Film Surat Cinta Untuk Kartini bertumpu pada surat surat untuk Kartini juga surat surat dari Kartini sendiri. Demikian halnya dengan Panama Paper, kasus ini bertumpu pada informasi data yang didominasi aktivitas email perusahaan tersebut dimana ini adalah perwujudan surat dalam bentuk modern. Dari segi Kartini, surat mewakili pemikiran dan gagasan beliau, sedangkan dari segi Panama Paper, surat elektronik mewakili data atau informasi finansial yang sangat berharga dan rahasia.
Jadi bila boleh ditarik benang merahnya, pesan yang ingin disampaikan dari film Surat Cinta Untuk Kartini ini adalah menggugah kesadaran kita bahwasanya ada perang yang lebih besar dari sekedar perang secara fisik, yaitu peperangan untuk memperjuangkan gagasan atau pemikiran.
Dan pada Panama Paper, kita menemukan perang yang sama, tidak bertumpu pada perang fisik lagi, peperangan ini jauh lebih mengerikan, karena bisa menyeret banyak orang dari berbagai negara dalam hitungan detik, menit dan jam, yaitu perang data atau informasi.
Pertanyaannya, sudah siapkah Indonesia menghadapi perang seperti ini ? Atau bisa disebut era digital ini. Pada film Kartini, ia berjuang lewat pendidikan dan sekolah rakyatnya untuk dapat mempersiapkan anak anak didiknya menghadapi perang gagasan. Sedangkan di masa kini, pendidikan yang belum merata membuat masih banyaknya anak didik yang tidak tersentuh untuk menguasai kemampuan mencari dan mengolah data secara digital. Entah itu dikarenakan keterbatasan infrastruktur internet di wilayahnya, maupun dikarenakan tidak adanya fasilitas komputer yang memadai baik dari segi pengadaan secara fisik maupun kemampuan gurunya sendiri.
Film ini menjadi seruan suara batin Kartini untuk menggugah kita di masa kini untuk mulai mengambil sikap. Sebagaimana ia berjuang memerangi kemiskinan pendidikan pada jamannya, kitapun diperhadapkan hal yang sama. Pendidikan untuk “melek mata” terhadap dunia digital ini sudah sewajibnya diagendakan lebih intens, merata dan terpadu sehingga Indonesia tidak lagi tertinggal dalam meresponi perubahan dunia. Bila dahulu Kartini tidak menginginkan hal ini, tentunya kita juga di masa kini dan sudah selayaknya, perjuangan beliau kita teruskkan.
Terima kasih Ibu kita Kartini.
“Menulis adalah memahat peradaban.” ― Helvy Tiana Rosa
MASIH DENGAN KARTINI PAPER DAN PANAMA PAPER