Apakah kalian pernah menonton film 50 Shades of Gray (2020)? Atau mungkin film dari platform Netflix yang baru saja tayang tahun 2020 lalu, 365 Days? Apakah kesamaan dari kedua film itu? Ya, sama-sama memiliki rating dewasa. Namun yang tak jarang orang sadari adalah, bahwa kedua film tersebut sama-sama memperlihatkan mengenai Toxic Relationship. Tak banyak orang yang sadar akan hal itu, mengapa? Karena banyak orang yang menganggap bahwa Toxic Relationship adalah wajar dan bahkan terkadang sulit untuk dikenali.
Tapi apa sih Toxic Relationship itu? Batasan apa sajakah pada hubungan yang dapat dikatakan sebagai Toxic? Dr. Lillian Glass, psikolog dan ahli komunikasi asal California menjelaskan bahwa menurut buku Toxic People (1995), Toxic Relationship adalah hubungan apapun antar individu yang tidak mendukung satu sama lain, dimana terdapat adanya konflik dan yang satu berusaha melemahkan yang lain, adanya kompetisi dan terdapat disrespect dan adanya ketidakeratan. Toxic Relationship dapat menyebabkan terjadinya pengurasan mental dan lebih banyak mengandung hal negatif dibanding hal positif. Tak hanya melemahkan mental, namun juga dapat melelahkan secara pikiran dan juga fisik.
Toxic Relationship tidak hanya dapat muncul dari hubungan romantis, namun dapat juga dari teman ke sesama teman, anak dan orangtua, kedua saudara bahkan hingga teman kerja. Tidak hanya saling tidak mendukung antara satu sama lain, namun Toxic Relationship dapat juga berbentuk sebagai hubungan yang abusive. Baik itu secara fisik seperti contohnya perlakuan memukul atau menampar sang pasangan, emosional seperti terlalu mengkontrol, cemburu berlebihan atau kerap memberi kata-kata yang menusuk hati hingga secara seksual seperti pemaksaan melakukan hubungan seks.
Seseorang yang berada dalam Toxic Relationship, dapat tidak menyadari bahwa dirinya sedang mengalami tekanan mental. Biasanya mereka akan merasa bahwa hal ini adalah hal wajar dan biasa serta tidak menyadari bahwa dirinya sedang dalam bahaya. Mereka merasa bahwa sang pasangan berhak mendapatkan kesempatan kedua, tidak sengaja menyakiti mereka dan merasa bahwa orang lain tidak akan mengerti mengenai apa yang terjadi di hubungan mereka berdua. Padahal menurut Lenore E. Walker (1979), psikolog Amerika pendiri Domestic Violence Institut, terdapat 4 siklus dari Domestic Abuse.
Yang pertama adalah Tension Building, yaitu ketika adanya stress yang bertumpuk dalam sebuah hubungan, komunikasi diantara keduanya menurun dan menyebabkan sang korban kerap merasa tertekan dan berhati-hati agar tidak menyebabkan sang abuser marah. Siklus kedua adalah Incident atau Violence, yaitu ketika kekerasan fisik ataupun mental terjadi. Pada siklus ini abuse dapat berupa tindakan kekerasan fisik, kemarahan, ancaman hingga tindak gaslighting, yaitu bentuk manipulasi dimana abuser melemahkan rasa percaya diri korban dengan membuat mereka mempertanyakan ingatan, sudut pandang, atau kewarasan mereka.
Siklus ketiga adalah Reconciliation atau masa Honeymoon, disini sang abuser merasa bersalah atau takut bahwa sang korban akan melapor atau meninggalkan mereka, sehingga akan meminta maaf, memberikan alasan dan memberi hadiah sebagai bentuk permintaan maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Siklus yang terakhir adalah Calm yang merupakan bagian dari masa Honeymoon, dimana hubungan berlangsung normal seperti biasa. Namun keempat siklus ini akan terus berulang dan berulang sepanjang terjadinya hubungan.
Lantas mengapa seorang abuser melakukan tindak kekerasan? Ada banyak faktor didalamnya, mulai dari trauma masa kecil, ketidakcocokan dengan sang pasangan, hingga adanya masalah dalam pengontrolan emosi. Toxic Relationship dapat dideteksi ketika suatu hubungan mulai membawa rasa sedih, tidak nyaman dan bersalah sepanjang waktu ketimbang rasa bahagia. Kita juga dapat mulai mewaspadai adanya Abuse Relationship pada teman kita ketika sifat mereka mulai berubah, terdapat lebam ataupun tanda-tanda kekerasan lainnya serta mereka mulai menarik diri untuk membicarakan mengenai hubungan mereka. Perlu diingat pula bahwa seorang abuser tidak harus melulu merupakan seorang pria. Dari kasus pasangan aktor-aktris Hollywood Johnny Depp dan Amber Heard contohnya, disini Johnny justru menjadi korban dan mendapat ketidakadilan dimana-mana, diakibatkan banyak yang beranggapan bahwa seorang perempuan tidak mungkin menjadi abuser.
Film serta karya sastra lainnya seperti novel ataupun komik memang dapat dijadikan sebagai banyak bahan pembelajaran dalam kehidupan, salah satu contoh yang dapat menjadi pembelajaran bagus kepada kita mengenai berbahayanya Toxic Relationship adalah Rick Murray dan Terri MacGregor serta Leo Lauzon dan Alli Bhandari dari Degrassi: The Next Generation (2001), Nate Jacobs dan Maddy Perez dari Euphoria (2019), Miquel Pombo dan Nora Grace dari SKAM Espaa (2018) serta JD dan Veronica Sawyer dari Heathers (1988). Dari keempat film dan series ini, sedari awal sang sutradara memiliki tujuan untuk menunjukkan sisi Toxic dari sang abuser dan memberikan pelajaran kepada para penonton bahwa terkadang abuser tidak terlihat layaknya abuser, mereka nampak seperti orang biasa, cenderung menawan dan lebih baik untuk mencari pertolongan dari orang terdekat, membuka diri serta lari dari Toxic Relationship sejak awal.
Namun tidak jarang industri film justru memberikan pemahaman yang salah dan melakukan misinterpretasi mengenai hubungan yang dapat diindikasikan sebagai Toxic Relationship. Contoh saja dua karakter ikonik dari film 50 Shades of Gray, Christian Gray dan Anastasia Steele. Dalam film ini, Christian adalah seorang pengusaha yang membuntuti dan berusaha menarik perhatian Anastasia, seorang mahasiswi polos. Banyak orang yang justru menganggap hubungan keduanya sebagai Relationship Goals. Contoh lainnya adalah Hardin Scott dan Tessa Young dari After (2019) yang kerap berbohong dan membuat cemburu satu sama lain. Ini adalah contoh bahwa Toxic Relationship bukan hanya mengenai kekerasan fisik, namun juga melalui mental.
Lain lagi ceritanya dengan 365 Days, film asal Polandia yang memperlihatkan kisah cinta antara Don Massimo Toricelli dan Laura Biel yang unik, dimana Don memilih untuk menculik Laura ketimbang menyatakan rasa cintanya dengan cara biasa. Hal ini tak bisa disangkal merupakan perbuatan abusive, dimana sang protagonis pria jelas-jelas melakukan kekerasan secara mental terhadap protagonis wanita, namun hal ini dibuat-buat seolah merupakan hal yang biasa oleh sang penulis film.
Film yang memuat pasangan yang terlihat lebih 'normal' lainnya namun sebetulnya merupakan contoh dari pasangan Toxic adalah Edward Cullen dan Bella Swan dari series film vampir terpopuler Twilight (2008). Sama halnya seperti Christian dalam 50 Shades of Gray, Edward kerap kali membuntuti Bella dan merusak ruang privasi Bella. Selain itu ada pula William Magnuson dan Noora Amalie Stre dari SKAM (2015). Meskipun merupakan pasangan terpopuler dengan shipper yang tak terhitung banyaknya di SKAM, namun secara tidak disadari penonton, William kerap melakukan emotional abuse. Akibat hubungannya dengan William pun, Noora menjadi terasing dari temannya untuk beberapa waktu.
Contoh yang terakhir dan mungkin merupakan pasangan terpopuler sepanjang masa adalah Romeo Montague dan Juliet Capulet yang berasal dari karya William Shakespeare pada tahun 1597. Romeo dan Juliet jatuh cinta pada pandang pertama, memutuskan untuk langsung menikah dan pada akhirnya melakukan bunuh diri akibat adanya kesalahpahaman. Romeo dan Juliet mungkin bukanlah pasangan Toxic seperti pasangan yang telah disebutkan lainnya, mereka saling mempercayai satu sama lain, namun mereka juga jelas bukan pasangan yang 'sehat'. Mereka bertemu saat Romeo berusia 17 dan Juliet 13, merupakan usia yang sangat labil, memiliki kondisi keluarga yang tidak stabil sehingga menyebabkan keduanya pun saling bergantung secara berlebihan, hingga tak memikirkan keadaan sekitar selain diri mereka berdua.
Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa orang dapat berubah dan setiap orang berhak akan kesempatan kedua, namun apakah hal itu dapat berlaku pula pada seorang abuser? Seorang abuser harus belajar untuk mengontrol amarahnya dan mengikuti terapi. Dan tidak mudah bagi seseorang dengan gangguan emosi untuk mengontrol amarahnya begitu saja. Seperti perkataan dari Lundy Bancroft, konsultan kekerasan anak dan rumah tangga asal Amerika bahwa tidak ada yang berhak untuk disiksa dan tidak pernah ada kata terlambat dalam mencari bantuan. Fokus kepada apa yang dapat kita kontrol untuk memperbaiki hidup kita ketimbang berharap sang abuser berubah.
Segera hubungi layanan hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di 129 jika kalian mengalami atau menemukan tindak kekerasan. Ingat bahwa setiap orang berhak untuk bahagia, sayangilah diri kalian sendiri dan ingat pula bahwa sebuah hubungan harusnya dapat menjadi tempat seseorang berlindung dan tempat seseorang merasa aman, bukannya menimbulkan perasaan tertekan dan selalu merasa bersalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H