Mohon tunggu...
Ghassani Zatil Iman
Ghassani Zatil Iman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Just a girl who loves to write about everything

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Toxic Relationship dan Bagaimana Pop Culture Ikut Mempopulerkannya

14 Juli 2021   19:12 Diperbarui: 15 Juli 2021   06:57 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film yang memuat pasangan yang terlihat lebih 'normal' lainnya namun sebetulnya merupakan contoh dari pasangan Toxic adalah Edward Cullen dan Bella Swan dari series film vampir terpopuler Twilight (2008). Sama halnya seperti Christian dalam 50 Shades of Gray, Edward kerap kali membuntuti Bella dan merusak ruang privasi Bella. Selain itu ada pula William Magnuson dan Noora Amalie Stre dari SKAM (2015). Meskipun merupakan pasangan terpopuler dengan shipper yang tak terhitung banyaknya di SKAM, namun secara tidak disadari penonton, William kerap melakukan emotional abuse. Akibat hubungannya dengan William pun, Noora menjadi terasing dari temannya untuk beberapa waktu.

Contoh yang terakhir dan mungkin merupakan pasangan terpopuler sepanjang masa adalah Romeo Montague dan Juliet Capulet yang berasal dari karya William Shakespeare pada tahun 1597. Romeo dan Juliet jatuh cinta pada pandang pertama, memutuskan untuk langsung menikah dan pada akhirnya melakukan bunuh diri akibat adanya kesalahpahaman. Romeo dan Juliet mungkin bukanlah pasangan Toxic seperti pasangan yang telah disebutkan lainnya, mereka saling mempercayai satu sama lain, namun mereka juga jelas bukan pasangan yang 'sehat'. Mereka bertemu saat Romeo berusia 17 dan Juliet 13, merupakan usia yang sangat labil, memiliki kondisi keluarga yang tidak stabil sehingga menyebabkan keduanya pun saling bergantung secara berlebihan, hingga tak memikirkan keadaan sekitar selain diri mereka berdua.

Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa orang dapat berubah dan setiap orang berhak akan kesempatan kedua, namun apakah hal itu dapat berlaku pula pada seorang abuser? Seorang abuser harus belajar untuk mengontrol amarahnya dan mengikuti terapi. Dan tidak mudah bagi seseorang dengan gangguan emosi untuk mengontrol amarahnya begitu saja. Seperti perkataan dari Lundy Bancroft, konsultan kekerasan anak dan rumah tangga asal Amerika bahwa tidak ada yang berhak untuk disiksa dan tidak pernah ada kata terlambat dalam mencari bantuan. Fokus kepada apa yang dapat kita kontrol untuk memperbaiki hidup kita ketimbang berharap sang abuser berubah.

Segera hubungi layanan hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di 129 jika kalian mengalami atau menemukan tindak kekerasan. Ingat bahwa setiap orang berhak untuk bahagia, sayangilah diri kalian sendiri dan ingat pula bahwa sebuah hubungan harusnya dapat menjadi tempat seseorang berlindung dan tempat seseorang merasa aman, bukannya menimbulkan perasaan tertekan dan selalu merasa bersalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun