sudah 2 bulan ini, negeri kita tercinta terdampak virus Covid-19 dimulai dari kasu guru dansa yang berasal dari Jepang yang datang ke Indonesia. Beberapa reaksi dari kepala daerah hingga memberikan kebijakan tertentu untuk bisa meminimalisir dampak dari virus Covid-19.Â
Ada yang menarik untuk diperbincangkan ketika eksistensi pemerintah dan peranan tenaga kesehatan bekerja sesuai dengan porsi mereka untuk bisa berkontribsui dalam mengatasi pandemi tersebut. Akan tetapi menarik untuk kita renungkan ketika masyarakat mempunyai sikap yang lumayan mencengangkan. Lantas Apa yang salah dengan masyarakat?
Peranan para ahli dalam memberikan masukan atas suatu permasalahan sangat patut untuk kita dengarkan, renungkan dan dilakukan. Pasalnya merekalah yang mempunyai basic ataupun kemampuan dalam mengamati realitas sosial yang didasarkan pada  pengalaman, baik berupa  pendidikan dan riset.Â
Beberapa bentuk rekomendasi yang didasarakn pada sebuah riset, yang dimana jauh lebih mutakhir untuk bisa diimplementasikan dalam kehidupan, kadang-kadang hal tersebut hangus sia-sia, dikarenakan oleh rasa egoisme yang saklek  mematahkan segala bentuk masukan yang dilontarkan oleh para ahli.
Pemikiran egosentrisme yang menjalar dibeberapa penjuru Indonesia, menambah rumit dan membuat geram kepada dokter ataupun pemerintah yang bersih keras untuk meminimalisir pandemi tersebut. Pemikitan egosentrisme dimana dibuktikan dengan fokus masyarakat lebih percaya terhadapa beberapa tokoh agama dibandingka dengan peranan para ahli, membuat kebijakan tersebut hanyalah sebuah narasi iklan yang tidak pernah diresapi dan difikirakan secara matang.Â
Tokoh agama merupakan peran strategis untuk bisa mempengaruhi masyarakat. Pasalnya Agama adalah kunci dari sifat bangsa Indonesia, otomatis tokoh agama menjadi orator ulung yang akan didengarkan oleh masyarakat karena kepiawaiannya dalam berkata dan memberikan rekomendasi hidup yang dapat membuat masyarakat menjadi adem ayem. peranan tersebutlah yang menjadi tesis bahwa peranan tokoh agama lebih banyak didengarkan dibandingkan dengan peranan pemerintah.
Peranan tokoh agama ataupun petinggi kepercayaan apapun akan berdampak lebih buruk apabila sikap mereka kontradiktif dengan beberapa rekomendasi yang disampaikan oleh para pakar kesehatan, yang jelas-jelas sesuai dengan bidang mereka. Hal tersebut menjadi sebuah paradoks kebijakan ketika tokoh agama tidak sejalan dengan peranan pemerintah.Â
Beberapa dalil dan doktrin terhadap kausalitas religi yang berdampak pada dunia yang hanya sementara, menimbulkan suatu stigma menyepelekan terhadap pandemi tersebut. seolah-olah pandemi tersebut hanya diperuntukan oleh orang-orang yang tidak sepemahaman dengan diri mereka, alias azab bagi orang yang tidak beriman -sungguh tragis.Â
Contoh beberapa saat terjadi kericuhan ketika ada beberapa segelintir orang yang memberikan kritik untuk berjalannya sholat tarawih, yang berujung kepada perusakan dan kekerasan dan malah terkesan tidak mencerminkan orang yang  beragama. Beberapa tangkisan untuk bersih kukuh dalam melakasanakan kultus tersebut oleh beberapa tokoh agama, menambah pekik dan ruwet bagi pemerintah untuk memberikan sebuah rekomendasi penyelamatan rakyat.Â
Masyarakat lebih menyukai beberapa narasi yang berbau dengan mistisme dan lebih kepada kepercayaan tertentu dibandingkan oleh rekomendasi para dokter. Isu-isu seperti akhir zaman akan datang banyak sekali fitnah dan banyak sekali cobaan untuk bisa bertahan dalam melaksanakan ibadah menjadi target kunci doktrin yang membabi buta perjuangan tenaga medis dan pemerintah. Bagaimana dengan Vietnam dan China? Bisa anda kontemplasikan dalam diri anda masing-masing.Â
Menakar Peranan Strategis
Menukilkan dari pemahaman salah satu tokoh yang fenomenal bernama Yuval Noah Harari, sebagai penulis buku Home Deus dan Homo Sapiens, memberikan beberap statement yang menarik untuk kita kontemplasikan dalam kehidupan saat terjadi pandemi.Â
Menurut Yuval ada 3 peranan strategis dalam menciptakan suatu pondasi dalam menghadapi pandemi covid-19 yaitu; peranan tokoh agama, peranan pemerintah dan peranan intelktual. Ketiga peranan tersebut sebgai sebauh garda terdepan untuk bisa memberika sebuah masukan strategis yang salin berdampingan dan sejalan.Â
Peranan agama yang dimana sebagai subjek yang lebih banyak dianut dan dilaksanakan oleh masyarakat dibandingkan dengan peranan pemerintah menjadi sebuah kunci utama dalam menghegemoni masyarakat agar sejalan dengan peranan intelektual dan pemerintah. Pasalanya peranan agama ini mempunyai sensasi unik tersendiri bagi masyarakat. Seharusnya peranan agamawan mempunyai impact yang selaras dengan dengan rekomendasi oleh pemerintah dan kaum intelektual.Â
kaum intelektual yang mempunyai kemampuan untuk mengamati realitas kehidupan harus memberikan sebuah rekomendasi yang taktis untuk bisa mengatasi sebuah pandemi tersebut. Perananan intelektual memberikan masukan kepada pemerintah dan beberapa tokoh agama untuk bisa didiskusikan dan di share kepada masyarakat.Â
Apabila ketiga aspek strategis tersebut bisa berjalan dengan selaras, maka minim sekali timbul suatu diskomunikasi yang menyebabkan perbedaan pandangan terhadap beberapa msisi bersama untuk mengatasi pandemi covid-19. Dengan sinkronnya pandangan antara pemerintah, agamawan dan intelektual, maka menciptakan suatu keselarasan dalam menimbang dan menciptakan suatu regulasi yang taktis yang diharapkan mampu mengantarkan masyarakat kepada posisi yang menguntungkan.Â
Peranan ketiga kelompok tersebut juga memberikan potensi untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Pasalnya peranan media dan pengetahuan yang dapat diakses dengan masyarakat kadang menimbulkan beberapa misprespective yang mengantrakan mereka kepada kekolotan untuk bisa mematuhi regulasi yang telah dibentuk.Â
Dampak dari pandemi tersebut menciptakan suatu dampak yang luas seperti pada sektor; politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Beberapa pengamat sosial yang sering mengikuti pemberitaan ataupun beberapa artikel terkait dengan pandemi tersebut sering membawa beberapa pemberitaan yang sarat dengan conspirative prespective.
Conspirative prespective atau pemahaman konspirasi, memang sering membuat geram para pakar dan beberapa masyarakat yang melek dan sering mengikuti pemberitaan. Pasalnya dampak dari pemahaman konspirasi ini seakan-akan merupakan bukti data yang dapat digeneralisasi dan kronisnya dikutip dan disebarakan sebagai pemberitaan yang wajib untuk disampaikan sebagai kebenaran.Â
Miris sekali ketika orang yang tidak pada bidangnya memberikan penetrasi pemahaman tidak berdasarkan  tupoksi yang sesuai dengan bidang mereka. Lantas hal tersebut menciptakan suatu kecemasan dalam masyarakat yang menganggap bahwa pemberitaan tersebut adalah fakta total benar.Â
pemahaman konspirasi sendiri secara gamblang merupakan sebuah asumsi yang dimana belum bisa dibuktikan dan digeneralisasi secara total, pasalnya hal tersebut masih berbentuk rekaan dan asumsi. Parahnya lagi membius masyarakat dengan keterkaitan elite global dan tetek bengeknya yang menambah masyarakat menjadi bingung dan takut yang malah dapat menimbulkan rasa takut yang bisa berdampak kepada kesehatan mereka.Â
Peranan intelektual disini harus bisa lebih beringas untuk bisa memangkas dan mematahkan beberapa statement yang berbau konspirasi nan berdampak bagi kewarasan masyarakat. Intelektual yang mujur dengan mempunyai data dan wawasan yang sesuai dibidangnya diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat agar jernih dalam berfikir dan bijaksana dalam mengatasi gejala sosial saat ini.Â
Dan lebih taktisnya masyarakat harus bisa lebih cerdas dalam memilih konsumsi pemberitaan dan lebih mengutamakan untuk berkomunikasi dengan ahli kesehatan untuk permasalahan kesehatan dibandingkan dengan pemain musik ataupun orator agamawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H