Mohon tunggu...
R. Bindoeng
R. Bindoeng Mohon Tunggu... Seniman - Pembual

Seorang lelaki berpostur kecil. Banyak yang menjuluki dengan 'pria menjengkelkan'. Usil, suka menulis keusilan dengan puisi, prosa, cerpen, catatan dkk. Pegiat di Majelis Tobung Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada yang Belum Tersampaikan

21 Januari 2021   08:56 Diperbarui: 25 Januari 2023   18:56 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak berselang lama azan isya terdengar. Merdu sekali didengar. Saat itulah rasa sakit sepertinya mulai berkurang. Aku bersyukur bahkan berharap, kelak azan ini dan pemilik suaranya, yang akan didengar pertama kali oleh anak-anakku waktu dilahirkan. 

Aku tahu empu suara azan ini, bahkan dalam diam aku menyuakinya, namun tak berani aku ungkapkan, karena syariat telah memberi batas, tapi bukan dengan artian aku lepas, aku ikat harapan ini, dengan doa di sepertiga malam. Sembari mengingat suara azan yang menyejukkan. Tak berselang lama, rasa sakit ini kembali lagi bersama hilangnya suara azan, bahkan komplit; di kepala, badan yang menggigil dan perut yang terasa ganjil, serasa aku sekarat.

"Coba, panggilkan santri putra pemilik suara azan isya barusan" kata orang pintar yang baru selesai menerawang. Entah kenapa, kok dia yang dipanggil. 

Dalam gigil dan rasa sakit yang lain, aku membatin, mungkin orang pintar ini, sudah mengerti obatnya. Aku berdebar di sisi lain aku gemetar. Datanglah pemilik suara idamanku, ia tampak gugup duduk di sampingku, jantungku lebih kencang berdegup. Mungkin dia juga malu, dan saya yakin ia juga punya rasa padaku.

"Kamu yang azan barusan?" tanya orang pintar itu membentaknya.

"Iya, pak" jawabnya dengan lirih.

"Berarti, juga kamu pemilik mantra yang ada pada tubuh anak ini?"

"Iya, pak"

"Kenapa kau lakukan?"

"Aku, cinta padanya, tapi ia tak menjawab cintaku, aku serasa ombak yang ditolak pantainya, pak"

Mendengar dialog itu, ada penyakit tambahan yang datang padaku. Dadaku sesak. Hatiku robek. Tak habis pikir aku padanya. Segegabah itu ia rupanya. Padahal, ada yang belum aku sampaikan, sebab biarkan saja masih menjadi rahasia. Serasa aku ingin mati saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun