“Bukan begitu, tanganmu seharusnya lebih terangkat lagi.”
Psyche mengangkat tangan kanannya lebih tinggi, sesuai dengan instruksi yang diberikan Eros. Setelah merasa posisinya sudah siap, gadis itu melepaskan panah yang sudah dia tahan sedari tadi.
“Tepat sasaran!” Psyche hampir menjerit saking senangnya. “Lihat, aku hanya belajar selama seminggu dan sudah sepandai ini. Kamu harus memujiku.”
“Bukan, itu karena kamu memiliki guru sehebat diriku,” sahut Eros sambil tertawa. “Aneh juga ya, padahal pertemuan awal kita kurang bagus. Tapi tiba-tiba saja sekarang aku sudah mengajarimu cara menggunakan panah dan kita jadi sering bertemu setiap malam hari. Ternyata dunia bisa selucu itu.”
Psyche meletakkan busur yang dia pegang dan duduk di sebelah Eros. Matanya melihat ke arah langit malam yang dipenuhi gemerlap bintang. “Tapi setiap malam tiba, aku jadi merasa cemas sendiri. Kalau ternyata ibuku tahu aku diam-diam selalu keluar rumah di atas jam 12 malam, pasti dia sudah mengurungku di ruang bawah tanah sekarang.”
“Kenapa orangtuamu sangat mengekang dirimu seperti itu?”
“Karena aku cantik.” Psyche mendelik saat Eros melihat aneh ke arahnya. “Jangan melihatku begitu. Aku sadar diri bahwa aku cantik, bahkan ada sekumpulan manusia yang membuat kuil atas nama diriku. Kadang aku takut Dewi Kecantikan akan marah padaku karena dianggap sudah merebut posisinya.”
Memang dia sudah marah padamu, batin Eros dalam hati.
“Karena aku cantik, maka orangtuaku sangat menjagaku. Tidak boleh ada sembarang orang yang melihat rupaku, saat menikah nanti aku hanya bisa bersama pilihan orangtuaku. Bisa dikatakan, kecantikanku adalah hal yang mengangkat derajat mereka hingga seperti sekarang,” jelas Psyche.
Eros mengangguk mengerti. “Kadang, kecantikan itu memang tidak selamanya menjamin kebahagiaan.”
Psyche mengangguk setuju. “Omong-omong, aku penasaran. Awalnya kamu pernah bilang kalau kamu datang ke bumi untuk melaksanakan tugas Zeus, apa kamu sudah menyelesaikannya?”