politik. Tepatnya tahun 2024, pesta demokrasi akan meletus menarik perhatian masyarakat Indonesia menyuarakan pilihan pemimpin yang mereka impikan.Â
Kurang lebih lima semester, kita akan menginjak tahunSebelum mengklaim, patut kita bertanya: apakah masyarakat Indonesia betul-betul tertarik dengan pesta politik esok?
Nah, kiranya begitu subyektif untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, ada sebuah fakta sejarah bangsa ini, ketika kontestasi politik selalu ditandai dengan suka duka-ria, bahwasannya hiruk pikuk kampanye itu sebagai tanda kebebasan demokrasi betul-betul dirasakan.
Beberapa partai politik mulai melakukan pemanasan menjelang pesta demokrasi di tahun 2024 nanti.Â
Desas-desus koalisi mulai terdengar dari beberapa partai yang saling jamu-menjamu, tukar ide sampai gagasan, bahkan hasil riset guna mengetahui elektabilitas untuk penilaian sebelum tarung di medang kompetisi 2024.
Ritus tersebut dari waktu ke waktu akan terus berlangsung. Pada 27 Maret 1982, Tempo meliput hiruk pikuk masyarakat Indonesia atas kampanye Pemilu 1982 yang penuh dengan warna.Â
Periode itu masih di bawah naungan rezim orde baru. Namun ada sisi menarik tentang hiruk pikuk demokrasi sebagai kontemplasi kita semua.
Cuaca yang begitu terik, pada kampanye pertama para promotor partai mengelilingi jalan-jalan di Jakarta.Â
Tak hanya Jakarta, beberapa daerah pun dipenuhi oleh pelbagai warna ciri khas partai sebagai unjuk gigi keberadaan basis masa mereka. Keikutsertaan masyarakat Indonesia yang telah memiliki hak pilih, nampak dalam raut wajah mereka.
Berbicara mengenai politik, kita sering kali disuguhi oleh perilaku populisme berbasis rakyat agar menarik simpati.Â
Membagikan minyak murah kepada rakyat, menelusuri aliran sungai sekitar, atau bahkan memberikan sembako gratis untuk mendapatkan pamor dengan harap diterima didalam hati rakyat.
Beberapa tokoh seperti Rhoma Irama dengan partai ka'bahnya dan pelawak S.Bagyo dengan partai beringinnya, diutus menemani rakyat berkampanye sesuai dengan warnanya masing-masing.Â
Meskipun perihal pilih memilih itu rahasia, namun secara empirik kita dapat memetakan kemana arahnya utusan orang-orang itu.
Partai beringin mengundang artis-artis populer. Benyamin S, Camelia Malik, Elvi Sukaesi dkk, ikut serta di lapangan untuk menemani para simpatisan yang berjubel walau matahari sedang terik-teriknya membakar kulit indah mereka.Â
Orang-orang politik itu banyak akal guna menggaet masa lebih. Dengan mengundang tokoh-tokoh tersebut, Sekolah Menengah dan pegawai negeri diliburkan untuk ikut berjubel menghadiri kampanye politik.
Di tahun tersebut, peristiwa lapangan banteng kita teringat. Beberapa kelompok membawa bendera masing-masing.Â
Tembakan senjata peringatan hanya diketawai oleh para simpatisan, walaupun niat awal ABRI untuk menertibkan kerumunan. Mereka malah bersorak ria, menyampaikan narasi dukungan masing-masing.
"Kenek Sopir Pilih Beringin", "Pejah Gesang Madep Kiblat (Baca; Ka'bah)", "Umat Pilih Banteng". Narasi tersebut tersampaikan baik vokal maupun moral di beberapa tembok kosong Ibu Kota.Â
Biarpun Vandalisme, nampak begitu polos penuh harap dari raut wajah yang memperjuangkan demokari untuk kemakmuran rakyat.
Partisipasi Politik namanya. Rakyat berhak memalingkan pandangan ataupun mengepalkan tangan untuk memilih salah satu harapan juga impian pada salah satu partai ataupun membuat alternatif lain.Â
Buku Gubahan Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1994), berjudul "Partisipasi Politik di Negara Berkembang", mendedah lebih teoritis apa itu partisipasi politik.
Samuel dan Joan Nelson menggugah nalar kita untuk mengetahui motiv gerak-gerik masyarakat menanggapi realitas politik.Â
Buku tersebut menjelaskan hakikat partisipasi politik. Apakah benar yang dilakukan oleh Rhoma Irama Dkk, juga beberapa pelajar SMA itu sebagai partisipasi politik?
Partisipasi otonom dan Partisipasi yang Dimobilisir
Bagi Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam bukunya "Partisipasi Politik di Negara Berkembang", bahwasannya partisipasi politik itu kegiatan warga negara yang bisa mempengaruhi keputusan pemerintah.Â
Diksi itu, tak semudah yang kita bayangkan. Gerak-gerik sekilas yang kita amati sebagai partisipasi politik, bisa jadi segelintir cecunguk yang rela menjadi obyek tanpa betul-betul menggunakan nalar, pikir dan tujuannya untuk directly affect to goverment.
Bila kita melihat segerombolan masa yang berjubel di tahun 1982 itu, ada dua klasifikasi tentang karakter para partisan partai itu.Â
Partisipasi otonom dan partisipasi yang dimobilisir. Huntington dan Nelson, tak sepakat bila hanya sebatas nyoblos saja dikatan sebagai --partisipasi politik. Itu menjemukan!
Partisipasi politik itu bagi mereka dilakukan melalui beberapa aspek yaitu; melakukan gerakan masa, tergabung dalam organisasi, Demonstrasi, dan melakukan gerakan revolusioner.Â
Biarpun dilakukan melanggar norma yang sengaja dibuat atas imagined culture namun betul directly affect to goverment, bagi Huntington dan Nelson, itu lah partisipasi politik secara konkrit.
Masih membahas 15 Maret 1982. Dituliskan oleh Tempo, ada beberapa siswa yang ditanyai oleh mengapa rela menjadi promotor partai berlogo banteng itu. Jawabannya menarik, "Kami ingin menolong kontentas yang kecil, itu pahala".Â
Narasi tersebut disampaikan oleh Yusuf  pelajar kelas III SMP Muhammadiyah di Bandung yang mungkin saja sudah mememunhi kriteria pemilih.
Tokoh Yusuf kita bisa kaitakan seabagai partisipasi politik otonom. Dia memiliki sebuah orientasi secara jelas agar dapat membantuk partai berlogo banteng, yang tak sebesar partai beringin yang selalu mengalangi jalan banteng itu. Lalu bagaimana dengan para promotor lain?
Partisipasi yang dimobilisir terjadi bila saja, mereka bergerak dan rela berjubel hingga kerongkongan mereka kering karena dorongan oleh ward boss ataupun elite tertentu sehingga membutakan akal mereka mengapa perlu memihak.Â
Hematnya, untuk mengetahui klasifikasi antara yang otonom dan mobilisir, bisa dilihat melalui motiv tingkah laku mereka.
Bisa jadi, apa yang dilakukan oleh Rhoma Irama itu Motiv yang dimobilisir, apabila mereka rela berjubel disitu benar dengan hati nurani rela untuk berperan secara pure, mengesampingkan aspek materiil (baca; uang).Â
Dari catatan sejarah tersebut, kita dapat belajar, partisipasi politik tidak hanya dinilai melalui kehadiran seremonial kita dalam pemilihan politik, akan tetapi partisipasi itu harus dilakukan secara terstruktur, terukur bukan hanya sebatas "asal bapak senang".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H