Controller | Foto milik pribadi
Sebelumnya saya ingin pisahkan dulu game dari kegiatan pada sosial media seperti chit-chat dan lain-lainnya. Agar bisa fokus pada permasalahan ini.
Hari ini bagi banyak orang tua menganggap game adalah buruk, hanya membuang-buang waktu, menurunkan prestasi akademik, dan juga membawa perilaku buruk lainnya, seperti anti sosial dan kekerasan. Bahkan yang lebih parah adalah klaim game bisa merusak otak. Benarkah?
Pertama, saya mengutip pernyataan seorang psikolog dari Universitas Wisconsin, C. Shawn Green, vigim merubah otak ” Playing video games change the brain’s physical structure the same way as do learning to read, playing the piano, or navigating using a map. Much like exercise can build muscle, the powerful combination of concentration and rewarding surges of neurotransmitters like dopamine strengthen neural circuits that can build the brain."
Terus klaim game merusak otak datang dari mana? Jika ada seorang psikolog dari universitas terkemuka membuat penyataan demikian.
Menurunkan prestasi akademik? Jonathan Pradana Mailoa, Widagdo Setiawan, Mohammad Yasya Bahrul Ulum, adalah sederet nama yang pernah mengharumkan Indonesia pada ajang olimpiade internasional matematika, fisika, serta komputer, mereka penyuka game.
Buang-buang waktu? Mungkin kita bisa menanyakan pada Monica Carolina, wanita cantik dengan nickname Nixia yang hidupnya kini 'hanya bermain game' apakah hanya buang-buang waktu. Bahkan konon kabarnya gaji bermain gamenya mencapai 137 juta Rupiah, belum lagi ketika ia memenangkan lomba game internasional, bisa mencapai ribuan dollar. Hmmm buang-buang waktu?
Anti sosial? Game-game strategi online seperti virtual cop, Dota, Clash of Clan dan lain-lain membutuhkan kerjasama antara individu-individu di seluruh dunia. Terus anti sosialnya dimana? Berkawan tanpa batas malah menurut saya, kita belajar percaya dengan orang yang belum kita kenal sama sekali. Teamwork amat penting dimanapun kita bekerja, tanpa modal itu mustahil sukses. Game yang bekerja membutuhkan tim, sudah mengajarkan itu jauh sebelum anak-anak mengenal dunia kerja.
Video games hadir sebagai bentuk konsekuensi logis dari perkembangan teknologi. Ia hadir sebagai produk dari teknologi itu sendiri, jika kita membandingkan dengan saat kita masih muda dulu tentu saja bukan 'apple to apple' sangat tidak adil. sebagai contoh; "Jaman dulu semua serba fisik, maen bola, kelereng, kasti, galasin dan lain-lain, sekarang anak-anak cuma asik sama gadgetnya.", kenyataan hari ini, berapa banyak ruang terbuka aka taman bagi anak-anak untuk bermain? Kemudian, membiarkan anak-anak bermain sendiri dengan teman-temannya di luar sana tanpa pengawasan hari ini, anda berani? Ketika teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan ini, bukan lagi otot yang diperlukan, otaklah yang harus di beri porsi penting.
Ini bukan pembelaan diri dari seorang yang juga penyuka game, tapi saya coba menuliskannya saja. Dalam Game ada kemampuan untuk:
Meningkatkan Kemampuan Membaca, dan Menjalankan Instruksi Atau Perintah. Tanpa membaca(kebanyakan dalam bahasa Inggris, ini berarti juga meningkatkan kemampuan dalam mempelajari bahasa asing), dan menjalankan instruksi, sudah dipastikan kita tidak mungkin bermain dalam game tersebut.
Koordinasi Antara Mata, Otak dan Tangan. Dalam menjalankan sebuah permainan, koordinasi antara ketiganya akan terlatih, mata sebagai penangkap visual akan meneruskannya pada otak yang kemudian dianalisis sehingga bisa menjalankan perintah bagi tangan untuk bertindak. Anda boleh tidak percaya, hari ini di negara-negara maju, para dokter bedah, para pilot baik sipil maupun militer, para prajurit yang akan maju dalam medan perang mempunyai porsi khusus pelatihan dalam bentuk game simulator. Karena para pengambil keputusannya percaya bahwa game akan meningkatkan kemampuan untuk bertindak tepat, menjalankan strategi, fokus, antisipasi, akurasi, serta pengambilan keputusan serta resiko dalam berbagai macam situasi yang penuh tekanan.
Manajemen Sumber Daya. Game-game seperti Simcity, Age of Empire, dan game-game jenis tycoon membutuhkan kemampuan mengolah sumber daya yang ada sehingga bisa bertahan, den berkelanjutan.
Pengambilan Hipotesis, Ketekunan, Bagaimana Menanggapi Tantangan, Bagaimana Menghadapi Frustasi. Setiap game akan mempunyai tingkat kesulitan yang bertingkat, dan harus dilalui tahap demi tahap, kemampuan untuk mengambil hipotesa akan sebuah tantangan akan berkembang dengan alami dalam game. Manajemen frustasi juga dengan sendiri akan terbentuk. Karena ketika anak-anak dewasa kelak, hidup ini membutuhkan, kesemua itu.
Jadi Positif Sebuah Game
- Mengakrabkan diri dengan teknologi, tanpa mengenal teknologi kita akan ketinggalan jaman.
- Game juga proses belajar. Belajar untuk segala hal yang baru.
- Game akan selalu membuat kita kreatif dalam setiap tantangan, masalah, serta kondisi yang ada.
- Game akan meningkatkan kepercayaan diri. Karena ketika berhasil menyelesaikan suatu misi, akan membuat bangga.
Jika semua itu membuat hal-hal yang baik, kenapa para orang tua masih khawatir? Dalam logika saya, ketakutan serta kekhawatiran itu tidak perlu sampai menyalahkan sebuah game dan dalam hal ini juga teknologi. Di luar sana, para pembuat kebijakannya telah bekerja keras untuk memuat kebijakan yang sangat berguna unutk memberikan batasan-batasan yang tepat, antara lain rating game, screen time dan himbauan temani anak bermain game.
Rating diberikan untuk sebuah game dapat dimainkan anak-anak sesuai dengan usia, screen time adalah batasan waktu tiap harinya, untuk anak bisa berhubungan dengan segala jenis layar display, mulai dari tv, layar komputer, hingga tablet dan smartphone. Terakhir, temani anak-anak dalam bermain, ini diharapkan bisa membangun sebuah hubungan yang sehat, erat dan intim dengan anak-anak. Memberikan arahan dan bimbingan tanpa kesan menggurui. Jadi ketika kita sendiri abai dan tidak menjalankan akan segala batasan itu, apakah masih bisa berpikir game itu sebuah virus yang harus disingkirkan?
Saya punya satu pertanyaan yang membuat saya galau, seberapa merusakkah game dibandingankan dengan sinetron? Mungkin ada yang bisa memberikan sebuah jawab?
Akhir kata, phobiamu bukan untukku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H