Lanjutan dari cerpen sebelumnya...
Waktu berlalu, membawa serta kenangan manis yang pernah kita rajut bersama. Hari-hari yang dulu penuh warna kini seolah memudar, menjadi sketsa hitam putih yang tak lagi memiliki makna.
Suatu pagi, jemariku bergerak tanpa sadar, membuka aplikasi Instagram. Mataku terpaku pada layar, menatap nanar pada cerita yang baru saja kau unggah. Di sana, terpampang jelas sosok lelaki yang tengah kau dekati. Senyummu begitu cerah, secerah mentari pagi yang menyinari duniaku yang kini redup.
Oh Diana, mengapa pada hari ini kau secepat itu melupakanku?
Baru kemarin rasanya kau mengisi hari-hariku dengan tawa riang,
Kini kau telah berlari, meninggalkanku dalam sunyi yang mencekam.
Hatiku berdenyut nyeri, seolah ada ribuan jarum yang menusuk tepat di pusatnya. Aku teringat akan masa-masa indah kita, ketika kau masih menjadi inspirasi terbesarku.
Kau yang pernah menjadi muse-ku,
Seolah menari, melangkah, berputar dengan indah di atas kertasku.
Penaku begitu bebas, ketika bercerita tentangmu.
Setiap kata yang tertuang adalah nyanyian jiwa yang memujamu.
Namun kini, semua itu hanyalah kenangan. Kenangan yang terlalu indah untuk dilupakan, namun terlalu menyakitkan untuk diingat. Aku memandang keluar jendela, menatap awan-awan yang berarak pelan di langit biru. Mereka seolah mengejekku, bebas bergerak tanpa beban, sementara aku terjebak dalam pusaran kesedihan yang tak berujung.
Diana, mungkinkah kau tahu betapa sakitnya hatiku melihat postingan cerita Instagrammu?
Setiap pixel gambar itu bagaikan pecahan kaca yang menggores jiwaku,
Meninggalkan luka yang tak kasat mata, namun begitu nyata terasa.
Aku mencoba untuk tersenyum, berusaha meyakinkan diriku bahwa ini adalah yang terbaik. Bahwa kebahagiaanmu adalah yang utama, meski itu berarti aku harus rela melepaskanmu. Tapi mengapa begitu sulit? Mengapa setiap tarikan nafas terasa begitu menyakitkan?
Kutatap kembali layar ponselku, jemariku bergetar di atas tombol "unfollow". Haruskah aku mengakhiri semua ini? Menutup buku tentang kita dan memulai lembaran baru? Atau haruskah aku bertahan, berharap suatu hari nanti kau akan kembali, mewarnai kanvas hidupku seperti dulu?
Diana, kau yang pernah menjadi bintang paling terang di langit malamku,
Kini menghilang, meninggalkan kegelapan yang mencekam.
Namun, meski kau telah pergi, jejakmu masih terukir jelas,
Di setiap sudut hatiku yang kini remuk redam.
Malam semakin larut, dan aku masih di sini, termenung dalam kesunyian. Menatap layar ponsel yang kini gelap, segelap masa depan yang kubayangkan tanpamu. Namun, di tengah kegelapan ini, aku tahu aku harus bangkit. Karena meski kau telah pergi, hidupku harus terus berlanjut. Mungkin suatu hari nanti, aku akan menemukan warna-warna baru untuk melukis kanvas hidupku. Tanpamu, Diana. Tanpamu.
Tamat.
By: Galen Vanora
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H