Mohon tunggu...
Geraldo Evan Theodorus Bessie
Geraldo Evan Theodorus Bessie Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Freelancer Musician, Editor, Conten Creator

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Upacara Adat Suku Mori, Sulawesi Tengah

9 Januari 2024   14:07 Diperbarui: 9 Januari 2024   17:38 1521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara yang kaya dengan kebudayaan dari masing-masing suku dan daerah yang tersebar di seluruh nusantara. Setiap suku mempunyai tata cara yang berbeda-beda sebagai wujud kebudayaan seperti artefak atau benda-benda adat, tata cara pelaksanaan masing-masing adat, maupun filosofi dan nilai yang dikandungnya. Laporan Badan Pusat Statistik Republik Indonesia sampai pada pertengah tahun 2023 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 278,69 juta jiwa, yang terbagi ke dalam 1331 kategori suku dengan segala kekayaan budaya, seni, tradisi, adat, dan bahasanya. Kebudayaan suku bangsa ini menjadi kontribusi bagi kekayaan nasional sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah pendidik, jumlah etnis dan jumlah bahasa suku yang terbesar di dunia. Secara langsung kekayaan norma dan nilai-nilai sebagai kearifan lokal menjadi pandangan hidup, pengetahuan, dan strategi melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari untuk memenuhi tantangan dan permasalahan sehari-hari.


Suku Mori Molongkuni adalah salah satu suku yang berdiam di Sulawesi Tengah, kabupaten Morowali Utara. Suku Mori memiliki 42 subsuku dengan ragam bahasanya masing-masing, dan suku Mori Molongkuni adalah salah satu diantaranya. Suku Mori secara keseluruhan tinggal di Wita (tana) Mori, di sekitar teluk Tomori atau teluk Tolo, dan tersebar di beberapa kecamatan. Pada zaman dahulu kala, nenek moyang suku Mori Molongkuni adalah sepasang suami isteri yang berasal dari Banggai dan mendiami wilayah sepanjang Sungai Tambalako. Keturunannya kemudian mendiami empat desa adat yaitu desa Wawopada, Tingkea’o, Lembobelala, dan Lembobaru.

Dahulu suku Mori Molongkuni hidup sebagai sebuah kerajaan kecil dipimpin oleh seorang Mokole (Raja). Pada saat ini suku Mori Molongkuni menjadi masyarakat yang tunduk pada pemerintah Indonesia, khususnya dalam wilayah kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali Utara. Dalam urusan adat istiadat pemerintah tidak mencampuri tetapi mendukung dan memfasilitasi, sehingga terjalin kerjasama yang sangat baik antara pemerintah dan masyarakat adat suku Mori Molongkuni.

Beberapa upacara adat seperti Padungku yaitu perayaan panen padi sebagai ucapan syukur masyarakat setiap tahun, waktu pelaksanaannya disepakati antara Dewan Adat Wita Mori, Lembaga Adat Suku Mori Molongkuni, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali Utara. Terutama dalam upacara Gau Mompelangkai Petewawa, upacara adat ini diberikan kepada pemimpin atau pemerintah yang dihormati, bahkan dilaksanakan pada acara-acara formal pemerintahan. Jadi pemerintah melaksanakan tugasnya tidak terlepas dari ikatan terhadap adat istiadat suku Mori Molongkuni, sebaliknya adat istiadat suku Mori Molongkuni sangat menghormati pelaksana Negara yaitu Pemerintah Daerah setempat.

Pada zaman dahulu suku Mori Molongkunni menyembah kepada tiga dewa. Tetapi sejak Mr. Kruyt menyampaikan Injil dari tanah Poso sampai ke Wita Mori, masyarakat suku Mori Molongkuni menerima Injil sebagai kebenaran. Sejak saat itu agama yang dianut adalah agama Kristen, yaitu sejak masuknya Injil ke Wita Mori pada tahun 1914-1916. Bahkan agama Kristen menjadi agama rakyat, yaitu agama yang bukan menjadi pilihan rakyat melainkan kewajiban atau secara otomatis masyarakat Mori Molongkuni akan menganut agama Kristen. Itu sebabnya masyarakat suku Mori 100% menganut agama Kristen.

Penulisan artikel ini menggunakan metode kualitatif, sebab ruang lingkupnya adalah kebudayaan dalam suatu masyarakat suku tertentu dan sifatnya mendeskripsikan atau menggunakan deskripsi dengan menggali dan menyajikan apa yang telah menjadi nilai tetap pada masyarakat suku Mori. Sebaliknya, tidak menggunakan metode kuantitatif sebab bukan merupakan evaluasi atau pengukuran atau pengujian hipotesa dan tidak menggunakan angka atau diagram dalam penyajian informasi/data. Tujuan Penulisan paper ini adalah memperkenalkan salah satu budaya suku Mori yang belum dikenal masyarakat luas mengeksplore nilai-nilai luhur dalam upacara Gau Mompelangkai Petewawa, dan melestarikan kebudayaan suku Mori, agar dapat dilaksanakan turun temurun.

Pembahasan dan Hasil Pembahasan

Suku Mori Molongkuni memiliki peraturan adat yang disebut Gau. Gau ini terdiri atas dua bagian, yaitu Gau yang mengatur adat istiadat termasuk sanksi atau denda jika terjadi pelanggaran, dan Gau yang mengatur kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam urusan ini suku Mori memiliki Dewan Adat yang membawahi Lembaga Adat di desa adat masing-masing. Untuk menegakkan hukum adat Mori, terdapat lembaga peradilan yang disebut Pu’u Mpobitara, dipimpin oleh sesepuh desa adat atau orang yang dituakan dalam masyarakat di desa adat.

Salah satu tradisi atau budaya yang dimiliki oleh suku Mori dan dilestarikan sampai saat ini adalah Upacara Adat Mori Gau Mompelangkai Petewawa (Upacara Penghormatan Terhadap Pemimpin atau Tamu Kehormatan). Gau artinya adat atau peraturan suku Mori Molongkuni, mompelangkai artinya membesarkan, menghormati, menjadikan kehormatan suku Mori Molongkuni, sedangkan petewawa artinya pemimpin, atau jika dikenakan pada seorang tamu berarti orang yang dihormati.

Upacara ini tidak hanya dilaksanakan terhadap para pemimpin atau tamu kehormatan dari kalangan suku Mori Molongkuni saja tetapi juga bagi tamu yang berasal dari luar suku Mori Molongkuni. Upacara dilaksanakan dengan meriah, diiringi tarian Lumense dengan tabugan gendang, dan hiruk pikuk nyaring oleh teriakan “kihuhuu… kihuhuu… hioo… hioo…” sebagai teriakan menyemangati dan memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa ada peristiwa penting yang dilakukan pada saat itu.

Tata urutan pelaksanakannya dimulai pada saat seorang pemimpin atau tamu kehormatan telah mendekati lokasi pelaksanaan upacara. Gendang terlebih dahulu ditaluhkan dengan ritme yang cepas dan khas, lalu sekelompok penari Lumense, tarian tradisional Mori Molongkuni untuk menyambut kedatangan pemimpin atau tamu kehormatan. Tarian Lumense hanya dipertunjukkan pada acara-acara adat khusus. Kekhasan tarian Lumense adalah pada gerakan kaki yang menjinjit ke kiri dan ke kanan, tangan yang diayunkan dengan siku merapat pada pinggang penari, mengikuti ritme tabuhan gendang dan gong. Sementara tabuhan gendang dan tarian Lumense berlangsung, beberapa laki-laki perkasa melakukan gerakan tarian seperti melompat ke depan dan ke belakang dengan gerakan kaki dan tangan yang khas. Terkadang memutar sambil menunduk, menyambut pemimpin atau tamu kehormatan. Mereka akan meneriakkan kihuhuu… kihuhuu… hioo.. hio…, yaitu kata-kata khas Mori Molongkuni yang mengandung makna penyemangat, penyemarak, dan pertanya terjadinya peristiwa besar yang terhormat.

Pada saat pemimpin atau tamu kehormatan tiba di pintu gerbang atau titik yang ditentukan, maka Dewan Adat Wita Mori atau Lembaga Adat Mori Molongkuni akan mengenakan topi adat pada kepala pemimpin atau tamu kehormatan tersebut. selain topi adat, dikenakan selendang berwarna merah atau hitam atau kuning. Kuning adalah warna khas Mori Molongkuni sesuai dengan arti Namanya kekuning-kuningan. Benda adat lainnya adalah menyerahkan ayam Jantan putih yang sehat dan segar, telur ayam kampung yang bersih dan baik, serta air saguer manis yang dituangkan ke dalam potongan bambu yang disebut Suke, sebagai tempat minum tradisional suku Mori Molongkuni. Setelah pemimpin yang disambut selesai meminum air saguer manis dari bambu, rombongan memasuki ruangan. Di dalam ruangan akan ditampilkan tarian Molaemba dengan ayunan tangan dan kaki secara pelan, dengan lagu pada tarian Molaemba yang dinyanyikan dalam bahasa Mori Molongkuni. Lagu tersebut adalah lirik lagu berpantun, bersahut-sahutan satu dengan yang lain di dalam kelompok penari tersebut.

Setiap artefak yaitu barang atau benda adat yang digunakan memiliki makna tersendiri. Topi adat adalah lambing kehormatan suku Mori Molongkuni, selendang yang dikenakan kepada pemimpin merupakan sambutan ketulusan. Sedangkan ayam jantan putih merupakan simbol keperkasaan, diharapkan pemimpin akan memimpin dengan tegas, disiplin, dan dapat diandalkan. Telur ayam kampung berwarna putih dan bersih adalah simbol dari ketulusan; suku Mori Molongkuni menerima pemimpin dengan ketulusan hati dan mengharapkan pemimpin pun akan memimpin dengan ketulusannya. Demikian juga kepada tamu kehormatan disambut dengan hati yang tulus dengan kepercayaan bahwa tamu kehormatan pun akan bersikap tulus dalam menjalin hubungan dengan suku Mori Molongkuni. Saguer manis adalah air dari pohon enau atau pohon nira jika di tempat lain, rasanya manis. Ini adalah simbol bahwa suku Mori Molongkuni mengharapkan bahwa pemimpin akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Demikian juga kepada tamu kehormatan bahwa kehadirannya akan membara damai Sejahtera. Perlu diketahui bahwa saguer manis ini jika disimpan dalam beberapa waktu akan menjadi minuman dengan kandungan alkohol yang tinggi sehingga dapat memabukkan.

Pada akhir upacara adat Gau Mompelangkai Petewawa ini, perwakilan suku Mori Molongkuni akan memberikan benda adat kepada pemimpin atau tamu kehormatan, yaitu dulang kuning yang pada saat ini sangat sulit mendapatkannya, dan sawungkere yaitu kelewang panjang sebagai perlengkapan senjata perang. Pemimpin diharapkan akan bersama-sama dengan masyarakat suku Mori Molongkuni membangun, menjaga, melindungi, dan membela Wita Mori.

Mengadakan artefak yaitu barang-barang atau benda-benda adat yang diperlukan tidaklah mudah. Terlebih pada saat ini sudah sangat jarang tukang kuningan yang mmebuat dulang kuning, dan sawungkere. Sedangkan untuk perlengkapan adat lainnya seperti topi adat bahkan baju adat lengkap, sudah banyak yang mengadakannya sebagai salah satu bidang bisnis, disewakan atau diperjualbelikan secara komersil. Untuk keperluan upacara adat seperti Gau Mompelangkai Petewawa, biasanya Dewan Adat Wita Mori dan Lembaga Adat Mori Molongkuni memiliki persediaan yang cukup agar tidak terkendala pada saat harus melakukan upacara adat tersebut.

Upacara adat ini memiliki nilai-nilai luhur yang tinggi, dan dapat menjadi perekat masyarakat suku Mori dengan seluruh masyarkat di sekitarnya. Upacara ini dilaksanakan dengan artefak yang menarik dan sarat makna, sehingga harus terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya perlu dipublikasikan agar dikenal oleh masyarakat luas dan dijaga kelestariannya.

Paper ini mengeksplorasi Upacara Adat Mori Gau Mompelangkai Petewawa yaitu Upacara Penghormatan Terhadap Pemimpin atau Tamu Kehormatan. Upacara ini sangat penting dilestasikan dan diperkenalkan kepada masyarakat luas, untuk membangun kesatuan dan persatuan bangsa dan meneladankan karakter saling menghormati serta menghargai di berbagai lapisan masyarakat. Disamping itu dapat mendekatkan masyarakat umum dengan para pemimpin sehingga menjadi kekuatan untuk membangun bangsa Indonesia. Secara khusus wujud kebudayaan ini bermanfaat untuk membangun masyarakat berkarakter sesuai nilai-nilai Pancasila.

Beberapa penulisan terdahulu tentang suku Mori telah membahas tentang pesta panen suku Mori yang dilakukan setiap tahun, upacara perkawinan adat suku Mori Molongkuni dengan wujud kebudayaannya upacara perkawinan adat suku Mori Molongkuni dalam tinjauan Pendidikan Agama Kristen, dan meneliti kedudukan upacara adat perkawinan suku Mori Ngusumbatu dengan terbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diperbarui dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019.  Terdapat beberapa berita yang memuat tentang Upacara Adat Mori Gau Mompelangkai Petewawa namun belum menyajikannya sebagai tulisan ilmiah seperti pada paper ini, dengan mengeksplor seluruh bagian secara terinci dan mengungkap nilai-nilai yang termuat di dalamnya.

Bidang penulisan yang perlu dikembangkan terkait Upacara Adat Mori Gau Mompelangkai Petewawa  adalah penulisan etnografi dan semiotik, yang tidak hanya mengekspor kekayaan budaya secara etnografik tetapi juga secara semiotis mengangkat nilai-nilai setia artefak dalam budaya tersebut. Oleh karena itu, makalah dengan judul Upacara Adat Mori Gau Mompelangkai Petewawa menjadi tulisan pertama yang mendeskripsikan, menguraikan, dan menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam upacara tersebut.

Perkembangan zaman pada masa kini menggiring manusia menjadi insan yang cenderung mengutamakan diri sendiri, mencari kesenangan diri sendiri (hedon), sehingga dapat melahirkan generasi yang hanya bergaul dengan komunitas tertentu. Tidak hanya sampai di situ, manusia lebih cenderung mencurigai orang lain ketimbang peduli. Banyaknya permasalahan yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah, sehingga dapat membawa masyarakat pada sikap apatis dan tidak peduli terhadap pemerintah. Memperkenalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Upacara Adat Mori Gau Mompelangkai Petewawa diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk membangun masyarakat yang berkarakter Pancasila, saling menghormati dan memelihara persatuan bangsa.

Kesimpulan

Upacara adat suku Mori Molongkuni, Gau Mompelangkai Petewawa merupakan upacara adat yang menggambarkan ketulusan hari masyarakat suku Mori Molongkuni dalam menerima raja, pemimpin, tamu kehormatan, yang disambut dengan gendang dan kemeriahaan. Itu sebabnya upacara ini sangat mengagungkan pemimpin atau tamu kehormatan. Upacara adat Gau Mompelangkai Petewawa mengajarkan nilai-nilai luhur yang mulia, yaitu ketulusan, kepercayaan, pengharapan, penghormatan, kebenaran, dan saling menghargai. Nilai-nilai yang sangat penting untuk membangun kehidupan masyarakat yang berkarakter Pancasila, dan bersatu dalam satu kepemimpinan, serta tunduk atau menaati pemerintah.

Seiring perkembangan zaman pada masa kini, upacara adat seperti ini harus dilestarikan agar tidak tereliminasi oleh budaya digital yang lebih digandrungi oleh generasi muda. Oleh karena itu harus diperkenalkan kepada masyarakat luas, sekaligus melibatkan generasi muda dapat prosesi upacara tersebut. Terutama karena tidak setiap saat dilakukan upacara adat, hanya pada waktu-waktu sesuai dengan kepentingan tertentu. Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali Utara, Dewan Adat Wita Mori, dan Lembaga Adat Mori Molongkuni seyogyanya mempunyai program yang terstruktur agar kebudayaan yang indah di Morowali Utara khususnya di dalam suku Mori Molongkuni tidak dilupakan atau hilang karena diabaikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun