"This is Misfortune. She's a wonderful child from a not so wonderful family. The sad part is... today is the day she will die"
Di masa modern ini, saat kita telaah di berbagai sosial media nampaknya ada banyak sekali orang yang mengaku bahwa dirinya memiliki keluarga disfungsional. Atau yang sering dikatakan oleh orang-orang dengan kata 'Broken Home'. Namun sebetulnya apa yang dapat didefinisikan sebagai keluarga disfungsional?Â
Menurut The McGraw-Hill Concise Dictionary of Modern Medicine, keluarga disfungsional didefinisikan sebagai keluarga dengan banyak konflik internal dan konflik eksternal.
Hal utama yang perlu diingat tentang definisi ini adalah bahwa ada banyak pengaruh negatif, dan mereka mempengaruhi kebutuhan dasar. Inilah yang membedakan keluarga disfungsional dengan keluarga lainnya.Â
Dalam keluarga disfungsional, tidak ada aspek-aspek keluarga sehat, dimana terdapat aturan yang jelas dan konsisten didalam keluarga, saling menghormatinya antar anggota keluarga, orangtua memberi pengasuhan kepada anak-anaknya, semua anggota keluarga merasa aman dan tentram serta diberikannya tanggung jawab kepada anak sesuai dengan usianya.
Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab terbentuknya keluarga disfungsional, baik dari faktor orangtua, anak maupun anggota keluarga lainnya.Â
Orangtua abusive sendiri menjadi salah satu faktor tersering penyebab terbentuknya keluarga disfungsional, baik oleh kedua orangtua maupun hanya oleh salah satu orangtua saja ataupun hubungan orangtua yang terlalu dominant-submisive, dimana salah satu pasangan lebih dominan dibanding yang satunya hingga persaingan antar saudara kandung.Â
Selain itu, orangtua yang terlalu mengontrol atau justru kelewat lembut sehingga menjadikan anak semena-mena juga dapat menjadi salah satu faktor penyebabnya ataupun juga adanya gangguan kepribadian dalam anggota keluarga.Â
Tak hanya dari faktor internal, faktor eksternal seperti peristiwa dalam kehidupan yang tidak beruntung misalnya trauma, pemecatan dari pekerjaan, perceraian dan kematian, nilai budaya dan lingkungan serta penyalahgunaan alkohol dan narkoba juga dapat berperan dalam terciptanya keluarga disfungsional.
Berdasarkan keepyourchildsave.org, dinamik dari keluarga disfungsional terdiri dari: yang pertama adalah "keluarga konflik kronik", yaitu ketika setiap anggota keluarga berdebat dengan yang lain dengan cara yang berbahaya dan meninggalkan luka.Â
Yang kedua adalah "rumah tangga patologis", dimana terdapat salah satu gangguan psikologis dan/atau gangguan akibat penyalahgunaan zat pada salah satu atau kedua orangtua.Â
Pada keluarga disfungsional ini peran keluarga biasanya terbalik dimana anak-anak lebih bertanggung jawab dibanding orangtua. Yang ketiga adalah "rumah tangga yang kacau", dimana anak-anak dirawat dengan buruk oleh orangtua yang sibuk dan seringkali tidak hadir dalam kehidupan sang anak. Tidak ada regulasi atau aturan yang jelas, dan tidak ada konsistensi dalam keluarga.Â
Yang keempat adalah "rumah tangga dominant-submisive", dimana salah satu orangtua bersifat diktator, tanpa mempertimbangkan keinginan atau perasaan anggota keluarga lainnya. Â
Semua anggota keluarga tidak bahagia dan tidak puas dengan kehidupan dari hubungan yang tidak sehat, tetapi secara pasif patuh pada yang dominan.Â
Dan yang terakhir adalah "keluarga yang jauh secara emosional", yaitu keluarga dengan latar belakang sosial atau budaya yang tidak tahu bagaimana menunjukkan cinta dan kasih sayang.Â
Anak-anak belajar dari orangtua mereka bahwa perasaan harus ditekan dan membawa tidak adanya keterikatan, kesulitan dalam identitas anak dan masalah harga diri. Keluarga yang jauh secara emosional mungkin merupakan salah satu keluarga disfungsional yang paling tidak terlihat jelas.
Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Basem Abbas Al Ubaidi, konsultan keluarga asal Arabian Gulf University pada tahun 2017 sendiri, menyatakan anak-anak yang tumbuh di keluarga disfungsional akan mengadopsi minimal satu dari 6 peran dalam keluarga: "the good child", yaitu seorang anak yang mengambil peran orangtua atau memposisikan dirinya sebagai 'peace keeper' untuk menengahi konflik antara kedua orangtuanya.Â
Perilaku mereka ini kemungkinan adalah reaksi terhadap kecemasan alam bawah sadar mereka mengenai kehancuran keluarga. Yang kedua adalah "the problem child atau rebel", yaitu anak yang memerankan peran anak bermasalah yang dihasilkan sebagai usaha mereka untuk membuat para anggota keluarga sibuk dari urusan pribadi, sehingga dapat menjaga keluarga tetap utuh.Â
Yang ketiga adalah "the 'scapegoat'", yaitu anak dipandang sebagai kambing hitam untuk sebagian besar masalah yang berkaitan dengan disfungsi keluarga, sementara anak lainnya dipandang sebagai anak yang baik. Kemudian, yang keempat adalah "the lost child", yaitu anak yang tidak mencolok, pendiam dan kebutuhan-kebutuhannya cenderung diabaikan oleh keluarganya sendiri.Â
Lalu yang kelima adalah "the 'mascot' atau charm child", yaitu anak yang menggunakan komedi untuk mengalihkan perhatian dari sistem keluarga yang disfungsional. Dan yang terakhir adalah "the mastermind child", yaitu anak yang memanfaatkan kesalahan anggota keluarga lainnya untuk mendapatkan apapun yang diinginkannya.
Little Misfortune, adalah game besutan studio game indie, Killmonday Games, pada tahun 2019, yang menyoroti kisah Misfortune Ramirez Hernandez, seorang anak imajinatif yang memiliki keluarga disfungsional. Sang ayah adalah seorang pecandu alkohol dan sang ibu serta Misfortune sendiri kerap menjadi sasaran kemarahan ayahnya ketika mabuk.
 Meskipun 90% dari petualangan di dalam game ini tidak menyoroti keluarga Misfortune, namun ada satu hal penting yang menjadi plot twist di dalam game ini yang dimana sesuai dengan quotes dari sang karakter Narrator "Misfortune akan meninggal hari ini", dimana kepergian Misfortune pun dapat terbilang tragis karena berhubungan dengan orangtua abusive-nya.Â
Sepanjang gameplay, kita juga akan dipertunjukkan dengan pengeluaran kata-kata kotor dari Misfortune serta adegan flashback, yang tak lain dan tak bukan merupakan salah satu bukti bahwa ia tidak terlalu diperhatikan oleh orangtuanya.
Selain Little Misfortune, game yang juga mengangkat tema utama keluarga disfungsional adalah Among The Sleep (2014), garapan developer asal Norwegia, Krillbite Studio, yang dimana sama seperti Little Misfortune, yaitu menyoroti kisah sang balita David, yang menjadi korban perceraian kedua orangtuanya.Â
Sampai ibunya pun akhirnya tak tahan dengan perasaan sedih dan kesepian akibat perceraian sehingga berubah menjadi pecandu alkohol. Dan sama seperti Misfortune, dirinya pun dijadikan sasaran kemarahan ibunya setiap mabuk. David mulai melihat hal-hal mengerikan seperti monster di dalam rumahnya, yang sebetulnya merupakan perwujudan rasa takut sang anak terhadap perlakuan kasar sang ibu.Â
Meskipun tidak memiliki ending kelam layaknya Little Misfortune, namun tidak dapat dipungkiri bahwa setiap anak sekecil David tidak berhak untuk merasa takut di dalam rumahnya sendiri, terutama terhadap sang ibu yang melahirkannya.
Kisah Misfortune dan David pastinya tidak dapat kita bandingkan dengan kisah keluarga disfungsional asli diluar sana, namun game ini dapat dijadikan pelajaran bahwasanya anak sebagai korban dari kelalaian orangtua adalah nyata.Â
Game ini dapat dijadikan pelajaran bahwa sekecil apapun seorang anak sudah dapat timbul trauma mendalam terhadap kejadian mengerikan.
Segera hubungi layanan hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di 129 jika kalian mengalami atau menemukan tindak kekerasan pada anak.
Orangtua dan keluarga seharusnya dapat menjadi rumah tempat bernaung seorang anak, bukannya menjadi monster yang kerap mereka takuti dan hindari.Â
Setiap orangtua seharusnya menyadari bahwa anak adalah anugrah indah dan tidak berhak memiliki kehidupan kelam hanya dikarenakan kesalahan mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI