Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apa yang Kamu Alami pada Usia 24 Tahun?

30 Juni 2020   13:45 Diperbarui: 1 Juli 2020   19:29 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matahari terbit di Ranca Upas, Ciwidey (dokumentasi pribadi).

Bagaimana hidup di mata seseorang yang berusia 24 tahun? Saya sedang ingin bercerita sedikit mengenai hal itu, hehehe...

Hmmm bagaimana ya memulainya? Awalnya agak abstrak, tapi kalau diingat-ingat lagi, hidup saya seperti sebuah roller coaster. Secara keseluruhan saya menjalani semua aktivitas dengan fully-passionate. 

Bekerja, hang out dengan teman, bermain musik, menulis, bahkan mengobrol pun, semuanya saya jalani dengan fully-passionate. Entah karena saya memang orang yang bergairah atau semua orang yang turning 24 seperti itu ya? 

Sampai-sampai beberapa kawan berpikir, "Sepertinya kamu tidak pernah kesulitan ya? Sibuk tapi kelihatan senang terus dan tidak pernah mengeluh."

Hmmm... saya pikir ada betulnya, tapi saya ingin menyampaikan kalau saya juga manusia loh ya. Saya pernah kecewa, saya pernah sedih, saya pernah kehilangan, saya pernah kesepian. 

Hanya saja saya memilih untuk tidak mengekspresikan perasaan tersebut kepada orang lain. Mungkin tindakan itu juga bagian dari turning 24 dimana kita akan mengambil keputusan secara lebih bijaksana. Bukan saatnya lagi kita mencari perhatian demi pengakuan sosial, bukan?

Saya merasa ada perubahan pada tingkat sensitivitas diri saya, hahaha... Anak-anak kecil hingga remaja biasanya baper, ya saya juga begitu sebelumnya. 

Namun semakin hari, saya malah merasa kalau saya mulai bertransformasi menjadi cuek. Ada saat-saat dimana kita berada pada titik kritis, seperti misalnya terlibat dalam sebuah kompetisi, menjual karya, menyampaikan gagasan, tetapi ternyata semuanya gagal. Saya pernah mengalami semua itu. Tetapi saya bisa jamin 99% kalau semua kegagalan itu tidak membuat saya baper.

Bagi saya saat ini, kegagalan adalah sesuatu yang wajar-wajar saja. Yang saya lakukan ketika gagal adalah mengingat kembali semua proses yang sudah dilalui untuk membuat gagasan atau sebuah karya terwujud.

Alih-alih mengutuk kegagalan saya atau kemenangan rival, yang ada malah saya punya banyak alasan untuk berterima kasih pada kerja keras saya dan orang-orang sekeliling yang sudah mendukung. 

"Awalnya agak abstrak, tapi kalau diingat-ingat lagi, hidup saya seperti sebuah roller coaster. Secara keseluruhan saya menjalani semua aktivitas dengan fully-passionate."

Meskipun masih tertinggal 1% perasaan gengsi untuk menanyai tips kemenangan rival, saya menggantinya dengan belajar diam-diam dari Google atau Youtube.

Dengan demikian, kita akan menyadari pentingnya belajar dan mencoba. Soal keberhasilan, "If not today, maybe tomorrow?".

Sama halnya ketika potongan terakhir makanan favorit yang sengaja kita sisakan ternyata direbut oleh adik kita, bagaimana rasanya? Sebelum 24 tahun, mungkin saya akan mengomel. 

Tapi sekarang, ya biasa saja... Saya merasa semua hal yang terjadi memang sudah semestinya terjadi. Kita bisa berusaha mencegah kemungkinan terburuk terjadi, tetapi apa jadinya jika pada akhirnya kemungkinan buruk itu benar-benar terjadi? 

Well, bukan kewajiban kita untuk membuatnya kembali, kita hanya perlu ikhlas dan melewati waktu-waktu kedepan seperti biasanya.

Selain kegagalan, merelakan hal yang kita punya atau memberikan sebagian porsi hak kita kepada orang lain atau untuk keperluan lain yang dapat memulihkan keadaan juga menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.

-

Saya memikirkan banyak hal yang sepertinya patut dicoba. Saya jadi seperti anak kecil lagi yang memimpikan banyak hal. Ingin menjadi itu... ingin punya ini... ingin melakukan itu... ingin membeli ini, itu, dan ini... 

Sampai pada satu titik, saya stuck dan malah balik bertanya kenapa melakukan ini, kenapa tidak melakukan itu, apa ini perlu dilakukan, apa itu betul mesti dilakukan... Apa yang salah dan apa yang benar menjadi betul-betul abstrak. Saya kehilangan gambaran besarnya.

Suatu hari saat sedang luang, saya membuka sebuah platform edukasi yang difasilitasi kantor. Terdapat beberapa materi video pengembangan diri di sana.

Hal pertama yang ditekankan dalam video tersebut adalah bahwa sebelum menentukan apa tujuan kita, kita perlu mengenali diri kita yang sebenarnya. Ide tersebut cukup bikin mind blowing, karena ternyata saya belum benar-benar mengenali diri saya sendiri sehingga saya tidak bisa menentukan tujuan yang jelas.

Kita sering lupa atau sengaja tidak memusatkan perhatian pada keunikan atau kemampuan khas diri kita karena kita pikir itu biasa saja dan orang lain mungkin memiliki kemampuan atau bakat serupa.

Padahal beberapa orang dengan kemampuan yang sama tidak mesti menghasilkan output yang identik. Semua individu punya keunikan dan lagipula skill bisa terus-menerus diasah.

Setelah mengenal kekuatan diri kita, video tersebut menganjurkan kita untuk fokus. Fokus pada tujuan yang bertumpu pada kekuatan diri kita yang paling utama. Karena hanya dengan demikian, kita akan punya semacam sumber daya yang tidak terbatas untuk berproses (jatuh bangun) mencapai cita-cita kita. 

Semenjak itu saya kembali melihat gambaran besarnya. Saya seperti menemukan sebuah peta hidup dan mencoba untuk on the track. Dalam hal ini, lagi-lagi saya perlu modal cuek.

Dulu saya pernah berpikir atau mungkin sebagian besar orang di dunia juga berpikir hal yang sama, jika kesuksesan punya kriteria.

Tapi kalau dipikir-dipikir, oleh karenanya banyak orang takut untuk bahkan sekadar mendekat dengan kesuksesan karena kriteria pasti punya batas-batas dan orang yang tidak mencapai batas akan diklaim sebagai orang yang gagal.

Setelah mengenal diri kita sendiri dan apa yang sebenarnya kita inginkan, kesuksesan menjadi tidak punya batasan. Bahwa untuk menjadi sukses kita tidak mesti memaksakan diri menjadi dokter, jendral, presiden, selebriti atau pengakuan-pengakuan lain yang tidak sejalan dengan visi kita. Just fight on your own way!

 -

Saya pernah menonton sebuah video edukasi di Youtube yang cukup inspiratif yang mengajak kita untuk mengenali mental orang kaya, hahaha... Orang kaya itu sederhana dan rasional, mereka mencapai kesuksesan-kesuksesan kecil yang menunjang kesuksesan besar.

Melakukan exercise rutin, meminum vitamin kesehatan kulit dan tubuh, belajar bahasa asing, mendengar audio book, berinvestasi pada skill development, dsb... akan menjadi ringan melakukannya jika kita menganggap hal-hal tersebut sebagai satu paket kesuksesan :D

Kita butuh sehat jasmani maupun mental untuk menjadi orang yang berhasil. So, traveling, menonton film, membaca komik, mengikuti perkembangan idol K-Pop, atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa membuat kita relax juga sah-sah saja dilakukan sesuai porsinya, hehehe... 

Pembenaran bagi mereka yang sering merasa khawatir jika tidak sibuk sebentar saja ^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun