Jika ini sebuah pidato, semua akan dimulai dari seorang pemimpin, seorang perempuan berdiri di atas podium atau pria tua berjalan di antara massa
dan seiring terbuka mulut, kau akan diberi tahu waktu itu hari besar atau mungkin hari biasa, dan aku, si pendengar, akan menangkap: serbaneka janji di atas panggung pesta pora
dan lambang yang dipakai pemimpin itu detail sampai bendera merah dan putih dan pin yang ia sematkan di dada kemeja, begitu juga slogan-slogan yang berteriak di udara.
Akhirnya---jika kau mendengar secara saksama---kau akan tahu podium itu sedang menjadi tempat pemimpin itu mengumumkan khayalannya atau ia tengah menyerang lawan-lawan imajinasinya,
dan kau sudi menoleransi semua itu, sebab kau berharap ada: suara petasan meledak
di sebuah lapangan luas tempat pemimpin itu berdiri, atau massa berpakaian serba hitam muncul di jalan raya.
Tapi ini adalah sebuah puisi, dan tokoh-tokoh di sini hanyalah kau dan aku, sendiri dalam ruang kritis yang akan lenyap setelah beberapa larik lagi.
Puisi tak memberi kita waktu untuk saling menyalahkan atau melempar batu ke dalam kaca yang pecah. Aku bertanya kepadamu: siapa yang butuh khayalan di podium
dan siapa yang peduli pada isi pidatonya?
Kita punya sesuatu yang lebih baik daripada semua konflik yang bergerak tiba-tiba menuju akhir yang berdarah-darah itu. Maksudku adalah suara yang akan kita dengar
segera setelah aku berhenti membaca dan menutup buku.
Aku pernah mendengar seseorang membandingkannya dengan suara burung di hutan belantara atau, lebih samar lagi, dengan desir ombak di pantai yang mengaduk-aduk apa-apa yang tak pernah bisa kita raih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI