, dari mulutku tidak terdengar suara erangan, hati serasa damai dipeluk azan dari lisanmu yang merdu.Â
Aku masih belum mengerti penyabab berbagai macam sakit yang sering menjenguk tubuhku. Ada yang bilang, ini bukan hal biasa yang lumrah terjadi. Ini semacam buah dari kebencian seseorang padaku, dengan teluh atau santet ia kirimkan padaku sebagai bentuk dendamnya.Â
Ada yang bilang, ini ulah jin yang merasa tersakiti olehku, mungkin pernah tanpa sengaja jin itu terganggu dengan keberadaanku. Namun aku acuhkan, aku kembalikan saja pada Tuhan. Sebab aku hanyalah hamba, yang pada satu nikmat-Nya saja, syukurku belum sempurna.Â
Juga ada alasan lain, yang bikin aku betah-betah saja bersama penyakit yang datang silih berganti, yaitu kebahagiaan menunggu suara azanmu, yang membuat aku candu.Â
Maka tak ada yang mampu membujukku, untuk pulang sebentar, memeriksakan diri pada dokter atau orang pintar, sebagai ikhtiar dari kesembuhan. Sebab memang banyak kemungkinan yang bisa dijadikan faktor penyakit yang menimbunku. Bisa saja pola makan tidak beraturan. Atau mitos yang mungkin benar, bahwa di pesantren yang aku cintai ini, banyak penghuni berbeda alam.
Sudah setengah bulan, aku seperti ini. Namun entah kenapa, hari ini sangat berbeda. Serasa aku harus mengerang lebih keras, sebab rasa sakit yang makin mengganas. Banyak yang menggerumuniku. Aku kira mungkin hanya sebentar, namun hingga maghrib, rasa sakit tak mau hilang. Ahirnya pengurus pesantren memanggil orang pintar, dikira aku kesurupan.Â
Padahal aku dalam kondisi sadar. Kulihat orang pintar itu sedang komat-komit, entah mantra apa yang ia baca, sepertinya tidak ada hasil untuk sakit yang menyiksaku. Ahirnya orang pintar itu bertanya pada salah satu kawanku, biasanya, hal apa yang membuat aku merasa mendingan. Kawanku bilang, suara azan. Azan isya. Orang pintar itu lanjut bertanya kepada salah satu kawanku yang kebetulan menjadi pengurus pesantren "Sejak kapan, ia seperti ini?"
"Sudah setengah bulan"
"Benar, dugaan saya" orang pintar itu lanjut bicara, aku hanya mengerang saja, sebab benar-benar sakit yang menggila. Kawanku penasaran bertanya,
"Kenpa pak, sakit apa kawan saya?"
"Ini efek mantra yang dibaca seseorang untuk mencelakainya, coba akan saya terwang siapa pemilik mantra itu"
Tak berselang lama azan isya terdengar. Merdu sekali didengar. Saat itulah rasa sakit sepertinya mulai berkurang. Aku bersyukur bahkan berharap, kelak azan ini dan pemilik suaranya, yang akan didengar pertama kali oleh anak-anakku waktu dilahirkan.Â
Aku tahu empu suara azan ini, bahkan dalam diam aku menyuakinya, namun tak berani aku ungkapkan, karena syariat telah memberi batas, tapi bukan dengan artian aku lepas, aku ikat harapan ini, dengan doa di sepertiga malam. Sembari mengingat suara azan yang menyejukkan. Tak berselang lama, rasa sakit ini kembali lagi bersama hilangnya suara azan, bahkan komplit; di kepala, badan yang menggigil dan perut yang terasa ganjil, serasa aku sekarat.
"Coba, panggilkan santri putra pemilik suara azan isya barusan" kata orang pintar yang baru selesai menerawang. Entah kenapa, kok dia yang dipanggil.Â
Dalam gigil dan rasa sakit yang lain, aku membatin, mungkin orang pintar ini, sudah mengerti obatnya. Aku berdebar di sisi lain aku gemetar. Datanglah pemilik suara idamanku, ia tampak gugup duduk di sampingku, jantungku lebih kencang berdegup. Mungkin dia juga malu, dan saya yakin ia juga punya rasa padaku.
"Kamu yang azan barusan?" tanya orang pintar itu membentaknya.
"Iya, pak" jawabnya dengan lirih.
"Berarti, juga kamu pemilik mantra yang ada pada tubuh anak ini?"
"Iya, pak"
"Kenapa kau lakukan?"
"Aku, cinta padanya, tapi ia tak menjawab cintaku, aku serasa ombak yang ditolak pantainya, pak"
Mendengar dialog itu, ada penyakit tambahan yang datang padaku. Dadaku sesak. Hatiku robek. Tak habis pikir aku padanya. Segegabah itu ia rupanya. Padahal, ada yang belum aku sampaikan, sebab biarkan saja masih menjadi rahasia. Serasa aku ingin mati saja.
Toabo, 22 November 2020 M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H