Mohon tunggu...
Gusty Fahik
Gusty Fahik Mohon Tunggu... Administrasi - Ayah dan pekerja. Menulis untuk tetap melangkah.

I'm not who I am I'm who I am not (Sartre)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Percakapan yang Terputus

19 Januari 2019   12:53 Diperbarui: 20 Januari 2019   15:53 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pexels.com

Panggilan adikku memutus litani serapah yang aku muntahkan kepada laki-laki berompi oranye, yang tidak berhenti tersenyum sambil sesekali melambaikan tangan dari balik layar televisi.

"Halo"
"Kakak, lusa bisa pulang kampung kah?"
"Ada apa?"
"Om Alex. Kakak harus pulang e."
"Iya, Om Alex kenapa?"
"...tut...tut...tut..."
"Halo... Halo!.. Om Alex kenapa!?"
"...tut...tut...tut..."

Percakapan itu terputus, menyisakan pantulan kecil bunyi "tut" terakhir dari telepon genggamku. Sialan. Adikku tentu kehilangan sinyal, dan ia sedang merangkak turun dari dahan pohon ketapang di samping rumahku di kampung. 

Di sana, agar bisa menelepon, kau perlu memanjat pohon atau naik ke puncak bukit kecil. Selama beberapa saat, kau mesti bertahan pada satu posisi saja agar bunyi "tut" tidak datang memutus percakapanmu.

Itu sebabnya, kau tidak perlu merasa bersalah jika memulai percakapan tanpa memberi salam atau berbasa-basi menanyakan kabar. Kau harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin dan langsung menyampaikan maksudmu ketika seseorang menerima panggilanmu di ujung sana. Kau tidak tahu apakah angin akan bertiup kencang, atau seekor semut diam-diam menggigit kakimu sehingga kau bergeser sedikit, dan bunyi "tut" yang menjengkelkan itu tiba-tiba muncul dan menggetarkan gendang telingamu.

Percakapan yang terputus itu membuatku memikirkan Om Alex sepanjang sisa malam itu. Sudah lama sekali aku tidak pernah mendengar kabarnya. Ternyata beliau masih hidup. Tunggu! Apakah Om Alex memang masih hidup? 

Maksudku Om Alex masih hidup sampai saat adikku menelepon, atau hidupnya telah berakhir beberapa saat sebelumnya, dan adikku hendak memberitahukan kabar duka kepadaku? Apa yang telah dihalangi bunyi "tut" itu dari pengetahuanku?

Aku seperti berhadapan dengan sebuah misteri yang menyajikan semesta kemungkinan untuk kupikirkan sendiri malam itu. Jika Om Alex telah meninggal, sebagai keponakan sulung aku harus menghadiri pemakamannya sebab aku berhak mewarisi beberapa benda peninggalannya. 

Atau ia sedang sekarat dan aku dipanggil untuk mendengar pesan terakhirnya sebelum mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara kematiannya. Kalau ia tidak mati atau tidak sedang mau mati, untuk apa aku dipanggil ke kampung?

Ah, Om Alex yang malang. Tidak sulit bagiku mengumpulkan kenangan tentangnya, sebab seumur hidup aku baru sekali bertemu dengannya. Selebihnya adalah sedikit kisah yang dituturkan ibuku tentang saudara laki-lakinya yang cuma seorang itu. Seingatku, dulu Om Alex pergi ke Timor Timur untuk melanjutkan kuliah di Dili. Dia mengikuti seorang sepupu jauh ayahku yang menjadi guru perintis di salah satu sekolah di sana. Entah bagaimana Om Alex kemudian berpisah dengan sepupu jauh ayahku itu, dan memilih jalannya sendiri.

Ketika Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia, kabar tentang Om Alex tidak pernah jelas. Orang-orang yang keluar dari sana mengatakan Om Alex ikut lari ke hutan bersama para pejuang kemerdekaan Timor Timur sebab diam-diam dia mendukung kemerdekaan wilayah itu. 

Ada juga yang bilang dia telah menjadi anggota salah satu kelompok milisi bersenjata dan turut berjuang mempertahankan merah putih di Timor Timur. Yang pasti, dia pernah mengangkat senjata dan turut bertempur, meski tidak pasti di pihak mana ia bertaruh nyawa.

Lepasnya Timor Timur membawa perubahan besar bagi kampung-kampung di dekat perbatasan, termasuk kampungku. Jumlah penduduk bertambah dengan kehadiran orang-orang yang menyelamatkan diri dari wilayah itu. 

Pertikaian-pertikaian kecil mulai tercipta di antara penduduk lama dan penduduk baru karena aneka alasan: dari rebutan pacar antara dua pemuda tanggung, hingga rebutan lahan untuk bercocok tanam. Pos-pos tentara pun mulai dibangun sepanjang garis perbatasan. Sekira lima kilo meter dari kampungku sebuah pos yang dijaga sepuluh serdadu berdiri di atas sebuah bukit kecil.

Dari segala yang tiba-tiba berubah itu, satu hal yang menggelisahkan kami ialah munculnya gerombolan pencuri yang beroperasi di kampung-kampung dekat perbatasan. Mereka sering melintas batas untuk mencuri sapi atau harta berharga milik warga Timor Leste lalu dibawa masuk ke wilayah Indonesia. Sebaliknya mereka menyelundupkan sembako, atau kadang sepeda motor lewat jalan tikus dari Indonesia untuk ditawarkan kepada warga di negara tetangga itu.

Situasi kian mencekam sebab desas-desus beredar bahwa orang-orang Timor Leste akan datang menyerbu kampung-kampung terdekat untuk mengambil kembali harta benda mereka yang dirampok gerombolan dari Indonesia. Beberapa orang yang mengaku pernah melintas batas bercerita bahwa sapi yang dibawa masuk ke wilayah kami bukanlah hasil curian. Orang-orang Timor Leste menukar hewan-hewan mereka dengan sembako atau barang lain yang diselundupkan ke sana.

Untuk menenangkan situasi, para serdadu turun ke kampung-kampung dan mulai menceramahi penduduk bahwa semuanya aman terkendali di bawah lindungan sepatu lars dan moncong senjata mereka. 

Penduduk disuruh tetap beraktivitas seperti biasa. Masalah keamanan biarlah ditangani para serdadu. Namun selama berbulan-bulan desas-desus itu tetap mengudara dan kegelisahan kian membuncah Jumlah serdadu ditingkatkan.

Suatu malam empat orang serdadu dari pos perbatasan mendatangi rumah kami. Mereka menanyai ayah dan ibu tentang keberadaan Om Alex. Mereka punya bukti, Om Alexlah yang selama ini mengepalai gerombolan pencuri dan mengganggu keamanan di sepanjang perbatasan. 

Ayah hanya bisa mengakui yang sebenarnya bahwa kami tidak tahu apa-apa tentang pamanku itu. Sedangkan ibu, meski dilanda kepanikan, tetap diam seribu bahasa ketika ditanyai sebab ibu tidak fasih bahasa Indonesia.

Para serdadu itu akhirnya pulang ke posnya setelah meninggalkan sebuah ancaman: jika dalam waktu lima hari ayahku tidak melaporkan keberadaan Om Alex, mereka akan kembali dan menahan ayahku. Ayah diam mendengar ancaman itu, sementara ibu menangis semalaman karena takut hal-hal buruk akan menimpa suami dan adiknya. Semua orang tahu, ditahan serdadu di pos sama dengan masuk neraka kecil. Sepertinya paman telah menuntun langkah ayahku mendekati neraka kecil itu.

Lima hari berlalu, ayah tidak punya kabar apapun untuk dihantar ke pos serdadu. Selama itu pula, ibu berdoa agar para malaikat mau turun menjaga keluarga kami. Tepat ketika ibu bersiap mengungsikan aku dan dua adikku ke rumah tetangga (maksudnya agar kami tidak menyaksikan ayah dikasari atau diseret ke pos serdadu) pintu rumah diketuk orang. Tentulah para serdadu telah datang menggenapi ancaman mereka. Wajah ibu berubah kosong, sementara ayah dengan sisa ketenangan yang dimilikinya, meraih gagang pintu. Pintu terbuka.

Seorang laki-laki berdiri di muka pintu. Ia menatap lekat wajah ayahku, lalu beralih menatap ibuku. Laki-laki itu melangkah masuk, diikuti empat temannya yang tadi berdiri di balik gelap. Ibu memeluk laki-laki itu sambil mengeluarkan sumpah serapah. Malam itu untuk pertama kalinya aku melihat wajah Om Alex, laki-laki yang diburu serdadu.

Om Alex tidak tampak seperti pemimpin kawanan pencuri. Ia tidak memelihara kumis atau jenggot seperti empat temannya. Meski rambut kritingnya dibiarkan sedikit panjang dan tinggi badannya melebihi rata-rata orang-orang di kampung kami, wajahnya yang sangat mirip dengan ibuku itu menampakkan keramahan alamiah orang Timor. 

Ada kewibawaan terpancar dari sorot matanya. Selebihnya dia kelihatan bukan seperti orang jahat, maksudku bukan seperti orang jahat dalam cerita-cerita tentang para perampok dan pencuri.

Paman dan gerombolannya tidak sendiri. Mereka membawa serta lima puluh dua ekor sapi dari Timor Leste ke kampung kami. Paman meminta ayahku agar mau berbagi kandang sapi kami untuk ditempati sapi-sapi yang dia bawa. Ayah mengiyakan permintaan paman tanpa banyak bicara. Namun, kandang sapi kami terlalu kecil untuk menampung sapi sebanyak itu. Pamanku memecah sapi-sapi itu dalam kawanan kecil untuk dibagi juga ke kandang-kandang lain milik warga kampung.

Tidak ada yang membicarakan sapi-sapi itu. Semua berjalan normal, seakan-akan tidak ada gerombolan pencuri dengan puluhan ekor sapi sedang bersembunyi di sini. Aku yakin, bahkan bila ditanyai para serdadu pun orang-orang kampung ini tidak akan bicara apa-apa tentang sapi-sapi curian di kampung kami. Namun, para serdadu tidak pernah muncul lagi di kampung kami sejak mereka meninggalkan ancaman di rumahku, pun malam-malam selanjutnya. Aku kira barangkali doa-doa ibu telah terkabul. Tuhan telah membuat para serdadu itu membiarkan hutang ancaman mereka tak tergenapi.

"Kami belum sepakat tentang pembagian sapi-sapi ini secara adil di antara kami berlima," kata paman ketika ibu menanyakan kapan mereka akan membawa sapi-sapi itu pergi, setelah hampir dua minggu paman dan kawan-kawannya berada di kampung kami.

"Lagi pula orang-orang dari seberang tentu sudah meminta izin kepada tentara untuk melakukan pencarian di wilayah kita."

 "Kemarin, kepala kampung didatangi dua orang dari seberang. Mereka menanyakan keberadaan sapi-sapi mereka yang tersesat masuk ke wilayah kita," Ibu menyampaikan kabar terbaru.

 "Mereka tidak akan mungkin menemukan kami di sini, tapi jika kami keluar dari wilayah ini, segala sesuatu bisa terjadi."

"Kau harus berhati-hati. Tentara masih mencarimu. Apa kau tidak takut ditangkap tentara?"

 "Dulu, aku pernah merasa sangat takut pada polisi dan tentara. Beberapa kali mereka pernah membuatku tersudut sampai nyaris mati kelaparan di hutan-hutan. Sekarang aku tidak takut lagi. Apa kakak tidak tahu, kenapa tentara tidak lagi datang mencariku di sini?"

 Ibuku terdiam.

"Aku tahu, selama aku menjadi buruan mereka, aku tidak akan tenang apalagi menang. Perburuan ini harus dihentikan. Lalu aku mendatangi mereka dan kami membuat kesepakatan. Semacam ikatan di antara kami."

"Kalau begitu, mereka sudah tahu kalian ada di sini?"

"Tentu, sebab kami berguna untuk menyediakan ketakutan. Banyak hal bisa dimanfaatkan dari rasa takut yang kami sediakan. Ketakutan membuat orang selalu merasa terancam. Kau akan membutuhkan pihak yang mampu memberimu rasa aman, mengeluarkanmu dari ancaman. Bukankah ini daerah perbatasan?" jawab paman.

"Para pemilik sapi juga mencari paman." Aku memberanikan diri bicara.

"Kau tahu kenapa paman membawa sapi-sapi curian ke sini?"

"Paman sedang bersembunyi," jawabku.

"Paman sedang membersihkan jejak. Jumlah sapi itu awalnya jauh lebih banyak. Untuk sampai ke sini, kami  harus melewati beberapa kampung lain. Di setiap kampung itu, kami berbuat sama seperti yang kami perbuat di sini."

Aku menyimak.

"Kami akan tinggal dua atau tiga hari di setiap kampung, membiarkan jejak-jejak sapi yang kami curi berbaur dengan jejak-jejak sapi warga di kampung-kampung itu. Jika sudah aman, barulah kami membawa sapi-sapi itu ke tempat lain. Tentu saja kami akan meninggalkan beberapa ekor sapi di setiap kampung untuk menyenangkan hati orang-orang di sana. Mereka jelas tidak akan membuka mulut jika ada yang menanyakan perihal sapi-sapi yang kami curi, sebab mereka turut menikmati kemurahan hati pamanmu ini." Paman terkekeh.

Aku tidak tertawa. Aku bingung, apakah harus membenci atau mengaguminya. Dia bukan hanya pencuri, dia seorang perancang muslihat yang ulung.

"Aku akan meninggalkan tujuh ekor sapi untuk kalian di sini. Berikan dua ekor untuk kepala kampung agar dibunuh dan dibagi-bagi kepada warga. Sisanya yang belum punya cap menjadi milik kalian. Kakak bisa menjual sapi--sapi itu untuk menyekolahkan keponakan-keponakanku, atau untuk maskawin bila mereka menikah nanti. Siapa tahu ini aksiku yang terakhir, setidaknya kalian punya tanda mata." Paman berkata kepada ibu. Matanya menatapku.

Aku termenung. Bahkan seorang pencuri punya cara agar dikenang.

***

Keesokan paginya aku bangun agak telat. Pukul sebelas. Percakapan yang terputus dengan adikku membuatku sulit memejamkan mata. Aku coba menonton televisi untuk memusnahkan kantuk. Berita pagi.

Adikku menelepon lagi setelah aku melewatkan beberapa panggilan teleponnya. Tentu ia telah betah berlama-lama di atas pohon ketapang demi menunggu aku menjawab panggilan teleponnya.

"Halo..."
"Kakak jadi pulang toh?"
"Iya, tapi Om Alex kenapa? Mati?"
"Om Alex sudah lolos jadi kita mau syukuran keluarga."
"Lolos apa? Penjara?"
"Om Alex lolos jadi anggota de-pe-... tut...tut...tut..."
"Apa!? Halo...halo...halo...!!"

Percakapan kami terputus lagi.

Aku mematikan telepon genggam yang masih mengeluarkan bunyi "tut" berulang itu. Laki-laki berompi oranye melambaikan tangan dari balik layar televisi. Dia terkekeh menyambut vonis bebas yang diberikan majelis hakim. Tiba-tiba, aku teringat muslihat Om Alex.   

Kupang, 2018-2019 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun