Mohon tunggu...
Ghaisani
Ghaisani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka kucing

Selanjutnya

Tutup

Politik

Etika dan Transparansi: Fondasi Utama Kebijakan Publik yang Bernilai Tinggi

13 Desember 2024   15:42 Diperbarui: 13 Desember 2024   15:42 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukti dari beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat tingkat ketidakpuasan terhadap kualitas pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawab pelayanan publik, terutama yang berkaitan dengan prinsip tata kelola pemerintah yang baik (principle good governance). Dalam banyak kasus, kualitas pelayanan yang di bawah standar teridentifikasi menjadi faktor terhadap kasus-kasus yang dikategorikan sebagai maladministrasi. (Basri, 2012). Lantas, mengapa etika dan transparansi begitu penting dalam pemerintahan?

MEMAHAMI ETIKA DAN TRANSPARANSI

Secara bahasa "etika" berasal dari bahasa Yunani "ethos", yang berkaitan dengan kecenderungan pikiran untuk bertindak, mengajarkan kebiasaan, dan perasaan. Istilah "etika" mengacu pada sistem prinsip atau standar yang menentukan perilaku yang dianggap benar atau salah oleh masyarakat, kelompok, atau individu, biasanya dalam hal tugas, prinsip, kebijakan, atau manfaat bagi masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Cooper dalam Frederickson (1997), etika merupakan elemen penting dalam tata kelola pemerintahan. Istilah Etika administrasi digunakan untuk menggambarkan penerapan prinsip moral pada perilaku lembaga atau pejabat pemerintah. Etika berfungsi untuk menjamin bahwa keputusan dan tindakan didasarkan pada prinsip kejujuran, keadilan, integritas, dan rasa hormat terhadap semua pemangku kepentingan.

Transparansi merupakan indikator dari standar profesional penyelenggara pemerintahan. Tingkat transparansi yang tinggi merupakan indikasi dari penyelenggaraan pemerintahan yang dikelola dengan baik, sedangkan kurangnya transparansi mengindikasikan kurangnya profesionalisme. Transparansi berkaitan dengan keterbukaan dan kesediaan pemerintah untuk berbagi informasi, baik positif maupun negatif, dengan semua pihak yang berkepentingan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh S. H. Sarundajang (2005), transparansi menimbulkan rasa saling percaya antara pemerintah dan masyarakat melalui penyebaran informasi yang akurat dan memadai, mengingat informasi merupakan komponen yang sangat diperlukan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

Konsep etika dan transparansi saling terkait dan saling mempengaruhi dalam ranah kebijakan publik. Etika berfungsi sebagai pedoman dalam memberikan panduan untuk pengambilan keputusan. Sebaliknya, transparansi adalah setiap tahap proses pengambilan keputusan dapat diamati dan dinilai oleh publik. Ketika aparatur pemerintah bertindak konsisten dengan prinsip-prinsip etika yang kuat, mereka menetapkan standar moral yang menjadi dasar bagi setiap aspek kebijakan. Namun, tanpa adanya transparansi, standar-standar etika ini hanya akan menjadi konsep abstrak yang tidak dapat divalidasi. 

Transparansi memberikan ruang kepada publik untuk mengamati proses pengambilan keputusan dengan memastikan bahwa setiap tahap kebijakan publik sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang telah disepakati. Ketika proses kebijakan berjalan dengan etika dan transparan, masyarakat didorong untuk memantau proses pengambilan keputusan, memberikan masukan, dan membantu mengawasi jalannya pemerintahan. Hal ini akan mengarah pada sistem demokrasi yang lebih sehat, di mana kepercayaan publik dapat secara konsisten dipublikasikan dan diperkuat melalui praktik tata kelola yang bernilai tinggi..

POTRET PERMASALAHAN DI INDONESIA

Cohen dan Eimicke (1995) menguraikan perilaku etis seorang administrator publik ke dalam lima prinsip dasar: mematuhi hukum, melayani kepentingan publik, menghindari melakukan kejahatan, mengambil tanggung jawab individu untuk proses dan konsekuensinya, dan memperlakukan ketidakmampuan sebagai penyalahgunaan jabatan. Namun demikian, dalam praktiknya, sejumlah pelanggaran etika terjadi di kalangan aparatur pemerintah. Pelanggaran ini termasuk ke dalam penyalahgunaan jabatan, yang terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pelanggaran etik semacam ini memiliki dampak yang sangat merusak tata kelola pemerintahan, sehingga menghambat upaya untuk membentuk pemerintahan yang bersih dan transparan (Bisri & Asmoro, 2019). Hal ini berdampak pada menurunnya kinerja birokrasi menurunnya kualitas pelayanan publik yang akan diterima masyarakat.

Selain itu, pegawai pemerintah seringkali melakukan pungutan liar dengan meminta pembayaran di luar ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan. Hal ini mengakibatkan proses pelayanan publik yang seharusnya dengan mudah diakses menjadi membebani finansial karena adanya biaya tambahan yang tidak tercakup dalam peraturan. 

Praktik KKN di Indonesia telah menjadi masalah yang sangat memprihatinkan. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Indonesia Corruption Watch, tingkat korupsi mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Indek Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International menunjukkan bahwa skor Indonesia pada tahun 2023 tidak mengalami perubahan, stagnan. Selain itu, peringkatnya juga turun dari 110 menjadi 115. ICW menunjukkan analisis tren korupsi selama lima tahun (2019-2023). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, 2022, yang mencatat 579 kasus korupsi dan 1.396 orang yang ditetapkan sebagai sebagai tersangka, jumlah kasus dan tersangka di tahun 2023 meningkat secara signifikan, yaitu sebanyak 791 kasus korupsi dan 1.695 orang ditetapkan sebagai tersangka.

Hal ini tidak hanya menunjukkan adanya pelanggaran etik, tetapi juga rendahnya transparansi dalam sistem birokrasi di Indonesia. Hal ini berdampak signifikan terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Fenomena ini disebut sebagai public distrust, yang menurut Nkyabonaki (2019) merupakan ancaman signifikan terhadap legitimasi pemerintah sebagai penyedia layanan publik. Hal ini mengarah pada pembentukan pola pikir dimana pejabat publik dianggap lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok mereka sendiri, daripada kepentingan masyarakat umum.

Masalah lainnya adalah tindakan korupsi dalam proses pengambilan keputusan dianggap sebagai hal yang wajar di sejumlah instansi pemerintah. Hal ini menunjukkan maladministrasi dalam pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik, pelanggaran etika oleh para pejabat dan budaya buruk birokrasi yang turun temurun akan menurunkan efisiensi pelayanan publik dan menghambat terciptanya pelayanan publik yang berintegritas.

SARAN

Salah satu faktor yang menjadi penyebab pelanggaran etika dalam administrasi publik adalah penerapan prinsip-prinsip etika yang lemah. Untuk mengatasi masalah ini, sangat penting dalam menerapkan langkah-langkah yang nyata seperti meningkatkan transparansi, memperkuat integritas, dan menjaga akuntabilitas. 

  1. Upaya perbaikan harus dimulai dengan menguatkan sistem pengawasan yang ketat dan konsisten untuk menjamin pelaksanaan kode etik secara benar, serta pengenaan sanksi yang tegas terhadap aparat pemerintah yang melakukan pelanggaran kode etik. Pengawasan dan pemberian sanksi harus dilakukan secara adil, tanpa membeda-bedakan, dan transparansi, supaya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem administrasi publik.

  2. Transformasi budaya kerja birokrasi perlu dilakukan secara signifikan melalui penerapan program pelatihan khusus yang mendidik aparat pemerintahan dalam menerapkan perilaku etis. Hal ini akan membantu mencegah praktik KKN, penyalahgunaan jabatan, dan gratifikasi, serta memastikan integritas sistem pelayanan publik tidak terganggu karena praktik-praktik tersebut tidak hanya merusak sistem pelayanan publik, tetapi juga berorientasi merugikan negara. Selain itu, proses rekrutmen juga harus diubah untuk memastikan bahwa hanya kandidat yang memiliki integritas tinggi yang menduduki jabatan.

  3. Peningkatan transparansi dapat dicapai melalui digitalisasi informasi dan pengembangan platform teknologi informasi yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi dengan mudah dan real-time akan memfasilitasi pemantauan publik yang lebih besar terhadap proses kebijakan, penganggaran, dan pelayanan publik. Dengan menciptakan ruang yang lebih luas untuk partisipasi publik akan mendorong terciptanya pemerintahan yang lebih akuntabel dan bernilai tinggi. 

REFERENSI

Ahmad, R. K., & Meiwanda, G. (n.d.). Administrasi Dalam Pelayanan Publik. Jurnal Universitas Muhammadiyah Mataram.

Ahuluheluw, S. S. (2013). Pentingnya Transparansi Pemerintah Dalam Pelaksanaan Pembangunan Di Distrik Sorong Timur Kota Sorong. Jurnal Governance, 5.

Anandya, D., & Ramdhana, K. (n.d.). Laporan Hasil Pemantauan Tren Korupsi Tahun 2023 (2024th ed.). Indonesia Corruption Watch.

Hayani, F., Oktavia, I., Oktavia, R., Fania, S. A., Hanoselina, Y., & Helmi, R. F. (2024). Analisis Permasalahan Etika Pejabat Pemerintahan Dari Perspektif Administrasi Publik. Eksekusi: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Negara, 2.

Hs, A., Sudarmi, & Parawu, H. E. (2019). Pengaruh Dimensi Etika, Akuntabilitas, dan Transparansi Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Dalam Perspektif Sound Governance di Kantor Samsat Kabupaten Gowa. Jurnal Administrasi Publik, 5.

Ulum, M. C., & Kurniawan, L. J. (2021). Etika Administrasi Publik. Intrans Publishing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun