Namun tidak serta merta penguatan ekonomi menjadi penentu dapat atau tidaknya Indonesia, sebagai negara aliansi BRICS menjadi negara maju. Terdapat sepuluh bidang dimana negara dengan ekonomi berkembang tertinggal dari negara dengan ekonomi maju.
Hal yang pertama adalah kurangnya supremasi hukum. Sebagai contoh, di sebagian besar negara dengan ekonomi berkembang, hak kepemilikan sering kali kurang jelas, contohnya di Peru dan Filipina. Hal ini menyulitkan dan menghalangi investor asing untuk memulai dan mengembangkan bisnis, serta mendorong adanya praktik korupsi.
Hal yang kedua adalah masih lemahnya tata kelola perusahaan. Tata kelola perusahaan mendefinisikan hubungan antara pemangku kepetingan. Tata kelola perusahaan yang lemah memperburuk Agency Problem atau konflik kepentingan yang muncul antara pihak yang diberi tugas selaku agen, seperti pengurus perusahaan dan pihak yang mempekerjakan atau memberikan wewenang selaku prinsipal seperti pemegang saham atau pemilik perusahaan. Lemahnya tata kelola perusahaan juga mengancam efisiensi dan daya saing, serta tidak menguntungkan pemegang saham minoritas. Potensi tata kelola perusahaan yang lemah juga disebabkan banyaknya perusahaan besar di negara berkembang yang dikendalikan oleh keluarga (oligarki) dan serikat pekerja.
Hal yang ketiga adalah aturan dan prosedur akuntansi yang kerap tidak terdefinisi dengan baik sehingga pembukuan perusahaan kurang dapat dipercaya. Salah satu penyebab dari masalah ini adalah kurang jelasnya aturan perpajakan. Masalah ini turut disebutkan sebagai salah satu masalah terbesar dalam daya saing oleh Forum Ekonomi Dunia.
Hal yang keempat adalah korupsi dan nepotisme. Masalah ini menyebabkan terciptanya monopoli swasta dan negara yang membatasi inovasi dan kemampuan berkompetisi. Selain itu dapat meningkatkan biaya hidup, meningkatkan ketimpangan pendapatan dan ketegangan sosial, membunuh kemajuan ekonomi, serta menyebabkan keresahan sosial, bahkan revolusi di suatu negara.
Hal yang kelima adalah sistem perbankan. Perbankan di negara berkembang dimiliki atau dikendalikan oleh bisnis keluarga dan pemerintah. Jika negara sangat bergantung pada bank milik pemerintah untuk pembiayaan, perbankan berpotensi untuk lebih condong pada kepentingan politik atau tujuan tertentu, sehingga alokasi mayoritas pendanaan dapat berpotensi jatuh pada proyek atau sektor yang beresiko tinggi bahkan kurang produktif, dan menyebabkan gelembung aset serta krisis keuangan.
Hal yang keenam adalah eskpor sebagai mesin utama pertumbuhan. Bagi sebagian besar negara berkembang, seperti Cina dan Afrika Selatan, eskpor menjadi mesin utama pertumbuhan yang membuat negara - negara tersebut bergantung pada keinginan dan permintaan pasar global, serta kebijakan yang diterapkan di negara maju. Ketergantungan terhadap ekspor turut menyebabkan negara berkembang mengesampingkan permintaan dalam negeri, sedangkan permintaan dalam negeri turut mendukung pertumbuhan dalam jangka panjang.
Hal yang ketujuh adalah hubungan antara pasar dan pemerintah yang tidak berjalan optimal dan tidak mengikuti prinsip - prinsip ekonomi yang modern dan efisien. Seperti misalnya ketika Pemerintah terlalu mengontrol pasar dengan cara yang tidak efektif dan tidak fleksibel yang merugikan dinamika pasar dan inovasi, sehingga berujung pada subsidi yang tidak produktif (subsidi yang besar pada industri spesifik sehingga industri yang terlindungi menjadi tidak perlu berinovasi dan meningkatkan efisiensi karena tidak menghadapi kompetisi dari pasar), monopoli, korupsi, serta distribusi sumber daya yang tidak adil. Masalah ini juga dapat terjadi ketika sistem hukum abu - abu, ketinggalan zaman, regulasi pemerintah kaku, lambat, dan korup.
Hal yang kedelapan adalah infrastruktur yang buruk. Di sebagian negara berkembang, proyek infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara tidak pernah selesai, seperti beberapa proyek di Brasil dan Filipina. Padahal infrastruktur merupakan penyambung vital bagi mobililitas manusia dan komoditas, yang dapat menurunkan biaya produk, meningkatkan produktivitas, dan menunjang daya saing.
Hal yang kesembilan adalah ketimpangan pendapatan antara golongan kaya dan miskin dalam masyarakat yang tinggi, sehingga menimbulkan masalah struktural dalam perekonomian negara, seperti masalah akses terhadap pendidikan yang berkualitas dan layanan kesehatan, akses terhadap pekerjaan yang lebih baik dan kesempatan berinvestasi individu, serta ketegangan sosial yang dapat memicu ketidakstabilan sosial dan politik.
Hal yang kesepuluh adalah keterbatasan inovasi. Negara - negara dengan ekonomi yang berkembang menduduki peringkat yang rendah dalam peringkat inovasi global. Seperti pada laporan yang dirilis dalam Global Innovation Index 2023, negara - negara dengan peringkat teratas dalam berinovasi diantaranya adalah Swiss, Swedia, Amerika Serikat, Belanda, Finlandia, Singapura, Inggris, Denmark, Jerman, dan Korea Selatan.
Sehingga negara - negara berkembang, termasuk Indonesia masih memiliki tugas rumah untuk mampu bersaing dalam hal - hal, seperti membuka pasar domestik untuk menghadapi persaingan domestik dan asing, dengan bijak mempertimbangkan hal - hal yang dapat diprivatisasi, memperkuat kondisi perekonomian sehingga lebih kuat terhadap guncangan eksternal seperti kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, menerapkan tata kelola perusahaan yang lebih baik, transparasi pasar yang meminimalisir risiko adanya insider trading, serta penegakan hukum yang lebih baik. Sebagian besar negara berkembang tidak dapat menjadi negara maju akibat terhambat oleh korupsi, inflasi, dan revolusi yang menyebabkan ketidakstabilan kondisi dalam negeri. Sehingga dengan "lulusnya" negara berkembang terhadap ujian - ujian tersebut dapat turut memecahkan jeratan middle income trap atau kondisi ketika suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang masif dan mencapai tingkat pendapatan menengah, namun pada akhirnya kesulitan untuk lanjut bertumbuh menuju pendapatan tinggi, sehingga terperangkap antara tahapan negara berkembang dan negara maju. Serta terbebas dari jeratan lewis point atau titik dimana perekonomian beralih dari ketergantungan terhadap tenaga kerja murah pada sektor pertanian ke sektor industri yang dinilai lebih efisien, namun sektor industri kemudian kesulitan dalam menyerap tenaga kerja.