Mohon tunggu...
Ghassani Zatil Iman
Ghassani Zatil Iman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Just a girl who loves to write about everything

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Close, Bagaimana Toxic Masculinity Menghancurkan Persahabatan

2 Juli 2023   12:44 Diperbarui: 2 Juli 2023   12:56 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Close (2022) (https://mubi.com/films/close-2022)

Pernahkah kalian bertanya-tanya, mengapa ketika perempuan saling bergandengan tangan sesama teman, setiap orang yang melihatnya akan merasa hal itu adalah hal yang wajar. 

Namun, apabila laki-laki yang melakukannya, orang akan menganggap hal itu tidak wajar atau akan langsung mengcap mereka sebagai gay? Atau mengapa terdapat ungkapan bahwa laki-laki tidak boleh menangis, bukannya perempuan yang tidak boleh menangis? Itulah salah satu dari beribu contoh budaya toxic masculinity yang hingga kini masih banyak dianut oleh tidak hanya warga Indonesia, namun juga di seluruh penjuru dunia.

Menurut Pilcher dan Whelehan sendiri, maskulinitas adalah seperangkat praktik sosial dan representasi budaya yang terkait dengan menjadi laki - laki. Priyo Soemandoyo mengatakan bahwa pria digambarkan memiliki fisik yang besar, agresif, prestatif, dominan-superior, asertif dan dimitoskan sebagai pelindung.

Toxic masculinity sendiri diasosiakan sebagai sekumpulan perilaku tertentu dari laki-laki yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang disekitarnya maupun dirinya sendiri. Gagasan toxic masculinity sebetulnya tidak dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa maskulinitas itu buruk. 

Namun, dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa perilaku dan cara berpikir tertentu yang sering dikaitkan dengan maskulinitas, mulai dari cara berpikir dominasi, misoginis, sexism, homophobia, domestic abuse dan pelecehan seksual.

Pada studi The Man Box: A Study on Being a Young Man in the US, UK, and Mexico (2017) oleh Brian Heilman, Gary Barker dan Alexander Harrison yang dilakukan pada laki-laki kelompok usia 18 sampai 30 tahun, menunjukkan beberapa sifat yang para partisipan percayai harus ada pada seorang pria agar bisa menjadi pria sejati. Yang kemudian disebut sebagai seven pillars, dimana yang pertama adalah: Mandiri, para partisipan percaya bahwa seorang pria harus mencari tahu jalan keluar masalah pribadi mereka tanpa bertanya pada orang lain.

Mereka menganggap bahwa laki-laki yang banyak berbicara mengenai kekhawatiran mereka bukanlah pria sejati. Angka statistik yang ada pun menunjukkan bahwa laki-laki lebih jarang meminta bantuan tenaga kesehatan dalam urusan kesehatan mental, meskipun menurut data, laki-laki 1,8 kali lebih mungkin melakukan bunuh diri dibanding dengan wanita.

Pilar kedua adalah: Bersikap tangguh, para partisipan mengatakan bahwa laki-laki yang tidak melawan balik adalah lemah dan laki-laki harus selalu bersikap tangguh meskipun mereka takut. Pilar ketiga adalah: Daya tarik fisik, dimana seorang pria yang menghabiskan banyak waktu pada penampilannya dianggap tidak terlalu jantan. Yang keempat adalah: Peran gender yang kaku, 22% dari partisipan studi asal Amerika percaya bahwa mereka seharusnya tidak melakukan pekerjaan rumah tangga, 44% percaya bahwa mereka harus menjadi satu-satunya yang mencari nafkah, dan 28% percaya bahwa anak laki-laki tidak boleh diajari hal-hal seperti memasak, bersih-bersih, dan mengasuh anak.

Pilar kelima adalah: Heterosexual dan homophobia, mayoritas dari para partisipan berpikir bahwa laki-laki gay adalah kurang maskulin dan lelaki yang kurang maskulin sudah pasti adalah seorang gay. Akibatnya, banyak istilah penghinaan yang diberikan kepada komunitas LGBTQIAP+ maupun berujung kepada penyangkalan identitas diri sendiri. Pilar keenam adalah: Hipersexualitas, bahwa laki-laki tidak boleh mengatakan tidak pada hubungan seksual. Hal ini menyebabkan banyak pria yang merasa tidak apa-apa dalam memiliki banyak pasangan, sementara mengekspresikan kebencian pada wanita yang berlaku sama.

Dan pilar terakhir adalah: Agresi dan kontrol, dimana 23% para partisipan studi asal Amerika percaya bahwa jika dibutuhkan laki-laki harus menggunakan kekerasan untuk mendapatkan kehormatan. Seluruh hal dalam toxic masculinity ini tidak hanya berakibat buruk pada orang lain, namun juga pada laki-laki itu sendiri.

Contoh saja dalam film Close (2022) karya Lukas Dhont, yang menceritakan dua sahabat anak laki-laki asal Belgia yang persahabatannya semakin merenggang akibat toxic masculinity yang dilakukan oleh para teman-teman mereka.  Persahabatan yang sulit dipisahkan membuat teman sekelas mereka melabeli kedekatan mereka sebagai tanda bahwa mereka adalah sepasang kekasih dan mulai mengejek mereka.

Lo, salah satu diantara kedua sahabat tersebut, merasa tidak nyaman, menjauhkan diri dari Rmi dan mulai mengikuti kegiatan olahraga agar tidak dicap seperti pandangan orang-orang. Tak disangka, hal ini pun membuat Rmi berpikir bahwa Lo sudah tidak mau lagi berteman dengannya dan hubungan keduanya pun makin merenggang, hingga berakibat fatal pada salah satu diantara mereka.

Penggambaran bahwa seorang laki-laki harus dapat menjadi sosok yang lebih kuat, lebih tabah, tidak boleh terlalu dekat satu sama lain dan tidak lebih lemah dari perempuan serta ungkapan "boys will be boys" tentu saja tidak boleh dibiarkan. Tidak hanya pemikiran dari sesama lelaki, namun juga pemikiran dari seluruh anggota masyarakat.

Laki-laki tentu juga boleh menjadi sosok yang lemah lembut. Laki-laki boleh mengungkapkan rasa sayang ke sesama teman tanpa harus diejek oleh sesama, mereka boleh mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mereka harus sama bertanggung jawabnya seperti perempuan, mereka harus menghargai perempuan sebagaimana mereka menghargai sesama. Dan yang terpenting, mereka boleh menjadi sosok yang membuat mereka nyaman tanpa harus dipandang sebelah mata oleh sesama laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun