Mohon tunggu...
M. Ghaniey Al Rasyid
M. Ghaniey Al Rasyid Mohon Tunggu... Freelancer - Pemuda yang mencoba untuk menggiati kepenulisan

Orang yang hebat yaitu orang yang mampu untuk mempertahankan prinsip mereka dari beberapa kontradiktif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menghadapi Hidup Sepenuhnya

7 Juni 2021   23:59 Diperbarui: 8 Juni 2021   00:06 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: IDEApers.com

"Hey,  aku antar dulu ke blok B." Wajah sumringah penuh semangat melambaikan tangan menjemput rejeki di tengah bersin kawannya yang tak berhenti. Di pojokan nampak murung dan kecut pak tua karena belum satupun pesanan ia dapatkan. 

"Sudah 4 jam kagak nyantol-nyantol, gile bener." Senang dan bahagia sebuah emosi saling melengkapi di kehidupan ini. Ketika kita senang , kadang ada pula yang cemberut. Begitulah retoris hidup. Penuh dengan makna.

Pemuda berambut kusut, kulit agak kecoklatan mendekati pak tua karena prihatin kernyit dahinya menjadi-jadi. Pemuda itu mengajak berbincang walaupun Pak Tua masih nampak murung.

"Sudah berapa tahun pak ngojek?" dibukanya pembicaran, masih murung juga wajah pak tua itu. "Baru 2 bulan ini dik" celetuk pak tua dengan nada lumayan sengak.

Perawakan kurus, dan rambut yang dipenuhi uban ditambah aroma tubuh dipenuhi bau rokok kretek semakin dibuat penasaran pemuda itu. Secara kasat mata, usia yang tak lagi muda, Pak Tua masih juga semangat mengantam kehidupan yang kadang kejam. 

Pemuda membuka pembicaraan dengan hati-hati, karena ia tahu, bila salah kata, bisa diludahi mukanya tanpa ampun. Mata yang menatap dan penuh belas kasih membujuk Pak Tua untuk berbincang-bincang.

Pemuda itu memulai pembicaraan menanyakan kenapa Pak Tua nampak murung. Alhasil pak tua mulai angkat bicara, karena aplikasinya belum satupun mendapat pesanan. Pemuda mencoba mencari tahu, kendala apa yang membuat apes Pak Tua. Usia seperti dia, dirasa tak pantas dihantam derik matahari dan debu jalanan yang bisa membuat masuk angin berhari-hari.

Teringat kenalan customer service kantor daerah kota, pemuda itu bergergas mengetik nomor telepon dan menanyakan masalah yang tengah diderita Pak Tua. "Halo, kak selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Suara gemulai menanyakan pemuda untuk bersuara maksud dirinya menelfon. Penuh sopan santun, pemuda menjelaskan permasalahan hingga membuat pesanan di gadget pak tua sepi nglangut.  "Mohon untuk ditunggu tiga puluh menit untuk proses perbaikan kak." Jawab Customer Service dengan penuh perhatian.

"Santai pak, kita tunggu tiga puluh menit lagi. Akun bapak sedang diperbaiki." Nampak riang dan penuh harap muka kriput pak tua. Tak segan-segan ia pun mulai kembali berbincang. Pemuda penasaran mengapa orang seperti Pak Tua, masih saja berani dan mau bergumul ditengah kota yang pelik dan bau itu. Perbincangan ngalor ngidul tak bisa dihindarkan. Begitulah basa-basi, setelah itu akan berbincang penuh makna. "Pak, mengapa Anda masih berani bekerja? Apakah tidak seharusnya dicukupi oleh anak-anak anda?"

Tanpa basa-basi lagi, pemuda menyulut pada perbincangan utama. "Tak tau nak, aku sendiri sudah sepuluh tahun tak pernah dikabari mereka. Padahal orang setua saya harusnya sudah nyaman." Nampak penuh harapan muka Pak Tua untuk bisa bertemu dengan anak-anaknya. Setelah itu, pak tua bercerita mengapa ia rela bergulat lagi untuk bekerja. Awalnya ia terlahir dari keluarga yang amat miskin. Kondisi sosial pada tahun 1965 membuat keluarga mereka dituduh sebagai penjahat negara dan dibuang disebuah pulau penuh penderitaan. Semakin menjadi hidupnya. "Nampak kejam nak, tapi mau bagaimana lagi."

Ayah pak tua dituduh karena sering mengikuti diskusi tentang pembangunan desa. Padahal tak pernah ia menjadi anggota terlarang pada waktu itu. Ayahnya sangatlah jujur dan bijaksana, tak ada satupun musuh dihadapannya. Semuanya teman dan saudara. Namun itu semua sirna ketika politik menghacurkannya. Darah dan air mata tak bisa lagi dibendung. Ayah pak tua tak tahu keberadaannya dan ia dipaksa hidup dengan ibunya yang menjanda dan setahun setelahnya mati di parit pojok desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun