Mohon tunggu...
Ghanyy MuhammadNaafi
Ghanyy MuhammadNaafi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Mahasiswa Aktif

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebebasan Berekspresi di Media Sosial Makin Memburuk di Era Jokowi

22 Juni 2021   22:28 Diperbarui: 22 Juni 2021   23:00 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi, hal yang disampaikan Zenno juga bertentangan dengan apa yang terjadi di lapangan, katakan saja kasus ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono yang menyampaikan kritik atas pengembangan obat COVID-19, yang tak lama setelah itu akun media sosial Pandu diretas. Adapula kasus yang dialami mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) serta narasumber dalam studi konstitusi terkait diskusi soal pemberhentian presiden.


Herlambang P Wiratman menjelaskan kejadian itu "Yang jadi tanda tanya, mulai dari panitia, penyelenggara diskusi bisa sampai berhenti dan dibubarkan dengan serangan-serangan digital." Belum selesai disitu, Herlambang menambahkan, "Bahkan mereka menerima teror dalam bentuk ada yang mengirimkan makanan melalui ojek online padahal tidak dipesan, didatangi orang-orang, digedor-gedor," ujan Herlambang.

Hal tersebut bukan hal yang mengejutkan bagi Herlambang, sebab kejadian yang serupa pun sudah sempat terjadi sebelumnya.

Ia menyinggung  penangkapan jurnalis sekaligus sutradara film dokumenter, Dandhy Laksono beberapa tahun lalu, lebih tepatnya pada hari Kamis (26/9/2019) malam.

Saat itu, Dandhy di periksa atas kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Ia di cecar setidaknya 14 pertanyaan terkait kicauan akun di salah satu media sosialnya terkait Papua dan Wamena pada 23 September 2019.

Pandangan YLBHI terhapat pasal Penghinaan Presiden dan DPR.

Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) , Asfinawati mengatakan bahwa pasal Penghinaan Presiden itu menunjukan bahwa Pemerintahan dan DPR saat ini antikritik dan hal itu tak sesuai dengan UUD 1945.

"Ini menunjukkan DPR dan Pemerintah antikritik dan tidak sesuai dengan UUD 1945. DPR adalah lembaga negara, maka artinya suara publik adalah kritik. Lembaga publik kalau ga boleh dikritik artinya bukan demokrasi lagi," ujarnya.

Asfinawati juga menilai pasal tersebut bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat warga negara dan ia berharap pasal tersebut di hapus. "Sangat bertentangan. Kita kan negara pihak Kovenan Hak Sipil Politik, terlebih amandemen Konstitusi sudah memasukkan HAM. Harus dihapus pasal-pasal penjajah begini," tegasnya.

Pasal ini akan menjadi ketakutan terutama pada akademisi, aktivis, serta jurnalis untuk menggunakan media sosial untuk menyampaikan berita, pandangan, atau riset yang bersinggungan dengan pemerintah, hal itu akan menjadi kemunduran dari segi demokrasi serta membatasi perkembangan ilmu pengetahuan.

Pada bulan Februari lalu, Presiden Joko Widodo meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah, hal tersebut membuat banyak pihak menjadi nyinyir dan heran. Bagaimana tidak, sebagian elemen masyarakat merasa bahwa permintaan itu ironis, mengingatkan kebebasan politik dan sipil menurun di era Jokowi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun