Mohon tunggu...
Ghania Zhafira
Ghania Zhafira Mohon Tunggu... Lainnya - XI MIPA 4 (14)

SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Cerpen: The God of Love

23 November 2020   16:00 Diperbarui: 23 November 2020   19:12 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.wallpapers.99px.ru

“Buatlah gadis itu jatuh cinta dengan makhluk paling jelek di dunia ini!”

Teriakan yang menggelegar tersebut memenuhi seisi Olympus. Aphrodite, yang dikenal pula sebagai Dewi Kecantikan, tersenyum puas setelah mengeluarkan ultimatum tersebut. Pikirannya bergejolak senang membayangkan gadis bernama Psyche itu akan menderita selama sisa hidupnya dengan seorang pasangan yang tidak diinginkan siapapun.

“Apapun untukmu, Ibu.” Sang dewa cinta yang selalu setia membawa panah dan busurnya itu mengangguk patuh. Dewa yang dikenal dengan nama Eros tersebut langsung membentangkan sayap lebarnya menuju langit malam bumi untuk memenuhi perintah sang Ibu yang amat disayanginya.

Ah, Psyche… memang secantik apa manusia itu sampai dianggap berhasil mengalahkan sang Dewi Kecantikan sendiri? Bagi Eros, tidak ada yang lebih cantik di dunia ini selain ibunya. Hanya dengan menancapkan satu panah cinta miliknya, maka Eros pastikan gadis kurang ajar itu akan tergila-gila dengan makhluk paling buruk di dunia ini.

Eros mendaratkan tubuhnya saat dia melihat seekor kambing dengan bekas luka di wajahnya tengah memakan rumput, sebelum kemudian memutuskan bahwa kambing itu adalah objek yang tepat untuk rencananya. Dewa cinta itu melangkah menuju kediaman rumah keluarga Psyche. Sayapnya masih terbentang lebar, namun apa pedulinya. Tidak ada mata manusia biasa yang dapat melihatnya.

Ketika hendak melompati pagar yang terletak di depan kamar Psyche, Eros tersentak karena badannya tiba-tiba saja ditarik dengan sebuah tali besar yang nyaris merobek sayapnya.  Itu adalah sebuah jebakan. Tali tersebut mengikat badannya dan mengakibatkan panahnya terjatuh ke tanah, sementara kambing yang dia bawa berhasil kabur entah kemana.

“Ibuku sebenarnya tidak percaya hantu.” Suara halus seorang perempuan membuatnya menoleh. “Tapi ketika aku bilang bahwa aku bisa melihatnya, dia mulai merasa aneh dan berakhir memasang pelindung sakral di rumah kami. Makhluk apapun itu–hantu, iblis, malaikat–tidak bisa lolos dari pelindung ini. Iya, tali yang mengikatmu itu pelindungnya.”

Eros menyadari bahwa perempuan yang berbicara di hadapannya ini adalah Psyche, sesuai dengan deskripsi ciri-ciri yang didengarnya. Nyatanya, memang ada alasan mengapa ibunya merasa begitu terancam dengan kehadiran Psyche.

Psyche terlalu cantik sampai Eros merasa matanya akan buta karena hal itu. Seluruh fitur wajahnya sempurna, kulitnya terlihat bening seperti porselen, dan rambut panjang emas miliknya yang bergelombang berkibar terbawa angin. Eros merasa dia baru saja melihat sebuah karya seni yang begitu indah di hadapannya.

Psyche tengah duduk di atas jendela sembari memandang Eros dengan matanya yang sebiru samudra. “Aku pernah melihat semua jenis dari ‘mereka’, ada malaikat bersayap putih yang cantik, iblis dengan api di mata mereka, atau para roh tidak tenang yang berkeliaran di rumah ini. Tapi aku baru pertama kali melihatmu. Kamu punya sayap, tapi tidak terlihat seperti seorang malaikat.”

Eros menelan ludah, terpana dengan kecantikan wajah Psyche. “Kamu tidak mungkin pernah melihatku.”

“Memang tidak pernah,” jawab Psyche. “Makanya kubilang pertama kali. Omong-omong, memang nyaman diikat seperti itu? Kalau aku sepertinya sudah menangis.” Perkataan itu membuat Eros sadar kembali akan kondisinya.

“Aku bisa membebaskanmu,” sahut Psyche. “Tapi aku tidak percaya padamu. Pertama, aku tidak tahu kamu siapa dan makhluk apa. Kedua, tidak ada makhluk normal yang diam-diam datang ke rumah seseorang dengan membawa panah dan eh… seekor kambing?”

“Aku tidak punya tujuan jahat.”

“Seorang iblis pernah mengatakan hal yang sama padaku sebelum dia membakar gudang rumah kami.”

“Tapi aku bukan iblis,” kilah Eros. Otaknya berputar untuk mencari kebohongan yang tepat. “Dengar, aku memiliki tugas mulia yang dikirimkan oleh dewa terkuat, Zeus. Kamu tidak akan mau berurusan dengannya kalau menghalangiku.”

Eros menunjukkan sebuah petir kebiruan di tangannya, yang tentunya merupakan hasil curian dari ruang kerja Zeus yang sering dia masuki diam-diam. Ia tidak menyangka bahwa perbuatan nakalnya akan amat menguntungkan di situasi ini.

Psyche mengangkat sebelah alisnya sebelum akhirnya memencet sebuah tombol di dinding dekatnya. Saat itu juga, tali yang mengukung Eros langsung menghilang dan laki-laki itu pun terjatuh, mengakibatkan ringisan kecil keluar dari mulutnya.

“Jadi? Apa tugasmu?” tanya Psyche.

“Itu rahasia, manusia biasa tak berhak tahu.”

“Aku bukan manusia biasa, aku bisa melihat makhluk halus sepertimu dan aku sudah membebaskanmu. Di dunia ini ada yang namanya hutang budi.”

Eros menghela napas. Awalnya dia berpikir Psyche hanyalah seorang gadis bangsawan biasa yang kebetulan memiliki wajah sempurna. Namun harusnya dia tahu, dari saat di mana Psyche berkata bahwa dia bisa melihat makhluk tak kasat mata, gadis ini jelas berbeda dari pikiran awalnya.

◦◦◦◦◦

“Bukan begitu, tanganmu seharusnya lebih terangkat lagi.”

Psyche mengangkat tangan kanannya lebih tinggi, sesuai dengan instruksi yang diberikan Eros. Setelah merasa posisinya sudah siap, gadis itu melepaskan panah yang sudah dia tahan sedari tadi.

“Tepat sasaran!” Psyche hampir menjerit saking senangnya. “Lihat, aku hanya belajar selama seminggu dan sudah sepandai ini. Kamu harus memujiku.”

“Bukan, itu karena kamu memiliki guru sehebat diriku,” sahut Eros sambil tertawa. “Aneh juga ya, padahal pertemuan awal kita kurang bagus. Tapi tiba-tiba saja sekarang aku sudah mengajarimu cara menggunakan panah dan kita jadi sering bertemu setiap malam hari. Ternyata dunia bisa selucu itu.”

Psyche meletakkan busur yang dia pegang dan duduk di sebelah Eros. Matanya melihat ke arah langit malam yang dipenuhi gemerlap bintang. “Tapi setiap malam tiba, aku jadi merasa cemas sendiri. Kalau ternyata ibuku tahu aku diam-diam selalu keluar rumah di atas jam 12 malam, pasti dia sudah mengurungku di ruang bawah tanah sekarang.”

“Kenapa orangtuamu sangat mengekang dirimu seperti itu?”

“Karena aku cantik.” Psyche mendelik saat Eros melihat aneh ke arahnya. “Jangan melihatku begitu. Aku sadar diri bahwa aku cantik, bahkan ada sekumpulan manusia yang membuat kuil atas nama diriku. Kadang aku takut Dewi Kecantikan akan marah padaku karena dianggap sudah merebut posisinya.”

Memang dia sudah marah padamu, batin Eros dalam hati.

“Karena aku cantik, maka orangtuaku sangat menjagaku. Tidak boleh ada sembarang orang yang melihat rupaku, saat menikah nanti aku hanya bisa bersama pilihan orangtuaku. Bisa dikatakan, kecantikanku adalah hal yang mengangkat derajat mereka hingga seperti sekarang,” jelas Psyche.

Eros mengangguk mengerti. “Kadang, kecantikan itu memang tidak selamanya menjamin kebahagiaan.”

Psyche mengangguk setuju. “Omong-omong, aku penasaran. Awalnya kamu pernah bilang kalau kamu datang ke bumi untuk melaksanakan tugas Zeus, apa kamu sudah menyelesaikannya?”

“Ah, itu.” Eros sedikit bingung untuk menjawabnya. “Yah, sudah hampir selesai, kurasa.”

“Baguslah.”

Pikiran Eros kembali melayang ke pertemuan pertama mereka. Pada akhirnya, dia tidak sanggup memanah Psyche tanpa alasan. Baginya, Psyche terlihat seperti gadis malang yang tidak pernah memiliki kebebasan dalam hidupnya. Maka saat kembali ke Olympus, Eros berbohong pada Aphrodite dengan mengatakan bahwa panahnya rusak saat tengah terbang, yang untungnya berhasil.

“Bicara tentang Zeus, aku jadi penasaran bagaimana rasanya menjadi seorang dewa,” sahut Psyche tiba-tiba. “Pasti asyik. Bisa memiliki kekuatan luar biasa, memiliki kuil, orang-orang yang mencintaimu…”

Eros merasa tertarik dengan hal itu. “Oh, ya? Kalau bisa menjadi dewa, kamu mau menjadi dewa apa?”

“Dewa cinta, tentu saja.” Psyche menjawab tanpa ragu, tidak menyadari raut terkejut Eros. “Pasti menyenangkan rasanya bisa melihat 2 orang yang saling jatuh cinta, seakan-akan kamu ikut berperan dalam kisah mereka. Atau melihat keluarga yang saling menyayangi tanpa syarat, aku ingin bisa melihat seluruh cinta itu sepanjang hidupku.”

“Hanya karena itu?” Psyche menoleh bingung ke arah Eros karena ucapannya. “Asal kamu tahu, dewa cinta memiliki 2 panah, panah cinta dan panah benci. Bukan hanya membuat orang-orang saling mencintai, kamu juga bisa membuat mereka saling membenci.”

“Justru bagus kalau seperti itu,” jawab Psyche bersemangat. “Kalau aku punya panah benci, akan kubakar atau kurusak panah itu, tidak akan pernah kugunakan. Aku hanya akan menggunakan panah cintaku saja, dengan begitu tidak akan ada perang, perkelahian, pembunuhan, dan segala perbuatan jahat lainnya. Dunia ini akan penuh dengan cinta dan perdamaian.”

Hening sejenak, sebelum Eros tiba-tiba saja tertawa keras. “Sayangnya, dunia ini tidak senaif pikiranmu.”

Saat Psyche hendak protes, Eros langsung berdiri sembari mengambil busurnya. Dia mengacak-acak rambut Psyche dan tersenyum tipis. “Suatu hari nanti, kamu akan mengerti. Kita tidak akan bertemu dulu untuk beberapa saat karena aku harus fokus menyelesaikan tugasku. Setelah selesai, kupastikan aku akan datang untuk menjemputmu.”

Itu adalah perkataan terakhir Eros, sebelum pandangan Psyche menjadi gelap. Dan saat gadis itu terbangun di pagi harinya, dia sudah berada di kamarnya seakan tak terjadi apa-apa sebelumnya.

◦◦◦◦◦

“Jangan menimbulkan suara saat menggunakan peralatan makan, angkat dagumu setiap kali berbicara, duduk dan jalan dengan anggun, jangan permalukan Ibu.”

Psyche hanya menganggukkan kepala asal tanpa peduli saat mendengar petuah ibunya. Tepat hari ini, seorang bangsawan terpandang yang entah siapa namanya melamar dirinya, dan mereka akan melangsungkan pertemuan keluarga di taman depan rumahnya. Psyche tidak pernah mengenal orang tersebut, tapi berdasarkan desas-desus pelayan di rumahnya, orang yang melamarnya itu sudah berumur kepala empat dan memiliki 2 istri lainnya.

Yah, tapi bukankah bagi orangtuanya, yang penting adalah seberapa banyak harta dan seberapa terpandang statusnya?

“Setelah bertahun-tahun hanya terkurung di dalam rumah, kamu harusnya bersyukur akhirnya menikahi seorang grand duke. Di mana senyummu, Psyche?” Ibunya mengangkat dagu Psyche untuk melihat raut wajah gadis itu. Dengan terpaksa, Psyche menarik kedua ujung bibirnya tanpa minat.

“Jangan bersikap seperti ini di pertemuan nanti. Kamu harus bersikap manis agar calon suamimu tidak membatalkan lamarannya. Tidak ada laki-laki yang ingin menikahi perempuan pembangkang.”

Aku juga tidak mau menikahi orang itu, batin Psyche kesal.

Ibunya akhirnya pergi keluar dari kamar Psyche dan mengunci pintunya. Psyche bertopang dagu di depan jendela kamarnya yang besar. Matanya menerawang pada pertemuan terakhirnya dengan Eros. 

Sudah sebulan lamanya, Psyche benar-benar tidak pernah bertemu lagi dengan Eros dan tidak ada kabar apapun darinya. Kalau boleh jujur, Psyche merasa amat kesepian karena Eros adalah satu-satunya teman yang dia miliki sejak lahir, mengingat orangtuanya tidak pernah membiarkannya keluar dari rumah barang selangkah pun.

Mata Psyche mengedip saat dia melihat sesuatu di antara bayangan matahari. Sebuah bayangan besar yang terbang, dan entah kenapa bergerak mendekat ke arahnya. Psyche refleks mundur beberapa langkah. Tak lama, bayangan itu sudah berdiri di depan jendelanya.

PRANGG!!

Psyche hampir menjerit ketika jendela kamarnya itu hancur berkeping-keping hanya dengan sebuah kepalan tangan. Bayangan seorang manusia dengan sayap itu kini berjalan ke arahnya, dan hanya dengan postur tubuhnya, Psyche dapat langsung mengenali orang tersebut.

“Eros …?”

“Iya, ini aku.” Eros mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Sudah lama sekali, ya?”

“Apa? Bagaimana… Ke mana saja kamu selama ini?”

Eros tertawa kecil. “Maaf, ternyata butuh waktu cukup lama untuk menjalankan semua tugas dari ibuku agar aku bisa meyakinkannya untuk menikahimu. Mungkin dia masih kurang setuju sampai sekarang … tapi dia harus memenuhi janjinya. Psyche, sebelum terlambat, katakan padaku, apakah kamu mau pergi bersama denganku?”

Psyche menggeleng tidak mengerti. “Tidak, tunggu. Aku tidak mengerti apa maksudmu.”

“Kamu bilang, kamu ingin mengubah dunia ini menjadi penuh cinta dan perdamaian, bukan? Aku bisa membantumu untuk mewujudkannya. Bukankah sedari awal kamu sudah tahu, bahwa aku adalah dewa cinta dan bukan hanya sekedar antek-antek Zeus? Kamu hanya berpura-pura tidak tahu. Maka dari itu, pergilah bersamaku, kita akan hidup bersama dan mewujudkan impian mulia kita.”

Gadis itu menatap Eros dengan kaget. Tentu saja Psyche tahu, semua terlalu jelas. Sayap dan panah, dua hal yang amat menggambarkan sosok dewa cinta dalam sejarah. “Tidak bisa, kamu lihat setelah ini aku akan menikah dengan orang lain. Kalau kamu datang lebih cepat beberapa hari, mungkin masih bisa–“

“Siapa peduli? Aku adalah seorang dewa, Psyche. Bila kamu ikut denganku, kamu akan menjadi salah satunya. Kamu akan bebas.”

Bebas. Kata yang sedari dulu selalu Psyche lafalkan dalam bibirnya dan ia mimpikan dalam tidurnya, namun tak pernah berhasil ia wujudkan dalam hidupnya.

“Psyche! Ada apa?! Kenapa Ibu mendengar suara pecahan kaca?!” Teriakan ibunya di luar pintu menyadarkan Psyche. Orangtuanya tidak pernah peduli dengan kebahagaiaannya dan bahkan mengurungnya untuk kepentingan derajat mereka. Maka ketika dia menerima tawaran agar bisa hidup bebas, mampukah Psyche menolak? Sekarang atau tidak sama sekali.

Tanpa berpikir dua kali, Psyche menyambut uluran tangan Eros, membuat dewa cinta itu tersenyum senang. Tubuh mereka berdua perlahan menghilang di balik sayap putih Eros, beriringan dengan sinar matahari yang menyilaukan mata, ketika Ibu Psyche membuka kunci pintu kamar anaknya dan hanya menemukan kekosongan di dalamnya.

Kamu bisa bebas, Psyche. Bersamaku. Kita wujudkan dunia yang penuh cinta dan perdamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun