Ibuku terdiam.
"Aku tahu, selama aku menjadi buruan mereka, aku tidak akan tenang apalagi menang. Perburuan ini harus dihentikan. Lalu aku mendatangi mereka dan kami membuat kesepakatan. Semacam ikatan di antara kami."
"Kalau begitu, mereka sudah tahu kalian ada di sini?"
"Tentu, sebab kami berguna untuk menyediakan ketakutan. Banyak hal bisa dimanfaatkan dari rasa takut yang kami sediakan. Ketakutan membuat orang selalu merasa terancam. Kau akan membutuhkan pihak yang mampu memberimu rasa aman, mengeluarkanmu dari ancaman. Bukankah ini daerah perbatasan?" jawab paman.
"Para pemilik sapi juga mencari paman." Aku memberanikan diri bicara.
"Kau tahu kenapa paman membawa sapi-sapi curian ke sini?"
"Paman sedang bersembunyi," jawabku.
"Paman sedang membersihkan jejak. Jumlah sapi itu awalnya jauh lebih banyak. Untuk sampai ke sini, kami  harus melewati beberapa kampung lain. Di setiap kampung itu, kami berbuat sama seperti yang kami perbuat di sini."
Aku menyimak.
"Kami akan tinggal dua atau tiga hari di setiap kampung, membiarkan jejak-jejak sapi yang kami curi berbaur dengan jejak-jejak sapi warga di kampung-kampung itu. Jika sudah aman, barulah kami membawa sapi-sapi itu ke tempat lain. Tentu saja kami akan meninggalkan beberapa ekor sapi di setiap kampung untuk menyenangkan hati orang-orang di sana. Mereka jelas tidak akan membuka mulut jika ada yang menanyakan perihal sapi-sapi yang kami curi, sebab mereka turut menikmati kemurahan hati pamanmu ini." Paman terkekeh.
Aku tidak tertawa. Aku bingung, apakah harus membenci atau mengaguminya. Dia bukan hanya pencuri, dia seorang perancang muslihat yang ulung.