Namanya Joanne, Joanne Rowling. Gadis cantik berkebangsaan Britania Raya yang saat ini menginjak usia 25 tahun. Joanne merupakan gadis yang suka menulis, mengekspresikan perasaan dan khayalannya melalui tulisan. Sebagai lulusan Universitas Exeter, Joanne pindah dari Inggris ke Portugal. Joanne memilih Portugal dengan alasan agar dia bisa mengajar Bahasa Inggris disana. Alasan lainnya, karena dia bisa memiliki waktu yang fleksibel untuk menulis dan menjelajahi negara itu.
Ia mulai menjalani kehidupannya sebagai guru Bahasa Inggris  disana. Ia menikmati kehidupannya saat itu. "Ah sungguh indah hidup ini, akhirnya aku bisa menjalani kehidupan seperti yang aku mau", ucap Joanne sambil memandang pemandangan dari jendela rumahnya. Hari demj hari telah dilewati, kehidupan Joanne berjalan seperti biasa.
Suatu ketika, saat sedang duduk di taman, dia bertemu dengan seorang pria. Pria itu bernama Jorge Arantes, pria berusia 23 tahun yang bekerja dalam dunia jurnalisme.
"Hai, boleh aku duduk disini?" ucap Jorge sambil menunjuk bangku sebelah Joanne.
"Oh tentu saja, silahkan duduk", kata Joanne sambil tersenyum.
"Namaku Jorge, aku baru melihatmu disini", ucap Jorge
"Hai Jorge, namaku Joanne. Aku memang baru kali ini datang kesini, hanya mampir sebentar" ucapnya.
Joanne dan Jorge pun melanjutkan obrolannya sambil menikmati indahnya langit sore hari di taman itu. Tak lama dari itu Joanne pamit pada Jorge, dia harus pulang. Setelah pertemuan itu, Joanne dan Jorge mulai berteman. Hari demi hari terlewati dan mereka semakin dekat. Kedekatan mereka terjadi karena kecintaan mereka terhadap buku dan tulis menulis. Karena kecocokannya, mereka pun akhirnya menjalin hubungan. Karena keyakinan mereka, mereka memutuskan untuk menikah. Dari pernikahannya, Joanne dikaruniai seorang anak perempuan bernama Jessica. Tapi pernihakan mereka tak berjalan dengan baik. Akhirnya Joanne dan Jorge memutuskan untuk bercerai.
Setelah bercerai, Joanne memutuskan kembali ke Edinburgh, bersama sama dengan anaknya tinggal berdekatan dengan adik perempuannya. Dia menjadi single-mother tanpa pekerjaan apapun. Joanne mulai menghadapi masalah untuk menghidupi diri dan anaknya.
Joanne mengalami depresi berat. Semoat terlintas dalam benaknya untuk melakukan bunuh diri. Ia menyalahkan dirinya atas masa mudanya yang diwarnai dengan kegagalan. Gagal dalam hubungan pernikahan, tidak bisa menghasilkan cukup uang untuk menghidupi dirinya dan anaknya. Tapi ketika melihat Jessica, putri semata wayangnya, pikiran buruk itu langsung ia buang jauh-jauh. Joanne sadar bahwa Jessica tidak bisa tumbuh dengan kondisi psikis sang ibu yang buruk. Ia memutuskan untuk berkonsultasi dengan konseling profesional agar jiwanya kembali normal.
Setelah kembali sepeeti semula, Joanne mulai berpikir apa yang harus ia lakukan agar bisa melanjutkan kelangsungan hidup bersama dengan anaknya.
"Apa yang harus aku lakukan untuk mengatasi situasi ini?" tanya Joanne pada dirinya sendiri. Dia mulai mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya.
"Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan", ucapnya dengan senang.
Joanne mengambil pekerjaan klerikal seperti  mengetik dan mengarsip di sebuah gereja di Edinburgh.  Dengan keterbatasan ekonominya, Joanne merasa tidak mampu untuk membiayai keperluan anaknya pada saat itu. Terpaksa ia menjelaskan situasinya kepada menteri dan diberikan izin untuk membawa putrinya yaitu Jessica bekerja dengannya. Saat Joanne sedang bekerja, biasanya Jessica tidur diatas kereta dorongnya. Uang hasil kerjanya semata-mata untuk mencegahnya tunjangan dari pemerintah.
Dalam kondisi hidupnya yang sulit, Joanne harus memfokuskan waktu luangnya untuk menulis. Dia pun berhenti dari pekerjaan sebelumnya. Saat Joanne sudah tidak terikat pada pekerjaan apapun, ia  memutuskan untuk berkonsentrasi melanjutkan serta serius dengan tulisannya. Pilihan yang dia ambil cukup berat, karena ia tidak memiliki pemasukan sedikitpun. Namun, Joanne sudah bertekad sejak awal bahwa ia ingin menjadi seorang penulis.
Ia memikirkan cerita apa yang harus ia buat. "Ah aku teringat sesuatu, mungkin itu bisa menjadi ide untuk aku jadikan cerita yang akan aku tulis ini". Joanne teringat pada perjalanan ia saat dulu menaiki kereta api. Joanne merasa ia melihat seorang anak laki-laki berkacamata bundar terbang menggunakan sapu terbang di luar jendela. Saat itulah perjuangan Joanne dimulai.
Saat itu hanya ada satu yang dimililinya, yaitu beberapa bab pertama novel yang dia buat. Dia sudah memiliki gagasan utama cerita itu dalam kepalanya. Ia tinggal memetakan plot utama di setiap waktu luangnya. Joanne memang sudah memiliki minat untuk menulus sejak usia dia masih terbilang dini. Jadi dia memiliki segudang imajinasi dalam kepalanya.
The Elephant House, sebuah tempat yang dimana menjadi saksi bisu Joanne untuk menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk  menuliskan karyanya disana walaupun hanya memesan secangkir kopi. Waktu terus berjalan, Joanne masih dengan kegiatannya menulis sebuah novel.
6 Bulan Kemudian
Saat sedang menulis novelnya, ia mendapatkan kabar buruk dari sang ayah.
"Halo Joanne" sapa sang ayah dalam telepon.
"Hai ayah, bagaimana kabarmu?" tanya Joanne pada ayahnya.
"Joanne, ayah menghubungimu untuk memberitahumu soal ibu nak".
"Ibu? Ada apa dengan ibu, yah? Apakah keadaan ibu sudah membaik? Dia baik-baik saja kan?" tanya Joanne bertubi-tubi.
"Ibu sudah tidak ada Joanne. Ibu meninggal". Ayahnya berkata sambil meneteskan air matanya.
Deg! Seketika Joanne merasakan sesak di dadanya. Ia menjatuhkan telpon yang ia genggam. Joanne tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Halo? Joanne? Halo?", ucap ayahnya saat tak ada balasan dari Joanne.
"Aku salah dengarkan yah? Ibu masih hidup kan? Ibu ga mungkin meninggalkan yah?" sahut Joanne yang tidak ingin percaya dengan apa yang ia dengar tadi.
"Tidak Joanne, Ibumu sudah meninggal. Kau tidak salah Joanne, datanglah kesini. Lihatlah ibu mu untuk terakhir kalinya" kata ayahnya sambil berusaha untuk tegar.
Setelah mendengar itu Joanne meneteskan air mata. Ia tidak percaya ibunya pergi secepat itu . Joanne tahu ibunya mempunyai penyakit komplikasi multiple sclerosis di umur 45 tahun meninggal. Tapi ia tidak menyangka bahwa ibunya akan meninggal secepat itu.
Setelah kepergian ibunya, ia terus merasa sedih. Terlepas dari trauma karena kehilangan sang ibu di usia yang terbilang masih muda, Joanne agak menyesal karena ibunya tidak pernah tahu bahwa Joanne menulis sebuah novel. Ibunya memang tahu bahwa Joanne memiliki ambisi untuk menulis, tapi Joanne tidak pernah bercerita pada sang ibu tentang apa yang sedang ia tulis.
"Ibu maafkan aku, aku tidak memberitahu ibu tentang apa yang sedang aku lakukan beberapa waktu ini. Andai ibu tahu, ibu pasti senang sekali mendengarnya", Joanne mengucapkan kata-kata itu sambil meneteskan air mata. Dalam matanya terlihat penyesalan.
Joanne selalu teringat ibunya hampir setiap hari. Ia sangat merindukan ibunya, dimana dulu ibunya selalu mendengarkan cerita ataupun keluh kesah yang dialami Joanne. Kehilangan ibunya mendorong Joanne untuk mengintegrasikan tema kematian dalam novel yang sedang ia garap. Ia membubuhkan kematian orang tua sang pemeran utama di dalam novelnya, dan juga menambahkan satu sosok yang terus menghantui sang pemeran utama tersebut.
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu Joanne pun tiba. Ia menyelesaikan ceritanya. Cerita yang ia buat diberi judul 'Harry Potter dan Batu Bertuah'.
"Akhirnya aku bisa menyelesaikan cerita ini, saatnya aku mencari agen-agen sastra" ucapnya dengan semangat.
Joanne mulai menyerah karya tulisnya pada agen-agen sastra. Percobaan pertama gagal, tulisan dia ditolak. Ia tidak menyerah, ia menyerahkan pada agen yang lain. Lalu ia ditolak lagi. Masih belum menyerah, ia terus mengirimkan ceritanya pada agen agen yang lain. Berharap bahwa akan ada satu saja yang menerima hasil karya tulisnya. Namun, bagian terburuknya adalah Joanne selalu menerima surat penolakan, berbanding terbalik dengan apa yang diharapkannya. Kondisi ini bisa saja menjadi akhir dari perjalanan hidup Joanne Rowling jika ia menyerah di titik ini. Namun, Joanne tidak menyerah begitu saja. Ia sudah bekerja keras dan mengorbankan terlalu banyak waktu dan tenaganya untuk menulis serta menghasilkan novel itu. "Aku tidak boleh menyerah, tunggu sebentar lagi. Aku pasti bisa!" Ucap Joanne menguatkan dirinya sendiri.
Joanne terus mengirim surat permintaan pada agen-agen sastra. Ia masih berharap bahwa mereka akan tertarik untuk membaca lebih banyak isi dari naskah itu. Joanne tetap bersikeras, ia tahu bahwa ceritanya tergolong dalam cerita anak-anak. Tapi ia yakin bahwa pasti ada seorang agen yang akan menerima ceritanya itu.
Akhirnya, naskah 'Harry Potter dan Batu Bertuah' miliknya dilirik okeh seseorang yang berkecimpung dalam dunia sastra. Ia Christopher Little dari Bloomsbury. Christopher menerima naskah Harry Potter untuk di publikasikan. Rasa senang, sedih, dan terharu menjadi satu. Setelah sekian lama Joanne berjuang mencari penerbit untuk karya tulisnya, akhirnya ada yang melirik karyanya itu. Ia sangat berterima kasih pada orang itu.
Joanne diberi tahu oleh Christopher agar tak berharap mendapatkan uang yang lebih dari penjualan buku itu.
"Hei Joanne, aku akan menerbitkan cerita Harry Potter mu ini menjadi sebuah novel. Tapi kau jangan mengharapkan mendapat uang lebih dari buku ini. Karena literatur yang menyasar pada anak-anak jarang memberikan keuntungan yang besar. Terutama untuk penulis yang belum terkenal", ucap Chris dengan lembut karena tidak ingin menyinggung Joanne.
"Iya, aku mengerti" sahut Joanne.
"Aku sarankan kau untuk mencari pekerjaan lain. Karena penghasilan dari penjualan buku pastinya belum tentu cukup untuk menopang hidupmu", kata sang editor menambahkan.
Joanne hanya mendengarkan apa yang di ucapkan oleh editir tersebut tapi tidak mengikuti sarannya. Dia masih luntang-lantung seperti sebelumnya.
Beberapa waktu kemudian, sang editor kemudian memberi saran lagi. Ia menyarankan untuk tidak menerbitkan novel tersebut dengan nama Joanne sebagai pengarangnya. Karena pengarang wanita biasanya tidak begitu populer dikalangan anak laki-laki, yang menjadi target pembaca buku ini. Akhirnya, mereka menemukan nama yang pas, yaitu J.K Rowling. Joanne disingkat menjadi "J", dan "K" berasal dari nama neneknya, yaitu Kathleen.
Akhirnya buku Harry Potter dan Batu Bertuah pun di terbitkan dengan nama pengarang J.K Rowling. Tanpa disangka-sangka, buku itu terjual laris manis. Buku itu menjadi buku terlaris sepanjang masa. Bukunya pun menyebar secepat kilat ke seluruh dunia. Buku itu terus diproduksi. Buku itu juga mulai diterjemahkan ke beberapa bahasa. Itu adalah hal yang sangat mengejutkan bagi Joanne.
Dengan suksesnya novel yang Joanne tulis, ia tidak perlu mecari pekerjaan lain seperti yang disarankan oleh sang editor sebelumnya. Tahun-tahun berikutnya Joanne meneruskan  ceritanya. Ia membuat novel Harry Potter menjadi novel series sampai dengan 7 buku. Perjuangan 7 tahun untuk menerbitkan novel karyanya sendiri membuahkan hasil yang sangat besar.
Setiap seri novel Harry Potter yang Joanne diterbitkan, kualitasnya tidak pernah menurun. Justru plotnya semakin seru dan ditunggu-tunggu oleh para penggemar cerita tersebut. Meskipun Joanne telah berada di titik tertinggi kesuksesannya, dedikasinya terhadap dunia tulis menulis terus ia lanjutkan. Disamping menulis buku-bukunya, Joanne menemukan sang pujaan hati. Ia menikah lagi, kali ini dengan seorang dokter asal Skotlandia bernama Neil Murray. Dari pernikahannya tersebut mereka dikaruniai dua orang anak. Anak laki-laki pertamanya itu bernama David Gordon Rowling Murray. Setelah kelahiran anaknya ini Joanne mengatakan bahwa ia tidak akan sering muncul didepan orang banyak. Selang beberapa tahun kemudian Joanne pun melahirkan seorang anak perempuan lagi yang bernama Mackenzie Jean Rowling Murray.
Setelah selesai dengan buku seri nya, Joanne mulai menulis lagi cerita dalam genre yang berbeda. Sudah dipastikan bahwa dia dan dunia kegiatan menulis tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Joanne sangat menikmati kehidupannya saat ini.
Sebagai penulis cerita anak-anak paling terkenal, Joanne tidak pernah lupa dimana ia dulu berasal. Ia membuktikan dengan mendukung amal Gingerbread. Itu merupakan suatu bentuk bantuan untung orang tua di Inggris, dimana para orang tua bisa meminta dan menerima sarang untuk situasi yang sedang mereka hadapi saat itu. Seperti adanya pertemuan dengan orang tua tunggal lainnya, menerima pelatihan agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan berkampanye untuk mendapatkan keadilan bagi mereka serta anak mereka.
Tidak hanya itu, Joanne juga secara rutin berbagi pengalaman dengan Gingerbread. "Jika ada kemauan, pasti ada jalan yang menyertainya" ucap Joanne. "Seperti halnya seorang J.K. Rowling yang memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuannya, dan dia terus bekerja keras untuk mewujudkan impian-impian baru. Kalian pun bisa sukses dengan cara kalian sendiri. Asalkan, kalian bekerja keras dan memiliki tekad yang kuat" tambah Joanne. Joanne senang dengan rutinitas yang ia lakukan saat ini. Ia merasa bahwa banyak orang diluar sana yang mengalami hal yang sama dengannya saat dulu. Dengan melakukan rutinitas ini, setidaknya ia mungkin bisa membantu dengan memotivasi mereka dengan berbagi pengalaman apa yang sudah ia lewati untuk mencapai itu semua.
Kini kehidupan Joanne berubah seratus delapan puluh derajat. Saat dulu ia berada pada titik terendah dihidupnya ia terus bekerja keras untuk bangkit dan mampu mengatasi rasa menyerahnya pada perasaan negatif dan nasib buruknya. Kesuksesan yang Joanne peroleh saat ini merupakan berkat dari kegigihan yang ia lakukan. Dan saat ini, Joanne sudah kembali hidup dengan indah. Bahkan mungkin lebih indah dari sebelumnya. Dan saat ini Joanne menjadi terkenal karena buku-buku fantastis yang ia buat dengan sepenuh hati. Orang-orang mengenal Joanne dengan nama J.K Rowling, Joanne Kathleen Rowling.
(note : cerita dibumbui imajinasi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H