Ketika mendengar wanita karir, kesan apa yang terbayang? Mungkin sebagian akan merasa takjub, segan, geleng-geleng kepala, atau bahkan tergugah?
Berdasarkan Berita Resmi Statistik BPS (2018), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya 55,44%, lebih kecil dibandingkan laki-laki sebesar 83,01%. Artinya hanya setengah dari wanita-wanita usia produktif memilih untuk bekerja atau mencari kerja, sedangkan lainnya betul-betul tidak memilih keduanya.
Sayangnya data di atas tidak merefleksikan di sektor mana atau pekerjaan apa kebanyakan pekerja wanita Indonesia terlibat didalamnya. Hipotesa saya, persentase lebih besar mengarah pada sektor informal dan buruh, sedangkan keterlibatan politik, business woman, atau pegawai sektor formal lebih sedikit. Semoga data lebih lanjut dapat ditemukan.
Di kantor, saya sangat excited karena 70% dari jumlah karyawan satu divisi berjenis kelamin wanita. Artinya, saya bekerjasama dengan banyak wanita karir. Kebanyakan dari mereka adalah bernasib sama seperti saya, tumbuh besar di lingkungan patriarkis namun di satu sisi feminis, sehingga mereka bersedia memangku dua peran sekaligus, karyawati dan ibu rumah tangga.
Subuh sudah bangun untuk memastikan sarapan serta kesiapan suami dan anak-anak beraktivitas. Jam 7 meninggalkan rumah bersamaan dengan suami berangkat kerja dan anak-anak sekolah. Hingga jam 5 atau 6 sore, sang wanita meninggalkan kantor dan sampai rumah saat maghrib, bersamaan dengan tibanya suami dan anak-anak yang baru selesai bermain. Wanita makan malam dan menghabiskan waktu bersama keluarga dengan energi yang tersisa. Saya tidak berani mengatakan energi prima karena dunia kerja very much complicated. Bisa saja, karyawan memikul masalah-masalah pagi-sore hari saat meninggalkan kantor yang menjadi beban pikiran tak terelakkan.
Otak manusia berkontribusi 2-3 persen pada volume tubuh, namun menyerap 25% energi tubuh saat rehat (Harari, 2014). Penghambaan diri pada sebuah perusahaan eight to five, terlebih dengan model-model perusahaan masa kini yang sudah tak mengenal batas ruang dan waktu, sangat menguras energi tubuh. Konsekuensi bekerja seharian adalah pengurasan energi yang melibatkan kombinasi aktivitas fisik dan berpikir.
Karyawati berumah tangga save 8 jam waktu tidur normal, untuk menghadirkan energi selama 6 jam melayani suami dan anak-anak, ditambah pula dengan kebutuhan energi selama 10 jam menjalankan peran sebagi karyawati.
Idealnya, energi keluar sama dengan energi masuk. Hukum fisika entropi kah ini? Wanita karir berumah tangga adalah peran yang tidak masuk akal berdasarkan eksakta. Saya pikir karyawati berumah tangga adalah wonder woman di dunia nyata, mereka adalah manusia-manusia pilihan yang mampu melampaui batas kewajaran mayoritas.
Namun, mengapa 70% rekan kerja saya mampu melakukan itu? Terlepas dari kemungkinan adanya konflik-konflik yang menyertai seperti ketidaktegaan suami, anak-anak yang butuh perhatian, penyakit-penyakit usia tua yang mulai bermunculan, tekanan pekerjaan, setitik keinginan untuk pensiun, dsb.
Antara keinginan, kebutuhan, dan tidak ada pilihan
Saya akan benar-benar mengutip tulisan Harari (2014) dalam bukunya Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia,
"Berapa banyak pemuda lulusan perguruan tinggi yang mengambil pekerjaan penuh tuntutan di perusahaan-perusahaan ternama, bersumpah bahwa mereka akan bekerja keras demi memperoleh uang yang akan memungkinkan mereka pensiun dan mengejar minat sejati ketika berusia tiga puluh lima tahun? Ketika mereka mencapai usia itu, mereka ternyata sudah memiliki utang KPR yang besar, anak-anak yang harus disekolahkan, rumah di pinggiran kota yang mengharuskan setiap keluarga punya setidaknya dua mobil, dan perasaaan bahwa kehidupan tidak layak dijalani tanpa anggur yang benar-benar enak dan liburan mahal di luar negeri. Apa yang harus mereka lakukan, kembali menggali umbi-umbian? Tidak, mereka melipatgandakan upaya dan terus menghambakan diri."
Memiliki pekerjaan seperti sebuah jaminan kepastian hidup sejahtera hingga masa tua. Sehingga karyawan-karyawan membelanjakan pemasukan untuk membeli aset utang. Mengesampingkan hukum semakin besar pemasukan semakin besar pengeluaran. Pemasukan yang semakin besar tidak akan menghentikan seseorang untuk berhenti mengadakan agenda pengeluaran, bahkan nilainya relatif lebih berisiko. Teori ekspektasi berperan dalam kasus ini.