Mohon tunggu...
M. Ghaniey Al Rasyid
M. Ghaniey Al Rasyid Mohon Tunggu... Freelancer - Pemuda yang mencoba untuk menggiati kepenulisan

Orang yang hebat yaitu orang yang mampu untuk mempertahankan prinsip mereka dari beberapa kontradiktif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pandemi dan Tekanan

7 Juli 2021   19:52 Diperbarui: 7 Juli 2021   19:58 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secangkir kopi menemani pagi lumayan dingin hingga memasuki sela-sela sarung yang dikenakan Albert. Agenda bersua di kampus terkendala setelah negara memberi regulasi untuk bisa menutup perkuliahan dikampusnya dengan alasan keselamatan. Hampir satu tahun Albert tak merasakan aroma debu kampus dan merasakan sakit perut ketika presentasi mata kuliah.

Kesehariannya dihabiskan menatap layar monitor sebagai pengganti perkuliahan langsung. Bergiga-giga kuota dipakainya agar tak merah raport perkuliahan di akhir semester. Sensasi menjadi mahasiswa tak pernah dirasakan Albert kembali, malah ia merasakan seperti pengangguran tak punya arah jalan.

Pukulan keras terlintas, ketika kondisi kampung di pagi hari begitu padat dengan karya dan kerja. Albert melihat dengan penuh renungan kepada dirinya sendiri, yang melakukan kesibukan hanya tugas kuliah secara daring. Bingung, bosan, gusar dan malu ketika tetangganya menanyainya. "Masih dirumah mas?" Senyum dan raut bibir nampak dimuka tetangga Albert, seketika membuat urat malunya naik dengan sendirinya.

Alasan karena pandemi dan hanya diam dirumah, dirasa Albert tak mau cari resiko. Mau bagaimana lagi, patuh kepada negara dirasa cukup untuk menekan angka lonjakan pandemi yang terus naik. Tetapi, sesekali melihat mukanya yang terus keriput pertanda tak akan selamanya Albert muda hidup didunia yang sementara ini.

Suara kicauan burung didepan rumah Albert meramaikan pagi yang cerah. Saling kicau antara burung satu dengan lainnya terdengar begitu damai pagi itu. Dilihat satu persatu kendaraan penuh manusia bersiap mengais rejeki, dengan mulut yang tertutup agar tak dipukul petugas pandemi. Albert hanya termenung menikmati secangkir kopi dan akan berdiri beberapa kali meregangkan bokongnya yang akan kram.

Semua manusia penuh harapan dengan bekal keahlihan berangkat di tempat-tempat untuk mengekspresikan keahlihannya itu. Keahliahan dirasa penting untuk bekal menantang kehidupan yang terus mengalami perubahan, seperti yang disampaikan Prie Gs, "Hidup ini keras, maka gebuklah!." Kata-kata itu mengelilingi pikiran Albert yang hanya berdiam diri di rumah, dengan menanti dosen memberi tugas berbuku-buku.

Kehidupan di kampus tak seberat dengan kehidupan sebenarnya ketika sudah merampungkan tetek bengek kehidupan di kampus. Ilmu yang didapatkan harus bisa dilaksanakan dengan kondisi hari ini. Jangan sampai mengampu lama di kampus berakhir tragis menjadi pengangguran. Kebimbangan Albert dari semester ke semester hanya berkutat seperti itu. Apakah bisa Albert seorang sarjana menanatang kehidupan di hari esok?

Albert, anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya sudah lama tak kembali ke rumah. Sudah lama tak berbincang langsung seperti waktu kecil yang tak punya beban pikiran. Makan dan minum sudah tersedia di meja makan. Semakin hari, naluri kedewasaan terbentuk memikirkan jenjang karir, pasangan dan target hidup yang harus dijalani.

Gerobak rongsok dilihatnya dengan poster presiden terlama di negernya itu dipampang disampaing kiri gerobak. "Piye kabare penak jamanku to?" seketika terbaca dan dirasa senyuman khas presiden itu. Pakaian compang-camping dan rambut gondrong mengais rongsok-rongsok yang bisa ditimbang dengan harap dapat ganti rupiah untuk sesuap nasi.

Salah satu, keunikan Albert yaitu segala pengamatan dalam penglihatannya selalu dipikiran dan dirasakan dalam dirinya. Seperti seseorang dengan intuisi filsafat untuk mencapai kebijaksanaan diri. Ia merasakan bagaimana hidupnya hari ini, lumayan cukup disyukuri dibanding pengais rongsok yang setiap hari harus mencium bau busuk sebagai untuk mencari sesuap nasi.

Apakah bersyukur saja sudah cukup? Bagaimana kalau dengan bersyukur malah menjerat kita pada zona nyaman? Selalu terlintas pada pikiran Albert untuk menggoyang kemapanan dan kenyamanan dalam pikir. Agar tuhan tak marah kepada Albert diberi akal untuk hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun