Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Salah Telanjur Tinggalkan Jakarta dalam Situasi Bahaya Covid-19

26 Maret 2020   15:53 Diperbarui: 26 Maret 2020   22:10 11273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakarta yang lengang (dokumentasi pribadi)

Sampai malam tadi, saya dengar 790 orang di Indonesia dinyatakan positif terjangkit virus corona atau Covid-19, 59 orang di antaranya meninggal dunia.

Virus mematikan ini membuat satu Indonesia dibuat gempar dan cemas. Bagaimana tidak? Sejak diumumkannya kasus pertama pada 2 Maret 2020, tidak sampai satu bulan, kasus melonjak beratus-ratus kali lipat.

Corona menyebar lewat udara, dari bersin orang yang membawa virus, misalnya. Oleh karena itu, penggunaan masker penting sekali bagi orang yang sakit.

Selain itu, sangat mungkin tanpa disadari kita terpapar virus yang tak tampak kasat mata melalui benda-benda di sekitar, seperti tombol lift, gagang pintu, kursi kereta, dan tempat-tempat umum lain yang tidak bisa kita jamin kebersihannya setiap saat.

Virus ini akan masuk ke tubuh kita lewat lubang mulut, hidung, atau mata. Karena faktor inilah, hand sanitizer mendadak ludes di pasaran.

Penyebaran virus ini sangat acak, tetapi masih bisa dihindari. Untuk meminimalisasi penyebarannya, pada tanggal 15 Maret 2020, Presiden Jokowi mengimbau agar segenap masyarakat melakukan social distancing. Masyarakat bersekolah, bekerja, dan beribadah di rumah.

Saya sendiri adalah salah satu dari jutaan karyawan di Indonesia yang terdampak kebijakan work from home (WFH), bekerja dari rumah.

Menarik sekali akhirnya Indonesia menerapkan work from home. Ini membuktikan kekuatan teknologi dan pemanfaatannya, satu langkah yang memaksa lahirnya budaya baru bahwa bekerja bisa di mana saja karena satu sama lain sudah terhubung secara online.

Setiap perusahaan dengan sigap membuat protokol agar meskipun bekerja di rumah karyawan tetap disiplin. Dalam hal ini, peran manajer sangat krusial untuk merencanakan dan mengawasi implementasi tugas-tugas agar ekosistem tetap kondusif sesuai jalur atau tujuan organisasi.

Meeting dilakukan melalui video conference pada aplikasi Microsoft Teams atau Zoom, diskusi tim kecil melalui group video call WhatsApp, berkirim file menggunakan email atau Google Docs agar file dapat diedit bersama, sedangkan koordinasi yang bersifat personal dilakukan melalui phone call atau chat via WhatsApp.

Untuk mengakses data-data internal, karyawan menggunakan VPN agar terhubung dengan jaringan intranet yang protokolnya sudah diatur oleh tim IT masing-masing perusahaan. Jika cara-cara tersebut berhasil, seharusnya di masa depan penerapan work from home bisa berlanjut, bukan?

-

Saya seorang karyawati di sebuah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang telekomunikasi dan digital. Saya berasal dari Bandung, tapi sudah hampir 3 tahun terakhir bertempat tinggal sementara dekat dengan lokasi kantor di Jakarta Selatan.

Di tengah merebaknya isu dan penyebaran virus Corona, tidak menghalangi rutinitas saya di akhir pekan untuk ke Bandung bertemu orangtua. Saya pulang pada Jumat,13 Maret 2020.

Tidak disangka-sangka saya terkena diare pada Sabtu. Senin pun belum mereda, sehingga saya perlu izin tidak masuk kantor hari itu. Saya tetap di Bandung hingga instruksi WFH disampaikan oleh direktur perusahaan yang diberlakukan mulai Selasa, 17 Maret 2020.

Menurut beberapa kawan, saya beruntung karena belum sempat kembali ke Jakarta. Saya bisa melaksanakan WFH bersama keluarga di rumah. Sedangkan teman sejawat yang berasal dari Bandung terisolasi di kost atau apartemen di Jakarta karena mereka takut membawa virus jika harus kembali lagi ke Bandung.

Sikap tersebut juga dilatarbelakangi imbauan pemerintah provinsi kepada warga Jakarta untuk tidak bepergian keluar daerah karena dikhawatirkan memicu penyebaran virus ke daerah-daerah lainnya. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan status penyebaran virus tertinggi hingga 463 kasus positif Covid-19 atau 58% dari populasi kasus di Indonesia, berdasarkan status terakhir tanggal 25 Maret 2020.

Saya memang merasa beruntung, tetapi di satu sisi saya memendam rasa takut. Ketakutan menghantui saya selama berada di Bandung, saya terus menghitung hari sambil rutin mengonsumsi vitamin, susu, jamu, dan minuman jahe.

Dibandingkan ketakutan jika seandainya saya terjangkit, saya lebih khawatir jika ternyata ketiga anggota keluarga saya lainnya di rumah terjangkit karena saya membawa virus dari Jakarta.

Terlebih, selagi di Jakarta saya sempat berinteraksi dengan kawan yang baru kembali dari Malaysia dan Jepang, meskipun saya bersyukur mereka dalam keadaan sehat sampai saat ini. Pasalnya, seseorang bisa saja tidak menunjukkan gejala sama sekali tetapi membawa virus dan menularkannya, ini disebut carrier.

Adik saya, ibu, ayah, kami di rumah saling meyakinkan diri bahwa tidak ada hal serius yang akan terjadi dan berkomitmen untuk mengisolasi diri, mengikuti imbauan pemerintah untuk tidak keluar rumah, kecuali pergi sesekali untuk keperluan darurat seperti membeli kebutuhan pokok di toko terdekat.

Saya memasang reminder di kalender ponsel pada 26 Maret 2020 "cek kondisi kesehatan orang rumah". Tanggal tersebut adalah hari ke-14 setelah saya meninggalkan Jakarta, saya ingin memastikan bahwa setelah masa inkubasi virus selama 14 hari tidak ada gejala yang terjadi. Namun sayangnya, pada 24 Maret 2020, saya pilek dan tenggorokan sakit.

Sehari sebelumnya saya memang sudah bersin-bersin. Adik saya juga mengalami hal yang sama. Sedangkan ayah lebih parah lagi, batuk-batuk disertai dahak. Satu-satunya yang tampak sehat adalah ibu. Sayangnya, ibu hanya terlihat sehat, namun sebenarnya ia mengaku agak sesak nafas.

Saya dan adik saya mulai mengurung diri di kamar masing-masing sejak hari itu. Ayah mengurangi interaksi dengan siapapun, termasuk ibu.

Saya sudah meminta ibu untuk istirahat saja, bed rest, tetapi beliau tetap mengotot mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak untuk kami semua. Sementara itu, kami tetap rutin mengonsumsi vitamin, susu, jamu, dan jahe, ditambah obat flu dan pereda radang tenggorokan.

Saya berharap bahwa penyakit yang datang bersamaan menimpa saya dan keluarga di rumah tepat di hari ke-12 saya meninggalkan Jakarta bukanlah gejala Covid-19, melainkan hanya flu biasa.

Akhir-akhir ini, intensitas hujan sedang tinggi menyebabkan udara Bandung lebih dingin dari biasanya, sehingga kami berusaha meyakini bahwa flu tersebut adalah isyarat tubuh kami sedang beradaptasi.

Pada tanggal 26 Maret 2020, pagi ini, kondisi kesehatan saya jauh membaik, begitu pula dengan adik saya. Ayah masih terbatuk-batuk, namun ibu meyakini itu adalah kambuhnya alergi ayah yang sudah diderita sejak lama.

Sedangkan soal sesak nafas yang ibu alami, ibu juga merasa itu bukanlah sesuatu yang baru karena sesekali ibu memang mengalaminya, mungkin karena faktor usia dan bawaan darah tinggi. Hmm, lega rasanya...

-

Entah mengapa isu merebaknya Covid-19 menyadarkan saya akan banyak hal. Ini seperti petunjuk dari Tuhan bahwa saya, atau termasuk Anda para pembaca, barangkali sebelumnya sering melupakan atau menyepelekan hal-hal sederhana namun penting.

Bertindak egois
Sampai sekarang saya masih mempertanyakan dasar tindakan saya pulang ke Bandung padahal kala itu isu Covid-19 sudah santer di Jakarta dan meresahkan masyarakat.

Hanya karena saya merasa sehat, bukan berarti saya tidak berpotensi terpapar, membawa dan menyebarkan virus ke anggota keluarga yang lebih tua di rumah. Meskipun apa yang saya takutkan tidak terjadi, tetapi tetap saja tindakan saya egois.

Saya jadi mengerti rasanya mengkhawatirkan kesehatan orang lain di atas kesehatan diri saya sendiri. Saya jadi mengerti rasanya bersalah telah menimbulkan risiko yang seharusnya tidak perlu terjadi karena keegoisan diri sendiri.

Karena hal ini, saya belajar untuk mulai berpikir panjang dalam mengambil keputusan-keputusan yang bahkan terlihat sederhana.

Mencegah tetap yang terbaik
Siapa sangka saya menjadi begitu disiplin mengonsumsi vitamin, susu, jamu, dan jahe? Saya yakin ribuan orang di luar sana juga melakukan hal yang sama. Memang ada biaya yang harus dibayar untuk membelinya, apalagi mengumpulkan niat untuk mengonsumsinya secara rutin.

Namun harga yang dibayar sepadan dibandingkan jika kita jatuh sakit. Toh pekerjaan kita, waktu kita, tabungan kita, kesempatan kita untuk menikmati hidup dengan hobi kita atau berkumpul dengan teman-teman kita, semuanya tidak akan berarti lagi jika kita jatuh sakit.

Menyetop pola hidup boros
Karena social distancing, perekonomian memburuk, negara terancam krisis. Pasalnya perekonomian Indonesia ditopang dari konsumsi, namun bisa kita saksikan sendiri bahwa kegiatan konsumsi masyarakat sudah sangat minim. Mall sepi, jalan raya sepi, apa artinya?

Masyarakat sudah tidak berbelanja, tidak naik transportasi umum, tidak melakukan traveling baik dalam maupun luar negeri. Banyak bisnis yang kehilangan pelanggan. Tetapi di satu sisi, ini seperti terapi untuk menetralisasi pola hidup kita yang boros.

Sejak social distancing, mungkin manusia belajar untuk mengedepankan waktu pada urusan esensial seperti bercengkerama dengan keluarga, makan dan tidur teratur, membaca buku, olahraga, berdonasi online untuk pihak-pihak yang mata pencahariannya harus terhenti sementara, update berita, dan kegiatan sederhana lain yang bisa dilakukan di rumah.

Manusia dibuat menjadi lebih sadar terhadap kesehatan jiwa, jasmani, dan finansial, serta lebih peka terhadap isu sosial.

Semua bisa dimulai dari rumah
Banyak orang berpikir, termasuk saya, bahwa olahraga adalah sesuatu yang menyebalkan. Saya berpikir bahwa olahraga itu ribet karena harus datang ke gym atau stadion dengan baju atau perlengkapan khusus. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa olahraga bisa dilakukan di rumah, bahkan dengan baju piama segera setelah kita bangun tidur.

Selain berolahraga, bekerja pun malah lebih menyenangkan bila dilakukan di rumah karena kita menjadi lebih fokus. Belajar bagi siswa juga tetap bisa dilakukan efektif jika dilakukan dari rumah. Kita terdorong untuk menjadi kreatif, memaksimalkan teknologi yang ada untuk terhubung dengan pendidikan dan pekerjaan. Ini luar biasa!

Kembali ke nol
Kapan terakhir kali Anda benar-benar beristirahat di rumah? Kecuali Anda mengambil cuti, namun cuti itu sendiri terasa sayang jika dilewatkan tanpa traveling ke luar kota atau ke luar negeri, bukan?

Sudah terlalu lama kita berjibaku dengan hiruk-pikuk ibu kota, bersaing untuk prestasi di sekolah atau dunia kerja. Belajar dan bekerja di rumah seperti mengembalikan diri kita menjadi selembar kertas putih. Kita menjadi lebih rileks dan mengevaluasi diri.

Apa yang salah, apa yang kurang, adakah hobi yang lama ditinggalkan padahal hobi adalah obat stress terbaik, adakah keahlian yang sudah lama kita lupakan dan entah kenapa tidak dioptimalkan.

Apa yang sebetulnya kita cari ternyata ada di depan mata yaitu keluarga yang menyayangi kita di saat kita selalu berpikir bahwa kita adalah orang gagal yang tak dicintai siapa-siapa, adakah cita-cita yang terpasang di dinding kamar dan menyadarkan bahwa kita sudah kehilangan arah?

Hmm, omong-omong soal hobi yang lama ditinggalkan, akhirnya saya menulis lagi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun