Siang itu sinar matahari sedang terik-teriknya. Hembusan angin sedikit panas dapat dirasa dengan begitu nikmatnya. Hujan, panas dan debu bercampur monoksida sudah menjadi makanan sehari-hari pengemudi ojek online. Disamping itu, deru mesin dan bau busuk sering tercium karena limbah pabrik.
Tak bisa berkata ataupun menuntut, pengaruh perusahaan lebih kuat dibandingkan buruh ojek yang tertatih-tatih menghadapi hidup. Kehidupan kota penuh dengan persaingan nampak begitu ramai sibuk dengan urusan masing-masing.
Jaket lusuh dengan warna yang mulai luntur selalu menemani mereka menerpa angin dan derik matahari yang tak pernah berdamai hingga membuat hitam dan muncul bercak putih pada leher dan timbul gatal disekelilingnya. Itu semua dilakoni untuk sesuap nasi dan masa depan anak-anak mereka.Â
Kemajuan teknologi memaksa kehidupan semakin mudah, tapi pernahkah merenung bagaimana teknologi itu kadang membuat manusia malas dan menderita? itu semua soal pilihan dan kebijaksanaan.
Tak pernah tampak bila teknologi dipandang sebelah mata membuat mudah segala urusan. tapi apakah pernah merenung? kemudahan itu bisa membuat gula darah semakin naik atau bahkan lipatan pada perut mulai menjulang?Â
Ya bisa jadi, Evolusi pada manusia akan tetap ada, bahkan sapiens tulisan Harari pun menggambarkan, ditemukan cocok tanam oleh sapiens berimbas pada pengaruh lain seperti; penyakit dan kekurangan gizi. Tak pernah terbayangkan.
Kesibukan nampak pada wajah pemilik warung menyiapkan sebungkus nasi pesanan. Muka merah dan tetasan keringat selalu diusapnya, beberapa kadang menetes pada bumbu masakan.Â
Kerja keras tak bisa dihindarkan atau memilih nganggur dan tercekik tagihan hidup yang pelik. Hari itu, warung lumayan ramai dibanding hari-hari sebelumnya. Nampak ceria dan sumringah para ojek online ketika denting pesanan memaksa mereka untuk bergegas.
Harapan dapat pesanan sebanyak-banyaknya agar bisa beli rokok dan kopi itu sudah cukup. Saut pemuda berkepala botak.Â
Tertawa tanpa beban dirasa menyinggung pengemudi lain yang memiliki beban keluarga, dan stamina untuk istri mereka. Remaja hingga tua berkumpul di basecamp mengharap banyak pesanan datang siang itu.
Aroma gulai dan bawang goreng membuat bersin pengemudi yang setia menunggu duduk di depan warung bertembok kayu itu. Beberapa mengumpat penuh bahagia dan tawa, karena hidung dari salah satu mereka merah tak kuat alergi bersin.Â
"Hey, Â aku antar dulu ke blok B." Wajah sumringah penuh semangat melambaikan tangan menjemput rejeki di tengah bersin kawannya yang tak berhenti. Di pojokan nampak murung dan kecut pak tua karena belum satupun pesanan ia dapatkan.Â
"Sudah 4 jam kagak nyantol-nyantol, gile bener." Senang dan bahagia sebuah emosi saling melengkapi di kehidupan ini. Ketika kita senang , kadang ada pula yang cemberut. Begitulah retoris hidup. Penuh dengan makna.
Pemuda berambut kusut, kulit agak kecoklatan mendekati pak tua karena prihatin kernyit dahinya menjadi-jadi. Pemuda itu mengajak berbincang walaupun Pak Tua masih nampak murung.
"Sudah berapa tahun pak ngojek?" dibukanya pembicaran, masih murung juga wajah pak tua itu. "Baru 2 bulan ini dik" celetuk pak tua dengan nada lumayan sengak.
Perawakan kurus, dan rambut yang dipenuhi uban ditambah aroma tubuh dipenuhi bau rokok kretek semakin dibuat penasaran pemuda itu. Secara kasat mata, usia yang tak lagi muda, Pak Tua masih juga semangat mengantam kehidupan yang kadang kejam.Â
Pemuda membuka pembicaraan dengan hati-hati, karena ia tahu, bila salah kata, bisa diludahi mukanya tanpa ampun. Mata yang menatap dan penuh belas kasih membujuk Pak Tua untuk berbincang-bincang.
Pemuda itu memulai pembicaraan menanyakan kenapa Pak Tua nampak murung. Alhasil pak tua mulai angkat bicara, karena aplikasinya belum satupun mendapat pesanan. Pemuda mencoba mencari tahu, kendala apa yang membuat apes Pak Tua. Usia seperti dia, dirasa tak pantas dihantam derik matahari dan debu jalanan yang bisa membuat masuk angin berhari-hari.
Teringat kenalan customer service kantor daerah kota, pemuda itu bergergas mengetik nomor telepon dan menanyakan masalah yang tengah diderita Pak Tua. "Halo, kak selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Suara gemulai menanyakan pemuda untuk bersuara maksud dirinya menelfon. Penuh sopan santun, pemuda menjelaskan permasalahan hingga membuat pesanan di gadget pak tua sepi nglangut.  "Mohon untuk ditunggu tiga puluh menit untuk proses perbaikan kak." Jawab Customer Service dengan penuh perhatian.
"Santai pak, kita tunggu tiga puluh menit lagi. Akun bapak sedang diperbaiki." Nampak riang dan penuh harap muka kriput pak tua. Tak segan-segan ia pun mulai kembali berbincang. Pemuda penasaran mengapa orang seperti Pak Tua, masih saja berani dan mau bergumul ditengah kota yang pelik dan bau itu. Perbincangan ngalor ngidul tak bisa dihindarkan. Begitulah basa-basi, setelah itu akan berbincang penuh makna. "Pak, mengapa Anda masih berani bekerja? Apakah tidak seharusnya dicukupi oleh anak-anak anda?"
Tanpa basa-basi lagi, pemuda menyulut pada perbincangan utama. "Tak tau nak, aku sendiri sudah sepuluh tahun tak pernah dikabari mereka. Padahal orang setua saya harusnya sudah nyaman." Nampak penuh harapan muka Pak Tua untuk bisa bertemu dengan anak-anaknya. Setelah itu, pak tua bercerita mengapa ia rela bergulat lagi untuk bekerja. Awalnya ia terlahir dari keluarga yang amat miskin. Kondisi sosial pada tahun 1965 membuat keluarga mereka dituduh sebagai penjahat negara dan dibuang disebuah pulau penuh penderitaan. Semakin menjadi hidupnya. "Nampak kejam nak, tapi mau bagaimana lagi."
Ayah pak tua dituduh karena sering mengikuti diskusi tentang pembangunan desa. Padahal tak pernah ia menjadi anggota terlarang pada waktu itu. Ayahnya sangatlah jujur dan bijaksana, tak ada satupun musuh dihadapannya. Semuanya teman dan saudara. Namun itu semua sirna ketika politik menghacurkannya. Darah dan air mata tak bisa lagi dibendung. Ayah pak tua tak tahu keberadaannya dan ia dipaksa hidup dengan ibunya yang menjanda dan setahun setelahnya mati di parit pojok desa.
Digelandang, dipukul dan diasingkan itu semua sudah dirasakan Pak Tua. Pernah terlintas untuk bunuh diri di jembatan desa, akan tetapi dihalau oleh wanita yang sekarang menjadi istrinya. Pemuda itu nampak melongo karena tak tahu sejarah. Yang ia tahu hanya artis Marvel dan kehidupan barat yang menohok.
Pak Tua dulunya adalah buruh pabrik dan mengabdi hampir tiga puluh tahun. Krisis ekonomi dan pandemi membuat ia dipecat. Tak ada jalan lain untuk tetap bekerja walaupun tulang-tulang kadang linu dan sering sekali balsem panas ditempelkan dikulit keriputnya.
Gonggongan anjing memekikan telingan mereka. Terlihat seekor anjing hitam sedang bergulat dengan kucing kampung yang kupingnya telah lama sobek. Di lemparnya sepatu pemuda agar tak mengganggu perbincangan mereka. Dilanjutnya perbincangan tentang kehidupan pak tua. Lamat-lamat pemuda itu mendengarkan dengan sangat baik. "Lantas, bagaimana bisa bapak hidup dengan tegar sampai hari ini?" tanya pemuda sembari memantau ponselnya yang ramai berumpuk pesan.
"Keberanian adalah poin utama. tanpa keberanian semua akan sirna dan hidup tak pernah terukir dan berwarna. Fase-fase tertekan sampai titik puncak itu hal yang wajar. Kamu butuh pendamping hidup untuk itu semua. Berat bila dipikul senidiri. Kamu Sudah punya pacar?" tanya Pak Tua dengan senyum genit. lamat-lamat pemuda berpikir. Tanpa istrinya, mungkin sudah mati pak tua itu. Renung pemuda. "Tidak pak, saya belum berani punya pacar." Nampak tertawa lugas wajah Pak Tua karena muka pemuda nyengir dan sedikit tersenyum.
Denting alarm pesanan muncul pada notifikasi ponsel Pak Tua. Nampak senang karena sudah menunggu lama tak dapat pesanan. "Akhirnya nak."Â
Sambil mengela napas pak tua tersenyum lebar dan bergegas bergegas ke warung. Pemuda juga ikut senang karena bisa berbincang panjang lebar dengan Pak Tua.Â
Sebelum bergegas, Pak Tua berpesan kepada pemuda. "Tetaplah hidup dan berjuang walaupun ingin mati. Tak ada jalan lain selain berjuang nak." Pemuda itu termenung dan merekam pesan pak tua sangat kuat di kepalanya, sambil meperbaiki celananya yang melorot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H