Ibadah puasa yang tengah dilaksanakan umat islam memiliki warna tersendiri. Puasa dilaksanakan umat islam hampir satu bulan itu, memberikan sukacita bagi umat islam dan dianggap sebagai hari-hari suci dan beberapa beranggapan sebagai ladang pahala luar biasa.
Beberapa ritus seperti; melaksanakan tadarus, berbagi takjil untuk masyarakat sampai apresiasi seni sahur yang sedikit mengundang pro-kontra. Membangun sahur dengan cara mengarak keliling kampung sering ditemui di pelosok sampai kota di Indonesia. Jarang dan malah tak mungkin ditemui dinegara lain.
Ada pula mengklaim bahwasannya kebiasaan membangunkan sahur adalah sebuah kebudayaan di Indonesia. Tetapi adapula menganggap hal tersebut terkesan --norak. Lalu, bagaimana menyikapi polemik tersebut?
Berbicara mengenai Indonesia berarti juga berbicara mengenai pancasila dan etika berkehidupan yang tidak hanya dilihat dari satu poros semata. Indonesia disinggahi multi kebudayaan dan pemahaman sehingga kita harus benar-benar paham akan sikap untuk dilaksanakan.
Indonesia tidak hanya disinggahi oleh orang Islam, Kristen atau bahkan Budha dan banyak kepercayaan lain. Akan tetapi mereka hidup dalam satu ruang. Kondisi seperti inilah memberikan gambaran dan kesadaran super ekstra agar terhindar dari percikan perpecahan antar golongan.
Baru-baru ini seorang artis memberikan kritik atas tingkah dari pemuda yang membangunkan sahur. Ia menganggap tingkah membangunkan sahur kurang begitu beretika dikarenakan mengganggu ketenangan beberapa masyarakat. Secara kasuistik memang akan relatif bila kita melihat dari beberapa sisi. Tapi?
Berbicara mengenai etika cukup menarik untuk kita ulas. Sebenarnya apa etika itu? Dan mengapa harus ada. Secara lebih simple, etika digunakan untuk bisa mengatur dan mengkonstruksi moralitas dari individu atau kelompok sesuai dengan kesepakatan.
Etika terus mengalami perubahan dengan berjalannya waktu. Kemajuan teknologi memberikan wacana dan cara pandang untuk terus berkembang sehingga manusia bisa menentukan keberpihakan ataupun gerakan yang sesuai dengan etika dan aturan moral berlaku di masyarakat.
Ditemukannya teknologi semakin mempermudah manusia mendekonstruksi terkait kesepakatan etika dari mulai individu sampai dengan kelompok. Atau bahkan mempertahankan status quo lama karena tetap relevan untuk diterapkan hari ini.
Kritik membangunkan sahur dengan cara keliling dan kadang mengekspresikan secara bebas, dikecam karena ada nilai baru yang disepakati untuk mengganti perilaku usang-sahur keliling. Ditemukan alarm digital, smartwatch kolaborasi dengan artificial intelegence beberapa contoh pendukungnya.
Apabila konteksnya di waktu ketika belum ditemukannya alat bantu seperti alarm. Membangunkan sahur secara keliling adalah perilaku yang wajar, mengingat kesibukan dan kebutuhan untuk bangun sahur sangatlah dibutuhkan. Lalu bagaimana kita menyikapinya?
Kesadaran diri untuk meretas kejumudan berfikir dan saklek harus ada di setiap insan modern hari ini. Dewasa dan berani berdialog sangat diharapkan untuk menciptkan etika moral sesuai dengan kondisi hari ini. Saklek merupakan penyakit berbahaya bagi manusia.
Euforia untuk meramaikan hari ramadhan tidak bisa dibendung, karena itu semua datang dari pribadi masing-masing. Yang menjadi perhatian lebih ketika euforia itu, sebenarnya meimiliki beberapa takaran untuk bisa diterima masyarakat. Ketika euforia ini tidak atau kurang bisa diilhami dengan bijak maka jelas akan menimbulkan gesekan.
Di samping itu, ada pula faktor estetika dalam seni untuk mempengaruhi seseorang unjuk bicara karena merasa terusik keberadaan segerombolan kaum dengan bereuforia untuk apresiasi music pada malam sahur. Kurangnya kreatifitas dan penyampaian nada atau kata yang kadang tidak sopan, adalah faktor penyebabnya.
Menghilangkan kebiasaan lama karena dianggap usang dan kurang relevan dapat diatasi dengan akulturasi peningkatan kualitas agar mudah diterima masyarakat. Kemasan dengan akulturasi dapat meminimalisir rasa muak karena kurang profesionalnya pelaku dalam mengemas seni.
Semua itu dalam kajian ilmu etika memiliki garis teori sebagai teori korelasi antara hak dan kewajiban individu atau kelompok yang hidup dalam satu lingkup sosial. Bagaimana sebenarnya teori korelasi ini bisa berperan untuk kehidupan kelompok. Teori korelasi banyak digunakan oleh kaum utilitarian.
Kaum utilitarian secara pengertian memandang hidup itu mengenai pengaruh baik dan buruk. Bila seseorang melakukan sebuah kebaikan maka akan mendapatkan beberapa keuntungan berupa jaringan progresif, kehidupan dengan motivasi baik, dlsbh. Begitu sebaliknya dengan pengaruh negatif.
Berjalannya waktu, tolak ukur atas ilmu dan seni semakin masif. Ekspektasi masyarakat juga mengalami variasi terus berbeda dan mengalami peningkatan. Maka, hubungan korelasi ini, akan berpengaruh antara hak dan kewajiban yang saling berkaitan.
Hak seseorang akan menagih kewajiban atas kelompok atau individu. Ketika penabuh genderang sahur atau orator masjid ketika membangun sahur menjalankan aksinya, maka reaksi mereka akan berakibat pada masyarakat yang mendegarkan ngiangan intonasi atau bahkan secara non-verbal bila dilihat dengan empiris. Hubungan kedua itu akan timbul kritik dan apresiasi sesuai dengan ekspektiasi yang telah ditangkap pendengar.
Filsuf Inggris John Stuart Mill (1806-1873) memberikan klasifikasi mengenai kewajiban antara lain; duties of perfect obligation, dan duties of imperfect obligation. Mill memberikan gambaran bagaimana kewajiban itu bisa berperan dan berguna antara dua sisi; individu dan kelompok. "Kewajiban sempurna" dan "kewajiban tidak sempurna" seperti itu harusnya terjalin hubungan antar individu atau kelompok.
Kewajiaban sempurnya lebih memiliki keterkaitan dengan hak orang lain dari setiap tingkah yang dilakukan oleh individu atau kelompok. Sedangkan untuk kewajiban tidak sempurna lebih menekankan kepada efek hanya kepada individu semata. Klasifikasi itu mampu memberikan timbulnya klausul antar individu atau kelompok untuk mengatur tingkah laku dan posisi seseorang pada lingkup sosial.
Kebiasaan untuk membangunkan sahur dengan keliling dan menggunakan mega speaker dengan niat untuk membangunkan sahur dikemas parodi jelas akan mengundang perdebatan serius. Kepentingan dan kebutuhan setiap individu tidak bisa digeneralisir sesuai apa yang ada di isi kepala komunikator. Harus ada kesadaran paling minimal.
Kepentingan setiap individu tidak hanya untuk melaksanakan sahur semata, ada beberapa yang mungkin sedang sibuk dengan urusan pekerjaan, atau bahkan mempunyai momongan, sangat rentan bila didengarkan suara bising  tidak teratur.Â
Harus ada kesepakatan bersama untuk merumuskan ulang mengenai etika dan moralitas. Jangan sampai hak dan kewajiban individu dan kelompok hilang, karena tidak adanya kesadara bersama untuk meretas problematika ini. Mereka punya hak untuk apresiasi seni pada waktu sahur, akan tetapi etika dan estetika juga harus diperhatikan. sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H