Mohon tunggu...
Ghassani Zatil Iman
Ghassani Zatil Iman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Just a girl who loves to write about everything

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

The Breakfast Club dan Efek Negatif School Stereotype

9 Mei 2021   21:00 Diperbarui: 9 Mei 2021   21:03 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelima karakter utama The Breakfast Club dengan sifat saling bertolak belakang. (sumber gambar: vampibots.blogspot.com)

Dear Mr. Vernon, we accept the fact that we had to sacrifice a whole Saturday in detention for whatever it was we did wrong. But we think you're crazy to make us write an essay telling you who we think we are. 

You see us as you want to see us - in the simplest terms, in the most convenient definitions. But what we found out is that each one of us is a brain, and an athlete, and a basket case, and a princess, and a criminal. Does that answer your question? Sincerely yours, the Breakfast Club.

Siapa yang tidak pernah mendengar The Breakfast Club? Film yang dirilis pada tahun 1985 oleh sutradara kondang John Hughes yang sering dinobatkan tidak hanya sebagai film coming of age terbaik namun juga sebagai salah satu film terikonik yang pernah dibuat dalam sejarah. 

Pada tahun 2014 sendiri, Empire Magazine menempatkan film ini di urutan nomor 38 dalam The 500 Greatest Movies of All Timelist. 

Bahkan The New York Times dan Entertainment Weekly menempatkan film ini dalam urutan pertama dalam Best 1000 Movies Ever dan 50 Best High School Movies. 

Pada tahun 2005 juga, film ini meraih penghargaan Silver Bucket of Excellence Award di MTV Movie Award sebagai peringatan ke-20 tahun rilisnya.

Dengan berbekal 5 karakter utama remaja dan 1 karakter utama seorang guru serta proses shooting film yang dilakukan hanya di satu set, film ini sukses meraih pendapatan sebesar 51,5 juta USD Dollar atau setara dengan sekitar 742 miliar rupiah. 

Bahkan saking suksesnya film ini, untuk merayakan peringatan ke-30 tahun rilisnya The Breakfast Club pada tahun 2016, film ini diputar ulang di 430 bioskop di Amerika. 

Dengan menggunakan para pemeran remaja yang sedang naik daun yang nantinya dikenal dengan sebutan Brat Pack, John Hughes yang juga terkenal dengan film-film coming of age era 80-an lainnya seperti Sixteen Candles (1984), Pretty in Pink (1986) dan Ferris Bueller's Day Off (1986) ini, mampu mengubah betapa bosannya menghabiskan waktu di detention menjadi suatu cara untuk saling mengenal satu sama lain melalui film berdurasi 1 jam 37 menit ini.

Molly Ringwald sebagai Claire Standish, sang princess, Judd Nelson sebagai John Bender, sang criminal, Ally Sheedy sebagai Allison Reynolds, sang basket case, Emilio Estevez sebagai Andrew Clark, sang athlete dan Anthony Michael Hall sebagai Brian Johnson, sang brain adalah kelima remaja yang diharuskan untuk menghabiskan masa weekend mereka di detention karena alasan yang saling berbeda satu sama lain. 

Pada awalnya ke-5 murid dengan sifat yang berbeda masing-masing ini saling tidak suka satu sama lain, namun seiring berjalannya waktu, mereka pun saling belajar untuk memahami dan menyadari bahwa stereotype bukanlah segalanya.

Kelima karakter utama The Breakfast Club dengan sifat saling bertolak belakang. (sumber gambar: vampibots.blogspot.com)
Kelima karakter utama The Breakfast Club dengan sifat saling bertolak belakang. (sumber gambar: vampibots.blogspot.com)

Stereotype adalah penilaian terhadap seseorang yang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. 

Di sekolah sendiri ada banyak stereotype yang sering kita jumpai, school stereotype muncul berdasarkan dari anggapan bahwa setiap anggota kelompok atau clique tertentu pasti memiliki karakteristik yang sama. 

Contohnya, apabila kita melihat seorang queen bee, apa yang pertama ada di benak kita? Cantik, sombong, angkuh dan kaya. Padahal belum tentu apa yang kita pikirkan tentang mereka itu benar adanya.

The Breakfast Club sendiri berhasil untuk menunjukkan pada kita semua bahwa memberikan stereotype terhadap orang adalah salah adanya, dan setiap orang memiliki kisahnya masing-masing. 

Claire, seorang princess, yang sering dilabeli memiliki keluarga kaya, selalu memiliki nilai baik dan sempurna, ternyata memiliki orang tua yang tidak begitu memperhatikannya dan tidak se-sempurna yang terlihat. 

John, sang criminal, yang dianggap pembuat onar, selalu memiliki nilai jelek dan pembawa masalah ternyata memiliki background keluarga kriminal yang membuatnya harus hidup dengan dunia yang keras namun juga memiliki sisi lembut tersendiri yang justru membuatnya mendorong orang-orang yang penting baginya karena ia tidak ingin menyakitinya.

Allison, seorang basket case, yang dianggap aneh, pecundang dan menyeramkan ternyata juga memiliki latar belakang keluarga yang tidak sehat serta hanyalah membutuhkan perhatian. 

Andrew, sang athlete yang selama ini dianggap sempurna, bisa diandalkan dan populer ternyata selama ini ditekan oleh ayahnya sendiri agar selalu sempurna, Brian, sang brain, yang sering dilabeli pintar, socially awkward dan penyendiri ternyata memiliki depresi dan memiliki sisi ceria yang tidak pernah dilihat orang lain. 

Tak hanya stereotype yang ditunjukkan di dalam The Breakfast Club, namun semua school stereotype seperti band geek, class clown, theater nerd sampai gamer sendiri pastinya memiliki alasan dan sisi diri sendiri yang membuat mereka berbeda dari kelompok pertemanannya.

School Stereotype menyebabkan hilangnya aspek individu seseorang. Para murid mulai meilhat dirinya tak lagi sebagai individu yang unik satu sama lain, namun hanyalah sebagai bagian dari suatu kelompok. 

Efek yang paling merugikannya adalah apabila suatu kelompok di cap jelek, maka semua murid yang berada di kelompok tersebut juga di cap jelek. Seperti contohnya yaitu banyaknya anggapan bahwa kelompok nerd, prep, murid berdarah Asia dan jock adalah baik, namun kelompok class clown, goth kids dan rebel buruk. 

Adanya school stereotype menyebabkan seorang individu, dalam hal ini adalah para anak dan remaja yang distereotipkan menjadi mulai percaya bahwa ia adalah satu dimensional, dan tidak memiliki sisi unik lainnya, dan bahwa ia harus menyesuaikan sifatnya dengan karakteristik kelompoknya sendiri. 

Lewat The Breakfast Club, para penonton dipertunjukkan bahwa setiap orang, setiap murid dan setiap individu memiliki kisahnya masing-masing, dan pasti memiliki sisi baik dan buruknya tersendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun