Mohon tunggu...
Ghanyy MuhammadNaafi
Ghanyy MuhammadNaafi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Mahasiswa Aktif

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebebasan Berekspresi di Media Sosial Makin Memburuk di Era Jokowi

22 Juni 2021   22:28 Diperbarui: 22 Juni 2021   23:00 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kini bisa di jerat pasal yang tercantum di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal tersebut berdasarkan pasal pasal 264 draft RKHUP, disebutkan "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengansarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud Agarisi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Pasal dari hasil rapat antara pemerintah dan DPR pada 10 Januari 2018 silam masih memunculkan perdebatan dan menuai pro dan kontra masyarakat. Bagaimana tidak, bahkan menurut Herlambang P  Wiratman  selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) mengatakan bahwasanya pembungkaman pada media yang memberitakan kritik kepada penguasa saat ini semakin kompleks.

Di era pemerintahan saat ini, pembungkaman yang terjadi cenderung berupa serangan digital, seperti meretas akun atau membongkar dan penyebaran data pribadi. Adapula upaya sensor, melakukan persekusi serta pemenjaraan yang masih sering terjadi. Hal tersebut menjelaskan bahwa  pembungkaman yang terjadi saat ini berbeda dengan masa Orde Lama ataupun Orde Baru yang hanya melakukan pencabutan izin penerbitan media. 

"Sementara kalau hari ini kompleks. Seiring dengan perkembangan tenologi, cara membungkan kritik terhadap penyelanggara kekuasaan bukan dengan ditutup aksesnya tetapi diserbu lewat informasi yang tidak relevan," ujar Herlambang. Dengan itu, Herlambang menegaskan bahwa pembungkaman kritik di era digital juga dapat dilakukan dengan produksi hoaks.

Hal yang perlu di perhatikan ialah semakin kompleksnya pembungkaman media dapat berpengaruh pada kemunduran demokrasi di Indonesia.

Hal tersebut sempat di singgung Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho. Ia menilai pemberlakuan pasal penghinaan presiden adalah kemunduran. Sebab Indonesia telah memilih sistem demokrasi sehingga kebebasan berpendapat dan berekspresi harus di utamakan.

Penggunaan delik aduan tidak mampu menutup bobroknya pasal tersebut, karena masih tidak ada batasan yang jelas soal frasa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri. Jika di perhatikan dari penerapan UU ITE, penegak hukum masih kerap salah tafsir mengenai pasal penghinaan atau pencemaran nama baik sehingga kerap membuat keributan atau kegaduhan di tengah masyarakatan. Berdasarkan hal itu, bukan tidak mungkin hal serupa terjadi di pasal Pencemaran Presiden.

Hibnu juga menilai rumusan pasal tersebut terkesan ganjil, seperti "menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri" hanya bisa di aplikasikan terhadap personal, sementara presiden dan wakil presiden adalah institusi negara.

Namun, disaat sebagian besar kalangan merasakan bahwa pasal tersebut masih rancu. Seorang pakar hukum pidana dari Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB), Mas Putra Zenno, mengatakan jika ada perbedaan yang jelas antara kritik dan hinaan atau mencela. Ia pula menegaskan jika ingin mengaplikasikan undang-undang tersebut, harus mampu membedakan kritik dan hinaan secara jelas.

"Kata kritik memiliki makna sebagai tanggapan yang disertai data-data penunjang sehingga tercipta situasi konstruktif. Namun, konteks penghinaan merupakan perkataan yang bersifat mencela orang lain sehingga menyebabkan kerugian," jelas Zenno.

Zenno pun memberikan contoh perbedaan kritik dan penghinaan seperti ketika seseorang mengatakan 'Presiden Berbohong', seseorang yang mengatakan hal tersebut harus mempunyai data-data yang valid.

Tetapi, hal yang disampaikan Zenno juga bertentangan dengan apa yang terjadi di lapangan, katakan saja kasus ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono yang menyampaikan kritik atas pengembangan obat COVID-19, yang tak lama setelah itu akun media sosial Pandu diretas. Adapula kasus yang dialami mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) serta narasumber dalam studi konstitusi terkait diskusi soal pemberhentian presiden.


Herlambang P Wiratman menjelaskan kejadian itu "Yang jadi tanda tanya, mulai dari panitia, penyelenggara diskusi bisa sampai berhenti dan dibubarkan dengan serangan-serangan digital." Belum selesai disitu, Herlambang menambahkan, "Bahkan mereka menerima teror dalam bentuk ada yang mengirimkan makanan melalui ojek online padahal tidak dipesan, didatangi orang-orang, digedor-gedor," ujan Herlambang.

Hal tersebut bukan hal yang mengejutkan bagi Herlambang, sebab kejadian yang serupa pun sudah sempat terjadi sebelumnya.

Ia menyinggung  penangkapan jurnalis sekaligus sutradara film dokumenter, Dandhy Laksono beberapa tahun lalu, lebih tepatnya pada hari Kamis (26/9/2019) malam.

Saat itu, Dandhy di periksa atas kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Ia di cecar setidaknya 14 pertanyaan terkait kicauan akun di salah satu media sosialnya terkait Papua dan Wamena pada 23 September 2019.

Pandangan YLBHI terhapat pasal Penghinaan Presiden dan DPR.

Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) , Asfinawati mengatakan bahwa pasal Penghinaan Presiden itu menunjukan bahwa Pemerintahan dan DPR saat ini antikritik dan hal itu tak sesuai dengan UUD 1945.

"Ini menunjukkan DPR dan Pemerintah antikritik dan tidak sesuai dengan UUD 1945. DPR adalah lembaga negara, maka artinya suara publik adalah kritik. Lembaga publik kalau ga boleh dikritik artinya bukan demokrasi lagi," ujarnya.

Asfinawati juga menilai pasal tersebut bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat warga negara dan ia berharap pasal tersebut di hapus. "Sangat bertentangan. Kita kan negara pihak Kovenan Hak Sipil Politik, terlebih amandemen Konstitusi sudah memasukkan HAM. Harus dihapus pasal-pasal penjajah begini," tegasnya.

Pasal ini akan menjadi ketakutan terutama pada akademisi, aktivis, serta jurnalis untuk menggunakan media sosial untuk menyampaikan berita, pandangan, atau riset yang bersinggungan dengan pemerintah, hal itu akan menjadi kemunduran dari segi demokrasi serta membatasi perkembangan ilmu pengetahuan.

Pada bulan Februari lalu, Presiden Joko Widodo meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah, hal tersebut membuat banyak pihak menjadi nyinyir dan heran. Bagaimana tidak, sebagian elemen masyarakat merasa bahwa permintaan itu ironis, mengingatkan kebebasan politik dan sipil menurun di era Jokowi. 

The Conversation Indonesia mencatat bahwa Jokowi sama sekali tidak menggubris kritik dari masyarakat terhadap dirinya. Jika ada respons pun biasanya berupa ancaman, intimidasi, dan penangkapan terhadap pengkritik. Banyak contohnya seperti Pelaksanaan Pilkada, Pengesahan UU Cipta Kerja, Kriminalisasi Aktivis, Penanganan Pandemi, Revisi UU KPK, dan masih banyak lagi.

Penggunaan media untuk mengkritik pemerintah sudah menjadi hal lazim terjadi, dan semestinya tidak ada masalah dengan itu. Namun dengan munculnya pasal ini pun melahirkan ketakukan yang nyata bagi masyarakat.

Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengatakan bahwa ketentuan yang ada pada pasal Penghinaan Presiden yang kembali muncul dalam RUU KUHP yang di sepakati bersama DPR memiliki potensi menjadi pasal subversif yang bisa membungkam sikap kritis masyarakat melalui media apapun.

"Apa kategori menghina presiden dan wakil presiden itu? kan tak jelas. Apa cover majalah Tempo yang terbaru itu penghinaan presiden? Ini kan repot jadinya." jelas Adi.

Menurutnya, banyak sekali daftar kekhawatiran masyarakat terkait dengan rencana dihidupkannya kembali pasal penghinaan Presiden. Pasal ini seperti karet yang bisa ditarik sesuai hati penguasa, dalam merespons berbagai kondisi politik, masyarakat akan takut bersuara di ruang publik karena pasal ini. Alih-alih semangat RUU KUHP ingin mengakhiri undang-undang warisan kolonial Belanda, yang terjadi justru akan kembali ke kolonialisme itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun