Saat ini TGG terlibat kontrak dengan Indofood untuk menghasilkan cabai dari lahan perkebunan seluas 3,5 hektare, setelah sebelumnya terlibat kontrak dengan Kem Farm Indonesia untuk menyuplai nasubi atau terung jepang yang diekspor ke negara asalnya. Dibantu 70 petani dengan masing-masing keahlian terspesialisasi, TGG memanen 8 ton terung jepang dua kali dalam seminggu.
Masalah muncul karena kontrak antara TGG dengan perusahaan sponsor tak pernah benar-benar mencapai kesepakatan yang menguntungkan petani. Margin dari harga beli terung per kilo Rp 10 ribu tak cukup besar untuk membiayai upah petani Rp 25-65 ribu per hari dan keuntungan pemilik lahan sekaligus.Â
Belum lagi ulah mafia grading yang sesekali menukar hasil produksi TGG dengan garapan lain. Namun sejak terlibat kontrak baru dengan Indofood, TGG sedikit lebih tenang karena perusahaan sponsor memberlakukan koreksi harga setiap minggu berdasarkan fluktuasi harga pasar.
Saya pun tertarik bertanya soal kegiatan petani di masa tunggu panen. Menurut pemaparan Ibu Sri, beberapa petani yang memiliki lahan garapan sendiri akan melanjutkan kegiatan bercocok tanam, sedangkan petani-petani lainnya menganggur.Â
Kekurangan mereka adalah tidak memiliki keterampilan lain atau modal untuk setidaknya membuka usaha kecil-kecilan. Inilah alasan mengapa petani membutuhkan upah yang wajar sebagai satu-satunya sumber mereka bertahan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H