The Conversation Indonesia mencatat bahwa Jokowi sama sekali tidak menggubris kritik dari masyarakat terhadap dirinya. Jika ada respons pun biasanya berupa ancaman, intimidasi, dan penangkapan terhadap pengkritik. Banyak contohnya seperti Pelaksanaan Pilkada, Pengesahan UU Cipta Kerja, Kriminalisasi Aktivis, Penanganan Pandemi, Revisi UU KPK, dan masih banyak lagi.
Penggunaan media untuk mengkritik pemerintah sudah menjadi hal lazim terjadi, dan semestinya tidak ada masalah dengan itu. Namun dengan munculnya pasal ini pun melahirkan ketakukan yang nyata bagi masyarakat.
Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengatakan bahwa ketentuan yang ada pada pasal Penghinaan Presiden yang kembali muncul dalam RUU KUHP yang di sepakati bersama DPR memiliki potensi menjadi pasal subversif yang bisa membungkam sikap kritis masyarakat melalui media apapun.
"Apa kategori menghina presiden dan wakil presiden itu? kan tak jelas. Apa cover majalah Tempo yang terbaru itu penghinaan presiden? Ini kan repot jadinya." jelas Adi.
Menurutnya, banyak sekali daftar kekhawatiran masyarakat terkait dengan rencana dihidupkannya kembali pasal penghinaan Presiden. Pasal ini seperti karet yang bisa ditarik sesuai hati penguasa, dalam merespons berbagai kondisi politik, masyarakat akan takut bersuara di ruang publik karena pasal ini. Alih-alih semangat RUU KUHP ingin mengakhiri undang-undang warisan kolonial Belanda, yang terjadi justru akan kembali ke kolonialisme itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H